Mongabay.co.id

Menanti Keseriusan Pembenahan Tata Kelola Lingkungan pada Periode Kedua Jokowi

Begini tampilan tepian pantai kala ada tambang nikel. Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil mengkhawatirkan komitmen pemerintah dan DPR periode 2019-2024, lemah dalam membenahi tata kelola lingkungan hidup dan sumber daya alam. Banyak proses legislasi dan penyusunan regulasi bikinan pemerintah dan DPR berpotensi membebani lingkungan. Belum lagi, komitmen maupun kebijakan malah melemahkan perlindungan alam dan condong melindungi kepentingan korporasi.

Untuk itu, organisasi masyarakat sipil menyatakan, penyelamatan sumber daya alam mendesak pada pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo.

Baca juga: Kabinet Baru Jokowi, Bagaimana Nasib Lingkungan dan Reforma Agraria?

Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) mengatakan, kerusakan lingkungan atau krisis lingkungan menyebabkan bencana di mana-mana. Bencana banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan dan lain-lain, terus terjadi.

”Artinya, ada masalah ketahanan lingkungan dan daya dukung lingkungan makin kritis,” katanya dalam diskusi Habis Gelap Terbitlah Gelap, baru-baru ini di Jakarta.

Dia mencatat, ada indikasi perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam melemah dari konstalasi politik 2019, terutama, komitmen presiden dan wakil presiden yang baru dilantik.

Perlindungan lingkungan hidup dalam visi misi Capres-Cawapres 2019 dan Visi Indonesia Presiden Terpilih pun dinilai Henri, sangat lemah. Visi dan misi kedua calon, katanya, masih bersifat umum dan belum memberikan target secara terukur. Apalagi, visi misi ini mengutamakan tiga sektor utama, yakni, investasi, infrastruktur, dan proyek strategis nasional.

”Tidak ada guna mendorong investasi dan infrastruktur di tengah krisis ekologi dan bencana bagi masyarakat. Tak ada analisis risiko dampak sosial kepada masyarakat. Perlu pengetatan standar lingkungan, bagaimana investor dan ekonomi mudah berdampak pada masyarakat,” katanya.

Dia bilang, isu lingkungan hanya ditekankan pada daratan, kurang menyentuh isu pesisir dan maritim serta pulau-pulau kecil. Belum juga mengintegrasikan adaptasi dan mitigasi bencana dalam kebijakan penataan ruang dan perlindungan lingkungan di tengah banyak bencana alam baik faktor alami maupun manusia.

Baca juga: Periode Kedua Jokowi Diminta Fokus Benahi Tata Kelola Sumber Daya Alam

Ada lima rancangan Undang-undang dan peraturan pemerintah, kata Henri, melemahkan perlindungan lingkungan dan lebih berpihak pada korporasi. Pertama, RUU Perkelapasawitan dinilai akan meningkatakan ekstensifikasi perkebunan yang berpotensi meningkatkan konflik tenurial dan lingkungan. Kedua, RKUHP memuat pasal yang mampu menjerat aktivis HAM dan lingkungan serta melemahkan pidana yang menjerat korporasi.

Ketiga, RUU Pertanahan, memberikan keistimewaan kepada korporasi dan bertolak belakang terhadap redistribusi lahan kepada masyarakat, dalam program reforma agraria maupun perhutanan sosial.

Keempat, Peraturan Pemerintah 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS). ”Aturan ini menisbikan peran penilaian amdal (analisis mengenai dampak lingkungan-red) sebagai salah satu pertimbangan dalam pemberian izin dan terganti surat komitmen membuat amdal,” katanya.

 

Kolam-kolam bekas tambang timah yang menganga di Bangka. Anak-anak tanpa rasa takut bermain di dekat kolam yang tak ada pagar. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Terakhir, PP Nomor 13/2017 tentang Perubahan RTRW Nasional yang memberikan dasar keistimewaan untuk pembangunan yang masuk kategori proyek strategis nasional. Ia untuk menyimpangi RTRW daerah atas dasar rekomendasi menteri tanpa parameter jelas.

Upaya deregulasi kebijakan, katanya, perlu, tetapi jangan malah mengorbankan lingkungan. ”Bagaimana percepatan itu tidak mengorbankan standar lingkungan, standar sosial agar memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan sosial.

 

Penegakan hukum

Henri mengatakan, pemerintah seringkali mengklaim sudah penegakan hukum lingkungan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sayangnya, putusan pengadilan yang dimenangkan pemerintah hanya di atas kertas karena eksekusi putusan belum berjalan optimal.

”Padahal, eksekusi jadi salah satu cara memberi efek jera terhadap pihak yang melanggar aturan lingkungan,” katanya, seraya bilang, perlu sinergi mengeksekusi putusan dengan mengejar atau membekukan aset perusahaan dari seluruh lembaga pemerintaan.

Pemerintah pun tak konsisten dalam penegakan hukum. Komitmen pemerintah, katanya, masih lemah dalam menjalankan putusan pengadilan dan mendorong eksekusi putusan.

Dia contohkan, putusan pengadilan dalam kasus Semen Indonesia Kendeng di Jawa Tengah. Putusan uji materi Perpres Nomor 18/2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah, gugatan warga Palangkara soal kebakaran hutan dan lahan 2015.

