Mongabay.co.id

Kembalikan Tradisi Masyarakat Sriwijaya untuk Lestarikan Alam

Seorang warga Desa Upang Ceria menunjukan udang satang yang didapatkannya di Sungai Demang Lebar Daun, anak Sungai Musi, yang akan dijadikan lokasi wisata sejarah dan ekowisata. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Selama puluhan abad, masyarakat di Nusantara [Indonesia] mampu menjaga alamnya dari berbagai kerusakan. Kehidupan mereka pun harmonis dengan alam.

Misalnya di masa Kedatuan Sriwijaya, hubungan harmonis dengan alam ini melahirkan berbagai tradisi, seperti sedekah sungai, laut dan bumi. Pijakan masyarakat Kedatuan Sriwijaya tercermin dalam Prasasti Talang Tuwo yang dibuat dua tahun setelah kerajaan tersebut berdiri 684 Masehi.

Namun, kolonialisme yang mengusung ekonomi ekstraktif, membuat alam yang sebelumnya terjaga menjadi rusak, yang berdampak sebagian besar masyarakatnya hingga saat ini hidup tidak sejahtera. Apa yang harus dilakukan?

“Kita harus mengembalikan dan melestarikan tradisi-tradisi yang tumbuh di masyarakat yang hidup selama Kedatuan Sriwijaya. Jika tradisi-tradisi ini dihidupkan dan dilestarikan, saya percaya akan mengembalikan kearifan manusia terhadap alam, termasuk pula melestarikannya,” kata Dr. Husni Thamrin, budayawan Palembang, usai mengunjungi makam tua di Upang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, yang diperkirakan makam Sri Idrawarman, salah satu raja Kedatuan Sriwijaya, pekan terakhir Oktober 2019.

Baca: Tidak Lagi Terbakar, Dua Desa Ini Kembangkan Wisata Sejarah dan Ekowisata

 

Seorang warga Desa Upang Ceria menunjukan udang satang yang didapanya di Sungai Demang Lebar Daun, anak Sungai Musi, yang akan dijadikan lokasi wisata sejarah dan ekowisata. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat Upang saat ini masih menjaga tradisi sedekah sungai, yang merupakan tradisi turunan dari masyarakat Kedatuan Sriwijaya.

Setelah runtuhnya Kedatuan Sriwijaya, di masa Kerajaan Majapahit dan sejumlah Kesultanan, tradisi ini masih bertahan, dan alam pun tetap terjaga. “Baru setelah datangnya bangsa Eropa yang menjalankan ekonomi ekstraktif, alam mulai rusak, yang terus dirasakan hingga saat ini. Kerusakan bentang alam ini pun memberi dampak signifikan terhadap karakter suku bangsa di Nusantara.”

Di masa Kedatuan Sriwijaya, pada masyarakat pesisir atau lahan basah, tumbuh dan berkembang tradisi seperti sedekah sungai dan laut, sementara di wilayah daratan tradisi seperti sedekah atau ruwatan bumi. “Tradisi ini masih kita temukan pada masyarakat di Nusantara, misalnya pada komunitas adat.”

Tradisi-tradisi tersebut selain bertujuan membentuk karakter manusia setempat, juga sebagai “pertahanan” terhadap berbagai upaya dari luar yang berkeinginan merusak alam.

Baca juga: Jika Kerajaan Sriwijaya Fiktif, Bagaimana Kedaulatan Maritim Indonesia?

 

Anak-anak Desa Gelebak Dalam bermain di sawah. Dulunya desa ini bernama Sri Kuto Payung Priyayi, satu-satunya permukiman kaum ningrat di luar Palembang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Terbuka, egaliter dan berketuhanan

Tradisi sedekah laut dan sungai, misalnya, melahirkan karakter manusia yang terbuka, egaliter, pemberani, berkerja sama dan berketuhanan.

Terbuka karena sungai atau laut dipahami sebagai penghubung bukan pembatas. Ketika manusia berlayar atau berperahu ke sungai atau laut, dia akan terhubung dengan belahan dunia lain.

“Seseorang yang berperahu di Sungai Musi akhirnya dapat melaju hingga ke Singapura, Malaka, Ternate, Buton atau pesisir Papua. Dia pun berhubungan dengan manusia lain, terbuka agar dapat membaur. Daratan atau pulau dipahami sebagai bagian laut atau sungai. Ini berbeda dengan manusia di darat, yang melihat sungai atau laut sebagai batas. Mereka cenderung tertutup,” kata Ketua Yayasan Alam Melayu Sriwijaya [Sriwijaya], sebuah lembaga yang fokus pada pelestarian ritus atau tradisi peninggalan masyarakat Kedatuan Sriwijaya.

Sungai dan laut juga memberi pemahaman bagi manusia jika ada manusia yang hidup di belahan bumi lain, juga memahami begitu banyak makhluk hidup di Bumi ini. Semua makhluk hidup memiliki akses dan peranan terhadap alam, sehingga posisinya sejajar.

