Mongabay.co.id

Pesan Lingkungan, Iklim, sampai Reforma Agraria buat Presiden dan Kabinet Baru

PLTU batubara dampak penurunan kualitas kesehatan masyarakat baik karena debu maupun asap pembakaran batubara yang mengandung logam berat dan beracun. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

“Mana di mana langit biru saya, langit biru saya sudah tertutup asap…Mana di mana hutan hijau saya, hutan hijau saya sudah dibakar semua… Mari beraksi ho…hoy… Mari beraksi ho..hoy…Mari beraksi, selamatkan bumi kita…”

Puluhan peserta aksi ini serempak menyanyikan lagu yang diubah lirik bertema penyelamatan lingkungan di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Dukuh Atas Jakarta, Sabtu sore (26/10/19). Mereka berjalan beriringan menuju Taman Aspirasi, depan Istana Presiden. Pesan yang ingin mereka sampaikan dalam aksi ini, mendesak Pemerintahan Joko Widodo, dengan kabinet baru terbentuk, serius mengatasi persoalan lingkungan, maupun masalah krisis iklim.

Tiga hari setelah pelantikan, Presiden Joko Widodo dan Wakil Ma’ruf Amin, Rabu, 23 Oktober 2019, presiden mengumumkan jajaran menteri yang dia beri nama Kabinet Indonesia Bersatu. Beberapa nama lama bertahan, banyak wajah baru muncul. Ada harapan, ada kekhawatiran. Selang dua hari, 25 Oktober 2019, Jokowi kembali mengumumkan 12 nama sebagai wakil menteri.

Dua kementerian yang bersentuhan dengan lingkungan dan sumber daya alam, mendapat jatah wakil menteri, yakni, Aloe Dohong, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Surya Thandra selaku Wakil Menteri Agraria.

“Menunjuk Alue Dohong sebagai Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Beliau putra Dayak, S2 di Inggris, S3 di Australia dan memang sudah berkecimpung lama di Badan Restorasi Gambut. Jadi, beliau akan membantu Ibu Siti Nurbaya dalam melestarian hutan dan alam,” kata Jokowi saat mengumumkan daftar nama wakil menteri.

Di BRG, Alue sebagai Deputi Bidang Konstruksi, Operasi, dan Pemeliharaan sejak 2016. Sebelum di badan ini dia akademisi di Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Universitas Palangkaraya. Alue juga mendirikan Lembaga Pengkajian, Pendidikan, dan Pelatihan Lingkungan Hidup (LP3LH) di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Sedangkan alasan Jokowi menunjuk Surya Tjandra sebagai wakil menteri ATR/BPN, karena di kementerian itu banyak sekali tugas besar, antara lain menyangkut percepatan penyelesaian berbagai konflik agraria dan sengketa lahan.

Surya merupakan politisi dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga seorang pengacara. Lulusan master pendidikan hukum Universitas Warwick, Inggris, dan doktor di Universitas Leiden, Belanda ini juga pengajar ilmu hukum di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Dia pernah aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan pernah menjadi Tim Pembela Rakyat untuk Jaminan Sosial dalam merancang gugatan terhadap pemerintah yang dianggap lalai menjalankan perintah UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Mereka memenangkan gugatan ini. Dia juga aktif dalam mengawal pengesahan UU No. 24/2011 mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

“Kita percaya jadi Wamen ATR dan Kepala BPN. Tadi, saya sudah memberikan tugas dalam satu tahun harus menyelesaikan apa. Sudah semua. Key performance index jelas, konkrit dan semua berdasarkan kalkulasi-kalkulasi jelas,” katanya.

Surya Tjandra, dalam keterangan sebelum pelantikan mengatakan, satu poin yang ditekankan Jokowi bahwa, pemerintah ingin menyelesaikan sesegera mungkin beragam masalah terkait tumpang tindih dan konflik agraria.

“Masyarakat yang tinggal di dalam hutan, kewenangan yang tumpang tindih dan segala macam. Harapannya, kami diminta membantuk Pak Sofyan Djalil menyiapkan proses itu. Membantu bagaimana menyiapkan supaya dalam waktu paling tidak setahun ini ada hasil lebih baik. Kira-kira begitu,” katanya.

