Mongabay.co.id

Biogas di Sudut Kota Makassar, Penyelamat di Musim Hujan

Kompor biogas yang telah dimodifikasi. Foto: Rahmadi Rahmad

 

Daeng Tia (55 tahun) baru saja menyeduh air panas. Nyala api terlihat stabil. Sebuah indikator panas terpasang di samping kompor gas yang digunakannya. Energi untuk menyalakan kompor gas ini berasal dari biogas memanfaatkan kotoran sapi.

Warga Kampung Romang Tangayya, Kelurahan Tamangapa, Kecamatan Manggala, Kota Makassar, Sulawesi Selatan ini telah menikmati fasilitas kompor gas ini sejak awal 2019 lalu, bantuan dari Dinas Perikanan dan Peternakan (DPP) Kota Makassar.

“Sampai sekarang masih bagus, pak. Pernah sempat macet, tapi sekarang sudah bagus,” katanya kepada Mongabay, Selasa (22/10/2019).

Manfaat ekonomi keberadaan kompor biogas ini sangat dirasakan Daeng Tia sekeluarga. Sebelumnya, dalam sebulan ia bisa menggunakan 4 tabung gas ukuran 3 kg, yang dibelinya seharga Rp28 ribu per tabung.

“Sekarang tak perlu keluar ongkos lagi, cukup kasih kotoran sapi ke bak penampungan saja,” katanya.

Daeng Tia kemudian memperlihatkan instalasi biogas di samping rumahnya. Sebuah bak berukuran 4 meter kubik yang tertutupi dengan baik. Ia memiliki empat ekor sapi yang dikandangkan di malam hari. Hasil kotoran sapi itulah yang menjadi sumber energi biogas tersebut.

“Ini biasanya diisi dua kali dalam seminggu, kalau di awal-awal harus diisi setiap hari,” katanya.

baca : Atasi Limbah, Ubah Kotoran Sapi jadi Biogas dan Pupuk

 

Daeng Tia (55) penerima bantuan program biogas di kampung Romang Tangayya, Kota Makassar, bisa menghemat pengeluaran untuk gas sebanyak 4 tabung gas 3 kg per bulan. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Hal yang sama dirasakan Hasbullah Daeng Tiro (40), penerima manfaat pertama kompor biogas di kampung tersebut, sejak November 2018.

Dari awal pemasangan instalasi hingga sekarang, ia mengakui tak pernah mengalami kendala apa-apa. Keberadaan kompor biogas tidak hanya terkait nilai ekonomi, namun karena menjadi kebutuhan utama di musim hujan.

“Kalau musim hujan sebagian wilayah ini tergenang air sehingga akses keluar sangat susah. Jalanan juga susah dilalui dengan kendaraan, sehingga harus berjalan kaki beberapa kilometer,” katanya.

Meski tak jauh dari kawasan perkotaan, akses memasuki daerah ini memang agak susah. Kondisi jalan buruk dan berlumpur di musim hujan. Upaya Pemkot untuk memperbaiki akses jalan terkendala karena kawasan ini berbatasan dengan Kabupaten Gowa.

Program pemanfaatan limbah sapi untuk biogas ini diinisiasi DPP Kota Makassar sejak 2018. Saat ini telah terpasang di 15 rumah. Sebanyak 9 instalasi pada tahun 2018 dan 6 instalasi di tahun 2019.

Menurut Abdul Rahman Bando, Kepala Dinas Perikanan dan Peternakan Kota Makassar, dipilihnya kampung Romang Tangayya sebagai penerima program ini berdasarkan kebutuhan masyarakat setempat. Dengan akses jalan yang sulit di musim hujan, keberadaan program ini diharapkan bisa meringankan beban masyarakat setempat.

“Romang ini jauh tetapi dekat, dekat tetapi jauh. Di musim hujan hanya bisa dilalui dengan rakit. Jadi bisa dibayangkan bagaimana sulitnya mereka untuk mendapatkan akses energi ketika musim hujan. Kayu bakar juga susah karena sebagian daerah ini adalah persawahan,” ungkap Rahman.

Setiap tahun, daerah ini memang selalu tergenang karena aliran air dari anak sungai Panjangkalang yang berasal dari Kabupaten Gowa. Ketika musim hujan tiba, daerah ini akan terisolasi penuh dengan sekitar 300 warga yang ada di dalamnya.

Faktor lain adalah karena sebagian besar masyarakat merupakan peternak sapi. Dari 70 kepala keluarga, 50 kk di antaranya memiliki ternak sapi.

baca juga : Ayo! Tancap Gas Kembangkan Biogas

 

Biogas menggunakan kotoran sapi yang ditampung di bak berukuran 4 meter kubik, harus diisi 2 kali seminggu. Gas yang dihasilkan tidak berbau dan tak mudah meledak. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Instalasi biogas yang digunakan berupa bak permanen, bukan fiber seperti umumnya di tempat lain. Pertimbangannya, daerah tersebut bukan daerah rawan gempa, mudah diperbaiki ketika rusak, pipa gampang diganti.

