Mongabay.co.id

Upaya Warga Belitung Pulihkan Lahan Bekas Tambang Timah

Direktur Lingkungan Hidup PPN Bappenas Medrilzam mengangkat perangkap rajungan dari kolam bekas tambang. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

“Sungai yang kita lewati ini bekas tambang kapal keruk. Sekarang jadi susur sungai. Namanya, Sungai Berang, sepanjang empat kilometer, sampai ke hulu,” kata Marwandi, Ketua Kelompok Hutan Kemasyarakatan Seberang Bersatu.

Lahan bekas tambang PT Timah, di Desa Juru Seberang, Kecamatan Tanjung Pandan, Belitung, ini merupakan pantai, sungai, dan sebagian daratan. Ia dikenal memiliki pemandangan matahari terbenam yang memesona.

Dari Gusong Bugis, sebutan lain tempat ini, terlihat Pulau Kalamoa di kejauhan. Air jernih, dan laut tenang. Saat air surut, kita bisa melihat ratusan meter pesisir Pulau Belitung bagian barat yang seolah mengering.

“Ada yang mengatakan ini areal tambang lepas pantai terbesar di Asia Tenggara,” kata Marwandi lagi.

Kini, sebagian lahan sudah tertutup mangrove. Jalur terbuat dari papan kayu sepanjang satu kilometer meliuk-liuk di antara pepohonan bakau. Arena bermain, camping ground, menara pengamatan burung, restoran kapal, dan rumah edukasi mangrove melengkapi sarana ekowisata.

Beberapa titik swafoto menambah daya tarik. Ada sebuah tulisan mencolok berwarna merah: Belitung Mangrove Park. Begitulah Hutan Kemasyarakatan (HKm) Seberang Bersatu menamakan sebagian hutan lindung yang mereka kelola ini.

 

Lubang bekas tambang timah di Gusong Bugis, Belitung. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Lubang tambang

Beberapa tahun lalu kondisi Gusong Bugis, amat memprihatinkan. Puluhan lubang bekas tambang menganga tak terurus. Muncul pulau-pulau pasir yang terbentuk dari material sisa penambangan.

“Mereka menambang sejak 1948 hingga 1981. Menimbulkan lubang tambang di mana-mana di area seluas lebih kurang 1.000 hektar,” katanya. Jumlah lubang tambang tak kurang 99, baik besar maupun kecil.

Dalam bahasa setempat, lubang tambang disebut kolong. Di area yang sudah dikelola HKm Seberang Bersatu, sedikitnya ada tiga kolong berukuran besar, dan beberapa kecil. Anggota HKm Seberang Bersatu memanfaatkan lubang bekas tambang itu untuk kolam ikan, rajungan, dan udang.

Di Restoran Kapal, Susi Utami, anggota Kelompok HKm Seberang Bersatu meracik berbagai masakan khas Belitung. Setelah matang mereka menghidangkan di atas belasan nampan bertudung saji.

Masing-masing nampan cukup untuk empat orang. Ada gangan atau sup ikan kas Belitung, rajungan rebus, sate kerang, lalap, dan sambal serai.

“Rajungan yang kami sajikan dari budidaya di kolam bekas tambang,” kata Marwandi, sebelum acara bedulang.

Bedulang, adalah makan bersama khas masyarakat Belitung.

Umumnya, satu dulang atau nampan besar cukup untuk empat orang. Setidaknya, mereka menyediakan 30 kilogram rajungan hasil budidaya Kelompok HKm untuk tamu.

Pada Jumat, 11 Oktober itu, sejumlah wartawan dan perwakilan lembaga dan kementerian mengunjungi Belitung Mangrove Park, yang jadi destinasi wisata baru di Belitung. Mereka turut menghadiri kegiatan scaling up dan media visit di salah satu proyek Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) atau Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia ini.

Sepuluh tahun sejak ditinggalkan begitu saja oleh PT Timah, masyarakat mulai beraktivitas kembali di kawasan ini. Mereka mencari ikan, udang dan rajungan meski hasil tidak sebaik sebelum ditambang. Sebagian juga tertarik menambang timah.