Dia bilang, Kementerian ATR/ BPN sudah punya peta jalan, antara lain soal pada 2025 seluruh tanah di Indonesia sudah terdaftar. “Kita juga mulai digitalisasi. Sekarang, sudah mulai empat layanan BPN pakai digital. Mudah-mudahan nanti seluruh layanan di ATR/BPN memakai digital.”

Sofyan Djalil, Menteri ATR/BPN mengatakan, program reforma agraria yang jadi konsen Jokowi terus jalan. “Penguasaan tanah di negeri ini sangat jomplang. Ini juga salah satu program pemerintah Jokowi dan KH Ma’ruf Amin (reforma agraria-red). Selama ini, saya sendiri. Sekarang ada Pak Surya Tjandra jadi Wamen. Akan lebih cepat lagi dalam bekerja. Kami sama-sama Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kalau sama-sama almamater tetapi tak bisa membuat ATR/BPN lebih bagus, ya terlalu,” katanya.

Sementara Alue Dohong, Wakil Menteri LHK mengatakan, sebelum pelantikan banyak berdiskusi bersama Presiden Jokowi mengenai masalah kehutanan dan rehabilitasi lahan, termasuk rencana pemindahan Ibukota ke Kalimantan Timur.

“Kebetulan saya Suku Dayak, jadi saya yakin kalau takdir saya jadi wakil menteri ini kebahagiaan bagi Suku Dayak di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara,” katanya.

Pendidikan doktoral Alue selesai pada 2015 di Universitas Queensland Australia. Gelar Master bidang lingkungan hidup dari Universitas Nottingham, Inggris, dan Sarjana Ekonomi Universitas Palangkaraya.

“Kami bangga, kolega kami dipercaya jadi Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kami percaya, beliau mempunyai kemampuan dan komitmen termasuk melanjutkan kebijakan perlindungan gambut,” kata Myrna Safitri, Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG.

 

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

Masukan dan harapan

Khalisah Khalid, Koordinator Desk Politik Walhi Nasional, mengatakan, persoalan lingkungan hidup dan agraria menumpuk. Dia belum yakin, kedua sosok wakil menteri baik di LHK maupun ATR/BPN, bisa memberikan perubahan besar.

“Apakah Wamen LHK dan ATR/BPN ini dapat membantu menteri untuk menjawab pekerjaan rumah yang masih setumpuk atas janji-janji yang belum bisa dipenuhi? Prediksi kami masih tetap sama, suram,” katanya.

Dia bilang, tantangan presiden karena telah menunjuk oligarki di lingkar kekuasaan.

Beni Wijaya dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) punya pandangan beda. Dia bilang, sosok Surya Tjandra memiliki kedekatan dengan gerakan masyarakat sipil dan reforma agraria.

“Surya Tjandra pernah di LBH Jakarta. Waktu itu dia banyak mengurus soal perburuhan dan nelayan. Cuma, pengalaman mengurus konflik, mungkin masih minim. Minimal dia bisa tersambung dengan aspirasi-aspirasi masyarakat sipil,” katanya.

Persoalannya, kata Beni, tak tahu sejauh apa wewenang wamen ini di kementerian. “Kita tahu kan Sofyan Djalil sebenarnya agak kurang greget dengan agenda reforma agraria. Selama ini yang terus digenjot sebatas sertifikasi.”

Tantangan bagi Surya Tjandra, katanya, bagaimana memberikan pengaruh di Kementerian ATR/BPN dalam menyambungkan agenda reforma agraria soal konteks penyelesaian konflik dan redistribusi tanah.

“Surya Tjandra kalau lihat dari background ada harapan. Tergantung bagaimana ke depan kan gak mudah juga. Walaupun sudah di dalam pemerintahan sebagai wamen, akan banyak friksi terutama dari menteri sendiri,” katanya, seraya bilang, tantangan ke depan bagaimana dia bisa memberi pengaruh di KATR/BPN untuk membawa agenda reforma agraria sebagai prioritas.