Juga gugatan izin lingkungan PLTU Cirebon II yang dibatalkan PTUN Bandung. Terhadap putusan pembatalan, Pemerintah Jawa Barat malah menerbitkan izin lingkungan baru untuk PT Cirebon Energi Prasarana. Keputusan kontroversial seperti ini, katanya, merupakan preseden buruk bagi tata kelola lingkungan hidup di Indonesia.

Visi presiden dan pembangunan nasional, katanya, yang cenderung mengedepankan investasi, infrastruktur dan berbagai proyek strategis nasional seharusnya tak mengorbankan visi perlindungan lingkungan dan sumber daya alam karena menyangkut keselamatan warga dan ekosistem.

Dia bilang, banyak kegiatan pembangunan mengorbankan dan menimbulkan kerugian lingkungan maupun masyarakat, bahkan investor sendiri karena harus mengeluarkan biaya untuk pemulihan.

”Beberapa legislasi dan regulasi yang bermunculan sampai akhir masa jabatan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla harus dievaluasi kembali. Terutama yang kontra produktif terhadap perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam,” kata Henri.

Dia sebutkan, beberapa RUU fundamen justru harus jadi prioritas, seperti RUU Masyarakat Hukum Adat dan RUU Keanekaragaman Hayati.

 

Kebakaran hutan dan lahan terus terjadi, cermin tata kelola buruk. Foto: KLHK

 

Kepentingan bisnis

Presiden Jokowi mengusulkan untuk merevisi 74 Undang-undang yang dianggap menghambat investasi akan diatur dalam satu UU dengan model omnibus law. “Tentu jadi peluang besar dalam ‘mengkorupsi sumberdaya alam’. Karena persoalan investasi terhambat di Indonesia, bukan karena banyak UU, melainkan proses birokrasi masih rumit, dan budaya birokrat masih ribet,” kata Iqbal Damanik, peneliti Yayasan Auriga Nusantara.

Dia mengatakan, dibandingkan menggulirkan omnibus law, lebih baik mencermati laporan KPK untuk harmonisasi regulasi lingkungan dan sumber daya alam SDA agar selaras UU terkait. ”Jika ada regulasi tumpang tindih lebih baik digabung, direvisi atau dihapus jika tidak diperlukan lagi.”

Auriga menghitung hampir separuh anggota DPR 2019-2024 merupakan pengusaha. Untuk itu, katanya, perlu ada regulasi mengatur agar kandidat yang mengikuti pemilu harus melepaskan kepentingan bisnis. “Potensi konflik kepentingan akan muncul jika kandidat terpilih sebagai anggota legislatif.”

Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan, langkah omnibus law ini diduga guna mengakomodir kepentingan pengusaha. Bahkan, pengesahan RUU KPK akan menyuburkan praktik korupsi di sektor pertambangan.

Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) 2014-2018, KPK berperan memperbaiki tata kelola sumber daya alam, meningkatkan pendapatan negara, penegakan hukum, dan perbaikan kebijakan lingkungan hidup. Prestasi KPK ini, kata Merah, didorong lewat gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam (GNPSDA).

Gerakan ini, katanya, mampu menjerat menteri, kepala daerah, anggota legislatif, dan aparat penegak hukum yang terlibat kasus korupsi sektor sumber daya alam. Dia perkirakan, aksi KPK ini, dalam lima tahun ke depan akan runtuh karena revisi UU KPK dan pimpinan KPK baru yang dipersoalkan masyarakat.

“Jatam memproyeksikan pemerintahan lima tahun ke depan sebagai pintu menuju Indonesia neo orba yang ditopang investasi hitam dan sumber pembiayaan politik dari oligarki tambang dan ekstraktif,” katanya.

Henri juga menyayangkan revisi UU KPK. “Dalam memperkuat sistem integritas dalam mendukung tata kelola lingkungan hidup dan sumber daya alam perlu lembaga seperti KPK.”

Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi dan Program Publish What You Pay (PWYP) menyebutkan, dalam pemerintahan Jokowi periode pertama tak mampu menyelesaikan kasus mafia tambang dan migas. Tata kelola sektor lingkungan dan sumber daya alam, katanya, tak mengutamakan transparansi dan akuntabilitas.

Kondisi ini terlihat dari data HGU yang harus dibuka sesuai perintah pengadilan tetapi hingga kini pemerintah masih tertutup. Tata kelola seperti ini, katanya, malahan tak memberi kepastian hukum bagi investor yang ingin mematuhi peraturan perundang-undangan.

“Investor baik (taat hukum-red) akan menjauh dari Indonesia karena tidak ada kepastian hukum,” katanya.

 

Keterangan foto utama:  Begini tampilan tepian pantai kala ada tambang nikel. Pencemaran lingkyngan oleh aksi perusahaan, seakan tak masalah, karena terus tejadi dan tak ada penegakan hukum sama sekali.  Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

Warga Kumpeh, Jambi, protes kepada perusahaan sawit, PT Bukit Bintang Sawit. Konflik lahan terus terjadi juga cermin tata kelola buruk. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version