Penambangan membuat vegetasi rusak, terumbu karang hancur. Air keruh. Ikan, udang, dan rajungan pun menyingkir dari kawasan. Padahal, ia sumber penghidupan banyak nelayan Desa Juru Seberang.

“Sejak 2000, penambangan liar mulai merambah hutan lindung bekas tambang timah ini. Ketika itu, Bangka Belitung belum berpisah dari Sumatera Selatan. Ada sebagian kewenangan diserahkan ke pemerintah provinsi. Penambangan ilegal makin menjadi-jadi.”

 

Salah satu lokasi menarik di Belitung Mangrove Park. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Menyaksikan dampak kerusakan lingkungan pascatambang, Marwandi tergerak mengubah keadaan. Dia bersama rekan-rekannya lalu membentuk Kelompok HKm Seberang Bersatu.

“Kami merintis sejak 2013. Waktu itu belum ada HKm. Mulai menanam, membuat jalan dan jembatan secara swadaya. Pada 2014 HKm terbentuk, lalu mengajukan izin areal kerja kepada Menteri Kehutanan (Kini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Selanjutnya, 2015, turun surat penetapan.”

HKm Seberang Bersatu, diberi kewenangan mengelola lahan seluas 757 hektar di lahan bekas tambang yang berstatus hutan lindung. Dari luasan itu, HKm Seberang Bersatu baru memanfaatkan 50 hektar.

“Kami berpikir dulu ini habitat ikan, kepiting, udang. Kalau ditambang terus, kan makin lama timahnya berkurang. Tidak bisa diperbaharui. Kalau memperbanyak pohon, dijaga hutan, kita tanam mangrove, jumlah ikan bertambah. Keberlangsungan terjaga.”

Itu alasan dia dan rekan-rekannya tergerak merehabilitasi lahan.

Keseriusan mengelola hutan bekas tambang mendapat dukungan pemerintah Kabupaten Belitung. Pada 2016, diadakan Kemah Budaya Nasional di lahan kelola HKm ini. Sejumlah sarana dibangun, seperti jalan permanen dan area parkir.

“Pada 2017, bersama Yayasan Terangi, kami mendapat bantuan dana ICCTF sebesar Rp2 miliar. Jadilah Belitung Mangrove Park. Daerah ini yang kita pilih untuk dikembangkan.”

Strategi mereka, katanya, rehabilitasi lahan melalui taman wisata mangrove. Mereka menanam tak kurang 15.000 bibit pepohonan lokal, di area seluas 1,5 hektar.

“Kami juga menanam tanaman endemik seperti pohon cingam dan sendiki. Kami punya taman cingam di sini.”

 

Restoran berbentuk kapal di Belitung Mangrove Park. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Daya ungkit

Saat ini, anggota Koperasi HKm Seberang Bersatu ada 203 orang. Mereka kebanyakan nelayan dan penambang dari Desa Juru Seberang.

“Pengelola aktif sekitar 40 orang. Semua anggota menerima bagi hasil setahun sekali dan tiap bulan. Anggota biasa menerima sisa hasil usaha tiap tahun.”

Pada 2018, kata Marwandi, SHU terbagi ke anggota Rp50 juta, sebelum itu hanya Rp25 juta. Ada peningkatan dua kali lipat.

Jumlah kunjungan ke Belitung Mangrove Park pada 2017 sekitar 34.000 orang. Setahun berikutnya, 74.000 orang. Pada 2019, meski belum tutup tahun sudah lebih 62.000 orang. Tiap pengunjung masuk ke obyek wisata ini dikenai tiket Rp10.000.

Selain dari tiket masuk, Belitung Mangrove Park mendapat pemasukan dari jasa makanan, paket wisata, dan pengadaan bibit. Catatan dari ICCTF menyebut, rata-rata pendapatan pengelola Rp2 juta per bulan, dengan penerima manfaat 164 orang.

Proyek ICCTF dan Yayasan Terumbu Karang Indonesia, ini dimulai sejak Februari 2017 dan berakhir Juni 2018. Dana tersalurkan Rp2 miliar dari USAID atau Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat.