Beni bilang, KATR/BPN memang memerlukan wakil menteri mengingat agenda penyelesaian konflik agraria bukan perkara kecil karena lintas sektoral dan kementerian.

“Kalau melihat proses penyelesaian konflik ini di ATR/BPN, kita lihat lima tahun ini mandeg. Karena lintas sektroal. Ada juga konflik di PTPN, Perhutani yang menyangkut dengan Kementerian BUMN. Perhutani dengan KLHK. Juga bagaimana membangun komunikasi dengan Kementerian Desa.”

Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bilang, kenal baik dengan Alue Dohong. Penunjukan Alue sebagai wakil menteri, potensial mendorong penyelesaian permasalahan-permasalahan berkaitan masyarakat adat.

“Saya masih berharap dengan ada Pak Alue membantu Ibu Siti Nurbaya. Itu bisa mempercepat proses-proses penetapan hutan adat. Ini juga menyangkut hidup Pak Alue sebagai warga adat,” katanya. Alue menyebut diri sebagai Dayak, kata Abdon, harapannya, bisa mengawal hutan adat dan soal RUU Masyarakat Adat. “Mudah-mudahan ini jadi penugasan khusus juga dari presiden kepada beliau sebagai wamen.”

KLHK, katanya, dengan 18 eselon satu dan 20.000-an pegawai memerlukan wakil menteri. Selama ini, Menteri Siti Nurbaya terkesan keteteran mengawal birokrasinya.

“Ibu Siti punya komitmen terhadap masyarakat adat, tetapi keteteran mengawal birokrasinya. Jadi banyak janji beliau yang tak terpenuhi karena birokrasi di bawah gak ngikut. Harapan saya, wamen ini bisa jadi motor menggerakkan birokrasi dalam merespon komitmen.”

Dia bilang, Pemerintahan Jokowi periode pertama, penetapan hutan adat hanya 24.000-an hektar dari 10 jutaan hektar yang sudah AMAN serahkan ke KLHK. Pengalaman lima tahun itu, katanya, membuktikan ada ketidakefektifan menteri dalam menggerakkan birokrasi di bawahnya. “Mudah-mudahan dengan ada Pak Alue sebagai wamen, bisa fokus.”

Abdon juga menyoroti kinerja KATR/BPN. Sofyan sebagai menteri, katanya, tak konsen dengan hak masyarakat adat bahkan cenderung bikin kebijakan bertentangan dengan konstitusional hak masyarakat adat.

“Dengan ada Surya Tjandra, bisa mengimbangi ketidakberpihakan menteri ATR/BPN selama ini. Dia orang yang diharapkan bisa mendengar permasalahan selama ini.”

 


Arie Rompas, Pengkampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, Alue dan Surya bisa dibilang merepresentasikan kalangan profesional. Pemilihan Alue sebagai Wakil Menteri LHK, cukup tepat karena dianggap punya pengalaman pada isu-isu lingkungan dan keahlian dalam pengelolaan gambut.

“Tentu dia bersih dari kepentingan partai politik dan bisnis.”

Dia bilang, Menteri LHK dari partai politik dan belum berhasil menangani kasus-kasus lingkungan, terutama karhutla yang sampai masih terjadi. “Ada harapan besar dengan diimbangi kehadiran wakil menteri. Meski kita masih melihat ke depan tantangan penyelamatan lingkungan masih tinggi. Presiden dalam pidato tidak menyebutkan soal isu-isu lingkungan,” kata Rio, sapaan akrabnya.

Mengenai penunjukan Surya Tjandra, katanya, kalau melihat latar belakang pernah berkecimpung LBH Jakarta, hendaknya bisa mendorong keterbukaan informasi hak guna usaha (HGU).

“Hingga hari ini tantangan besar di KATR/BPN untuk menjalankan program reforma agraria dan keterbukaan informasi, selama ini tertutup. Semoga Surya bisa mendorong KATR/BPN lebih transparan membuka data-data HGU dan mendorong penyelesaian konflik-konflik agraria,” katanya, seraya bilang, jabatan wakil menteri bukan jabatan politis, kemungkinan tak memiliki kewenangan penuh.