“Kita menggunakan bak tinggi sebagai antisipasi masuknya air di musim hujan,” tambah Rahman.

Secara ekonomi, menurut Rahman, program biogas ini bisa menghemat pengeluaran keluarga sekitar Rp1,2 juta – Rp2,4 juta per tahun.

“Biaya-biaya itu bisa digunakan untuk hal lain, seperti membiayai biaya sekolah anak, pemenuhan kebutuhan pangan, dan lainnya. Jadi ini benar-benar bisa memberi nilai lebih bagi peningkatan kesejahteraan keluarga,” katanya.

Rahman menargetkan hingga 2-3 tahun mendatang, seluruh kepala keluarga yang ada di Romang Tangayya memiliki instalasi biogas.

“Tahun 2020 hingga 2022 kita targetkan ada penambahan instalasi hingga semua warga bisa menikmati. Kita akan anggarkan karena program ini memang benar-benar dirasakan warga. Setidaknya mereka bisa merasakan kehadiran negara dalam membantu meningkatkan kesejahteraan mereka.”

Pembuatan bak hanya butuh waktu 3-5 hari, mulai dari penggalian hingga pembuatan instalasi. Dalam proses ini masyarakat terlibat dalam pengangkutan bahan material dan penggalian bak, selebihnya dikerjakan pihak ketiga yang ditunjuk dinas.

Beberapa tahun sebelumnya DPP Makassar juga telah membangun infrastruktur lainnya berupa jalan tani dan irigasi tersier. “Sebelumnya kami juga telah membangun infrastruktur berupa jalan tani sepanjang 500 meter dan irigasi tersier,” tambah Rahman.

Pembangunan fasilitas tersebut membantu mengairi sekitar 300 hektar sawah tersebut di musim kemarau. “Dulunya, kondisi di sini memang dilematis. Di musim hujan tergenang, sementara di musim kemarau kekeringan. Keberadaan irigasi tersebut sangat membantu warga.”

Menurut Rahman, ada dua mindset yang seharusnya dalam menjalankan program, yaitu bagaimana program tersebut bisa menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan produktivitas masyarakat. Kedua, program tersebut bisa mengurangi pengeluaran keluarga, sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan pokok lainnya.

Penyaluran program biogas melalui kelompok peternakan Makkaletutu yang beranggotakan 20 orang peternak sapi.

menarik dibaca : Alat Ini Bisa Optimalkan Produksi Biogas

 

Mayoritas warga di Romang Tangayya memiliki ternak sapi dan kuda. Kondisi ini membuat daerah ini cocok untuk penerapan program biogas. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menurut Abdul Hafil Bangsawan Daeng Ruru, dari Kelompok Makkaletutu, adanya program biogas ini tidak hanya untuk kebutuhan keluarga, tetapi juga bermanfaat untuk hal lain, yaitu pemanfaatan limbah sapi untuk pupuk.

“Pemanfaatan kotoran sapi untuk pupuk tidak bisa langsung digunakan karena masih mengandung gas metana, tetapi setelah melalui proses fermentasi di instalasi biogas, bisa langsung digunakan,” katanya.

Meski memberi manfaat, program ini tidak serta merta diterima masyarakat. Meski tak menolak, sebagian warga masih ragu pemanfaatan kotoran sapi sebagai sumber energi karena khawatir makanan yang dimasak berbau kotoran sapi dan belum pernah melihat kompor biogas.

Karena keraguan ini, awalnya tak ada yang mau mengikuti program ini. Daeng Ruru lalu sosialisasi dari rumah ke rumah untuk meyakinkan anggota kelompoknya.

“Jadi di awal itu, dalam menentukan siapa saja penerima program, kita pilih yang mau saja. Tentu saja syaratnya harus punya sapi dan mau menyiapkan kandang untuk pembangunan instalasi.”

Setelah beberapa minggu, biogas ini mulai dirasakan manfaatnya oleh warga. Kini warga sendiri yang meminta untuk pemasangan instalasi.

“Bahkan ada warga yang kemudian membeli sapi hanya karena ingin dipasangkan instalasi. Ada juga warga yang kemudian mengumpulkan kotoran sapi di jalan-jalan agar instalasinya bisa cepat terisi,” tambahnya.

Mansyur Melle, penyuluh dan pendamping di daerah tersebut, menyatakan kelebihan biogas karena tidak berbentuk cair dan tidak mudah terbakar, sehingga kemungkinan meledak sangat kecil. Selain itu gas metana hasil biogas ini tidak berbau.

Tidak hanya menghasilkan gas metana (CH4), urine sapi juga bisa digunakan sebagai pupuk cair yang sangat bagus untuk tanaman padi.

“Urine sapi juga bisa menjadi pupuk organik. Sayangnya di sini belum dimanfaatkan dengan baik karena masih tercampur dengan kotoran sapi. Nanti bisa kita buatkan saluran tersendiri untuk cairan urine ini,” tambah Mansyur.

***

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Kompor biogas yang telah dimodifikasi milik Sri Wahyuni  di Cikoneng, Ciomas, Bogor . Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version