Catatan lain, proyek kolaborasi multipihak ini mampu menarik sumber pendanaan lain jadi total Rp21,9 miliar, antara lain dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dinas PUPR Bangka Belitung, Pemerintah Belitung, BPDAS, PT Timah, dan beberapa dinas kabupaten.

“Saat ICCTF masuk, baru sedikit program. Kini, kontribusi dari berbagai pihak mengalir begitu deras. Ini kolaborasi yang sangat kami impikan. Bisa menjadi contoh bagi wilayah lain di Indonesia,” kata Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas. Dia berharap, pengalaman bekerja sama dengan HKm Seberang Bersatu bisa tereplikasi di tempat lain.

Era kejayaan timah di Belitung, sudah berlalu. Dari sektor lain Belitung masih punya potensi. Medrilzam berharap, potensi itu terus tergarap, termasuk dari pariwisata, sebagaimana Tanjung Kelayang, yang kini jadi destinasi pariwisata nasional.

“Kegiatan di Belitung Mangrove Park ini, salah satu dari ICCTF dengan tujuan besar membantu upaya pemerintah menurunkan emisi gas rumah kaca, pada 2030 sebesar 29%.”

Dia bilang, aksi merehabilitasi bekas tambang dengan menanam mangrove ini selain ada penyerapan emisi karbon sekaligus melindungi ekosistem sekitar pantai. Harapan lain, katanya, bisa meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Jadi, katanya, ada banyak manfaat bisa dihasilkan dari hanya satu kegiatan ini.

Jason Seuc, Wakil Direktur Kantor Lingkungan Hidup USAID mengatakan, program rehabilitasi di Belitung ini hanya salah satu dari berbagai kegiatan bersama Pemerintah Indonesia.

“Saya menghargai upaya kolaboratif Pemerintah Belitung, Yayasan Terumbu Karang Indonesia, dan masyarakat setempat untuk rehabilitasi daerah pertambangan yang sudah ditinggalkan.”

Belitung, katanya, pernah andalkan pertambangan sebagai sumber utama ekonomi. Sayangnya, pertambangan yang tak menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan menyebabkan degradasi lahan dan merusak lingkungan serta ekonomi masyarakat.

“Program ini menunjukkan, benar, ada sesuatu yang bisa kita lalukan untuk memperbaiki situasi,” katanya, sambil berharap pengalaman Belitung bisa menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia.

“Saya berharap ini terus memicu dukungan tambahan dari masyarakat dan pemerintah daerah.”

Sahani Saleh, Bupati Belitung, membenarkan, era timah sudah berlalu.

“Timah sudah berlalu, tinggal sepah-sepah ini. Tapi bagaimana sepah ini masih bisa memberikan kontribusi untuk kehidupan, kemakmuran, dan kejayaan masyarakat.”

Menurut dia, ada puluhan ribu wilayah bekas tambang di Belitung. Belum lagi, tak hanya tambang timah, juga kaolin, tanah liat, pasir kwarsa, hingga batu besi.

“Jadi bagaimana menjaga kawasan eks tambang ini, yang ingin kita rehabilitasi. Kita jadikan sesuatu yang bisa memberikan manfaat lingkungan.”

Dia menyayangkan, pola lama penambangan, kala dianggap tak produktif lalu ditinggalkan begitu saja. Walupun ada aturan untuk reklamasi.

“Termasuk BUMN kita, PT Timah, begitu habis tambang tinggal. Jadi setelah mereka dapat timah lalu ditinggalkan. Habis manis sepah dibuang. Generasi selanjutnya, tidak dapat nikmat dari timah, sekarang berbuat baik untuk kelangsungan kehidupan.”

Kini, katanya, sektor pariwisata Belitung, sudah mengalahkan tambang dalam menghasilkan pendapatan daerah. Tambang, katanya, hanya menyumbang 10%, pariwisata 60%.

“Kami sudah menetapkan pariwisata sebagai lokomotif pembangunan.”

 

Direktur Lingkungan Hidup PPN Bappenas Medrilzam mengangkat perangkap rajungan dari kolam bekas tambang. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version