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, kedua wakil menteri yang mengurusi sumber daya alam ini bisa dibilang muda dan punya pengalaman di bidangnya.

“Kita lihat tantangan berbesar di KATR/BPN itu persoalan keterbukaan data. Surya Tjandra sebagai mantan aktivis seharusnya paham betul bagaimana data itu penting. Mudah-mudahan teman-teman muda ini bisa mewarnai dan menyemangati menteri.”

Alue Dohong, katanya, sebagai birokrat BRG seharusnya paham persoalan bukan hanya substansi, juga dinamika politik. Dia berharap, kehadiran Alue di KLHK, bisa menjembatani dan mencairkan suasana politik yang panas.

“Penunjukan dua nama ini positif, kita lihat setahun mendatang, apakah dia ikut arus atau bisa mewarnai perubahan? Harapan ada pada mereka.”

Sebenarnya, kata Teguh, persoalan di kementerian ini bukan kekurangan sumber daya manusia tetapi keberanian melaksanakan agenda pembangunan sesuai kosnstitusi. “Berani melawan ketidakadilan, dan merawat kebenaran. Soal data misal, keterbukaan data dan informasi itu kan sebuah keniscayaan. Kok masih ditutupi?”

Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai, pelantikan 12 wakil menteri ini membuat formasi kabinet Indonesia Maju makin gemuk dan terkesan hanya memenuhi politik akomodasi, kepentingan parpol, kepentingan pengusaha tambang, dan militer.

“Kementerian agama, ada wamen-nya. Menteri ESDM, tak ada. Kita bingung, apa dasar sebuah kementerian itu membutuhkan wamen? Indikatornya apa? Ukuran sebuah kementerian itu membutuhkan wamen ini tak diatur. Ini jadi ruang transaksional,” katanya, sambil menyatakan, posisi wamen jadi ruang bagi-bagi jabatan, bukan membantu menteri.

Merah khusus menyoroti, Sakti Wahyu Trenggono sebagai Wakil Menteri Pertahanan. Mantan Bendahara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi ini komisaris PT Merdeka Copper Gold Tbk. Perusahaan berdiri 2012 ini, induk empat anak usaha, antara lain, PT Bumi Suksesindo (BSI), PT Damai Suksesindo (DSI), PT Cinta Bumi Suksesindo (CBS) dan PT Beta Bumi Suksesindo.

BSI, perusahaan tambang emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi. Ia mengantongi IUP operasi produksi berlokasi di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggrahan seluas 4.998 hektar. DSI mengantongi IUP eksplorasi seluas 6.623,45 hektar.

“Ini ada satu pemain tambang masuk lagi dalam kabinet. Makin memperjelas, ini kemenangan kabinet oligarki politik, tambang dan militer juga polisi.”

 

Aksi mendesak pemerintah serius atasi kriisis iklim, antara lain, jaga hutan dan beralih ke energi terbarukan. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Seriusi masalah iklim

Leonard Simanjuntak, Direktur Greenpeace Indonesia mengatakan, aksi Sabtu itu gabungan dari beberapa organisasi masyarakat sipil yang fokus lingkungan. Ia kelanjutan dari aksi membentangkan spanduk di patung Bundaran Hotel Indonesia dan Pancoran, beberapa waktu lalu

“Jadi mau menyampaikan kepada Pak Jokowi dan kabinet baru untuk serius melawan krisis iklim. Pemerintah harus komitmen meninggalkan energi kotor dan memilih energi terbarukan. Harus tercermin dalam kebijakan energi. Perlu perubahan fundamental,” katanya di sela aksi iklim di Jakarta, Sabtu pekan lalu.

Dia mendesak, pemerintah serius dan upaya nyata menghentikan pengrusakan hutan, seperti kebakaran, pembalakan, kerusakan lahan gambut, dan berbagai kejahatan korporasi.