Mengarungi sungai dan laut juga membutuhkan keberanian luar biasa. “Nyawa taruhannya.”

Sama seperti beragam jenis ikan, manusia juga membutuhkan kerja sama saat berada di perahu atau kapal. “Lihatlah nelayan, mereka selalu kerja sama saat melaut.”

Karena bahaya di laut, kesadaran spiritual manusia meningkat. Kecemasan akan mati akibat badai atau digulung ombak, membuat manusia terhubung kepada Tuhan, mereka berharap diberi perlindungan atau pertolongan.

Lima karakter manusia itu yang membangun masyarakat di Nusantara pada masa Kedatuan Sriwijaya, sebagai manusia unggul. “Bukan menguasai atau mengalahkan orang lain dan alam, unggul karena bermanfaat bagi manusia dan alam,” jelasnya.

 

Perahu ketek masih menjadi angkutan utama di Sungai Musi untuk jakur Palembang Ilir dan Palembang Ulu. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Pemajuan kebudayaan

Upaya penjagaan lingkungan hidup melalui penghidupan dan pelestarian berbagai tradisi terkait alam, dapat dilakukan melalui skema pemajuan kebudayaan Indonesia.

“Sederhananya, bukan hanya urusan aktivis lingkungan, Menteri LHK [Lingkungan Hidup dan Kehutanan], Perkebunan, Pertanahan, Energi, tetapi juga seniman, tokoh agama, guru, tokoh adat, dan lainnya. Semuanya bagian penting atau aktor utama dalam upaya pemajuan kebudayaan,” kata Conie Sema, seniman Palembang.

Langkah ini, lanjut Conie, sesuai salah satu poin Strategi Kebudayaan Indonesia yang dihasilkan dari Kongres Kebudayaan 2018 lalu, yakni “memajukan kebudayaan yang melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem.”

Isinya, pertama, meningkatkan pelindungan dan pengembangan cagar budaya untuk membentuk tata ruang yang berkeadilan dan ramah terhadap lingkungan hidup. Kedua, melindungi dan mengembangkan nilai-nilai budaya bahari dan local genius agar dapat dimanfaatkan dalam pembangunan nasional.

Ketiga, meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang pengetahuan tradisional yang relevan dengan antisipasi bencana.

 

Rumah-rumah panggung yang masih bertahan di tepi Sungai Musi, tepatnya di Kampung 14 Ulu, Palembang, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Manusia unggul

Selama tiga hari, sejumlah pemikir dan budayawan dari sejumlah wilayah di Indonesia melakukan Mufakat Budaya Indonesia 2019, di Hotel Century Jakarta, 29-31 Oktober 2019.

Salah satu isu yang dibahas adalah mengenai manusia unggul, respon dari pernyataan Presiden Joko Widodo [Jokowi] tentang pembangunan manusia unggul Indonesia ke depan.

Dikritisi, jika perwujudan manusia unggul hanya berdasarkan kepemilikan atau penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak sesuai dengan karakter manusia unggul bangsa Indonesia. “Manusia unggul Indonesia adalah yang memiliki manfaat bagi sesame, bukan yang mengalahkan. Artinya, bukan hanya terkait ilmu pengetahuan dan teknologi, juga mental dan moral.”

Jadi, melahirkan manusia unggul di Indonesia bukan hanya melalui “sekolah”, juga menghidupkan kembali sistem peradatan. Antara lain dengan melakukan transmisi pengetahuan lokal, termasuk terkait alam atau lingkungan hidup.

 

Dua anak terlihat menjaring ikan di Sungai Belido, Kabupaten Muara Enin, Sumatera Selatan. Foto: Ikral /Mongabay Indonesia

 

Minimnya manusia unggul Indonesia saat ini, penyebab atau kondisi aktualnya karena masyarakat secara sistematis direndahkan kemanusiaannya. Sebagian besar manusia Indonesia double standard, friksi mental yang menyebabkan skizofrenia mental-kultural, serta perubahan bentang alam mengubah kenyataan budaya setempat.

“Mufakat ini melahirkan rekomendasi terkait manusia unggul tersebut,” kata Radhar Panca Dahana, budayawan yang menjadi penggagas dan penyelenggara Mufakat Budaya Indonesia 2019.

Pertama, menghidupkan kembali sistem peradatan dalam mengelola kehidupan manusia, antara lain dengan melakukan transmisi pengetahuan lokal. Kedua, kebijakan dan anggaran secara khusus ditujukan dan dialokasikan pada penguatan kerja-kerja peradatan atau budaya lokal.

Ketiga, meningkatkan anggaran kebudayaan 20% dari 20 persen dana pendidikan nasional dalam APBN. Keempat, mengorientasikan Pancasila sebagai standar norma dan moral bagi manusia dan kehidupan yang berorientasi pada perilaku luhur dan memiliki manfaat pada masyarakat.

Kelima, keunggulan manusia Indonesia mesti ditunjukkan atau direpresentasikan dalam pemilihan dan keteladanan para pemimpinnya.

 

 

Exit mobile version