“Energi dan hutan jadi fokus. Dua sektor ini sumber emisi terbesar Indonesia. Jadi, kita ingin pemerintahan baru ini serius mengatasi krisis iklim,” katanya.

Kalau melihat susunan kabinet menteri dan wakil banyak terisi pengusaha tambang, membuat Leo pesimis pemerintah bisa berupaya serius mengatasi persoalan iklim. Dia bilang, ada banyak kepentingan industri ekstraktif terutama batubara kaitan atau kaitan dengan PLTU yang menjabat menteri maupun wakil.

“Saya tak melihat ada yang track record mendukung perubahan progresif dan fundamental menuju energi terbarukan dan serius penyelamatan hutan,” katanya.

Leo bilang, hari ini menunjukkan krisis iklim sudah terjadi, salah satu cuaca ekstrem belakangan ini. Kondisi ini, merepresentasikan pemanasan global sudah terjadi.

Menurut dia, 10 tahun terakhir adalah tahun terpanas bumi. Belum lagi, bencana hidrometeologi di Indonesia memperlihatkan lingkungan memburuk. Untuk itu, perlu langkah serius pemerintah mengatasi hal itu.

“Kalau kita perhatikan pola siklon tropis normal harusnya menjauhi khatulistiwa, dalam beberapa tahun terakhir justru mendekati khatulistiwa. Itu tidak normal.”

“Jadi ada cukup banyak pola-pola dampak perubahan iklim sebenarnya harus disadari. Harus ada terobosan fundamental di strategi energi kita. Transisi secepat-cepatnya dari energi kotor batubara ke energi terbarukan. Juga menjaga hutan yang masih tersisa. Harusnya sudah tidak lagi ada deforestasi,” katanya.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2019-2024, katanya, Bappenas sudah membuat skenario pembangunan rendah karbon. Kalau melihat beberapa pidato politik presiden belakangan ini, menunjukkan tak ada komitmen menjalankan itu. Presiden malah terus mendengungkan pengembangan investasi.

“Kami jadi ragu. Semua titik berat pada investasi. Tidak diberikan klasifikasi, yang kita inginkan investasi hijau yang ramah lingkungan. Kelihatannya, Pak Jokowi, tak akan menerapkan filter. Jadi mau yang kotor, batubara, sawit mungkin akan terus lagi. Artinya, tetap harus melawan.”

Irfan Toni Herlambang dari 350 Indonesia mengatakan, dalam Kabinet Indonesia Maju tidak terlihat semangat mengatasi krisis iklim. Orang-orang yang mengisi jajaran kabinet, katanya, masih menganggap krisis iklim hal biasa.

 

Peduli iklim dengan jaga hutan. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), waktu tersisa mencegah kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat celcius kurang dari 11 tahun. Untuk itu, perlu langkah ambisius mengatasi ini.

Dia bilang, aksi Pemerintah Indonesia, masih sangat kurang. Isu perubahan iklim tak prioritas.

Selama ini, pemerintah menganggap investasi itu penting. Bagi kami, investasi bumi itu lebih penting lagi. Bagaimana bisa kita menjual investasi di Indonesia, kalau bumi tak baik-baik saja. Kalau pembakaran hutan terus terjadi,” katanya.

Periode kedua masa Pemerintahan Presiden Jokowi, kata Toni, merupakan momentum penting untuk menunjukan keseriusan dalam mengatasi persoalan iklim. Dia merasa pesimis kalau melihat nama-nama yang menduduki kursi menteri di kabinet Indonesia Maju.

“Banyak sekali menteri, pejabat dan anggota DPR yang mempunyai hubungan erat sekali dengan industri ekstraktif seperti minyak, gas dan batubara,” katanya, seraya contohkan, Menteri ESDM bekas Dubes Indonesia untuk Jepang yang baru negosiasi dengan blok Masela.

Padahal, katanya, Indonesia punya banyak potensi energi terbarukan. Sayangnya, energi terbarukan baru 500 ribu megawatt.

Angka ini, katanya, lebih tinggi dibandingkan program Pemerintah 35.000 megawatt. Kalau ada pengembangan 10%, sudah melampaui target pemerintah.

“Saat ini pemerintah masih pembangunan PLTU terutama di Jawa, sebenarnya sudah over supply.”

Sharon Simamora, Team Leader We Make Change Indonesia Sharon Simamora mengatakan, lewat aksi ingin mengingatkan kepada jajaran kabinet baru bahwa, sedang terjadi darurat iklim dan politik.

“Iklim dan politik Ini masih berkaitan.”

 

Tata kelola sumber daya alam

Presiden Jokowi mengungkapkan soal transformasi ekonomi dari ketergantungan sumber daya alam ke manufaktur usai pelantikan.

Menurut Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, hal ini harus tercermin dalam kebijakan fiskal, terutama dalam mengendalikan defisit fiskal melalui pengurangan impor bahan bakar fosil-seraya efisiensi konsumsi bahan bakar. Juga rasionalisasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan diversifikasi energi bersih terbarukan yang mendukung pembangunan berkelanjutan.

Untuk pengembangan sektor hilir dari sumber daya mineral dan pertambangan yang bernilai tambah tinggi dan kompetitif, katanya, perlu kepastian regulasi dan birokrasi bersih, namun tetap memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Kalau daya dukung lingkungan tak masuk pertimbangan, maka bukan benefit didapat, melainkan jebakan kutukan sumber daya alam yang sangat menghambat kemajuan bangsa dan negara.

PWYP Indonesia mengingatkan, transformasi ekonomi dari ketergantungan sumber daya alam sulit tercapai kalau tak diikuti tata kelola pemerintahan yang baik, mengedepankan transparansi, akuntabilitas, penegakan hukum dan anti-korupsi. “Ini prasyarat utama,” katanya, dalam keterangan kepada media.

Ekosistem politik dan ekosistem ekonomi kondusif, kata Maryati, harus didukung kelembagaan efisien, bersih dan kuat, termasuk perlu lembaga penegak hukum dan anti-korupsi yang kuat.

Dia menyayangkan, presiden tak kunjung menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-undang atas UU Komisi Pemberantasan Korupsi (Perppu KPK). Kondisi ini, katanya, tak mendukung upaya perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik.

Selama ini, katanya, KPK–salah satu lewat Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (GNPSDA)– justru mendorong perbaikan tata kelola sumber daya alam, dan menertibkan kepatuhan perusahaan dalam pembayaran pajak dan penerimaan negara. Juga, mendorong tata kelola sumber daya alam dan beriorientasi pada pembangunan berkelanjutan.

PWYP Indonesia mengatakan, tantangan terbesar mendorong tranformasi ekonomi dari ketergantungan sumber daya alam adalah upaya keluar dari oligarki politik yang cenderung menikmati rente dari ekonomi sumber daya alam eksploitatif.

Penguasaan oligarki politik di sektor ini, katanya, jenis oligarki politik yang sempurna, struktural dan sistematis terbentuk dari ‘korupsi politik’ antara pejabat, pengusaha dan aparat penegak hukum atau lebih dikenal dengan state capture corruption.

“Oligarki politik justru menciptakan kesenjangan ekonomi dan bertentangan dengan tujuan pencapaian keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. “Kredibilitas dan integritas kebijakan yang bebas dari konflik kepentingan, harus benar-benar tercipta dalam sistem birokrasi, pengambilan kebijakan, dan pelaksanaan program maupun proyek-proyek pembangunan,” katanya.

PWYP menyayangkan, isu sumber daya alam dan lingkungan hidup makin tereduksi. Lembaga ini pun berharap, daya dukung dan daya tampung lingkungan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam dan sektor ekonomi strategis tak ditinggalkan.

 

Keterangan foto utama:  PLTU batubara dampak penurunan kualitas kesehatan masyarakat baik karena debu maupun asap pembakaran batubara yang mengandung logam berat dan beracun. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Globalindo Agung Lestari di Mantangai, Kapuas, Kalimantan Tengah. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace
Batubara masih andalan hingga memicu eksploitasi besar-besaran. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia
Exit mobile version