Mongabay.co.id

Darurat Pengelolaan Sampah di Bali, Rentan sebabkan Konflik Sosial dan Ekonomi. Seperti Apa?

 

Sejumlah organisasi dan aktivis peduli sampah Bali membuat pernyataan sikap tentang penutupan TPA Suwung dan pengelolaan sampah di Bali. Mereka menilai keadaan pengelolaan sampah di Bali terus memburuk dan sudah mencapai puncaknya. Tidak hanya merusak lingkungan juga mengakibatkan konflik sosial dan kerugian ekonomi.

Forum Komunikasi Pegiat Lingkungan ini menyimpulkan pengelolaan sampah selama ini berkutat di hilir dan akan selalu berfokus menyediakan alat berat dengan biaya tinggi. Investasi pengelolaan sampah perlu dilakukan di hulu, dengan membuat regulasi, inspeksi, sanksi dan edukasi kepada para penghasil sampah.

TPA regional Suwung terbakar beberapa hari pada akhir Oktober dan terjadi penutupan akses jalan masuk ke TPA oleh warga setempat. Kebakaran juga sempat melanda sejumlah TPA di beberapa kabupaten lain seperti Gianyar, Buleleng dan Tabanan. Forum menilai hal ini bukti pengelolaan sampah di hilir dengan sistem TPA telah melampaui batas.

baca : Ketika Gunung Sampah Mulai Erupsi, Apa yang Harus Dilakukan?

 

Proses pemadaman kebakaran di TPA Suwung Bali pada Minggu (27/9/2019. Foto : BPBD Bali/Mongabay Indonesia

 

Seperti cerita IB Gede Putra, supir truk pengangkut sampah yang mengaku tidak bisa menurunkan sampah ke TPA Suwung pada Jumat (1/11/2019). “Truk harus balik dengan penuh sampah, maaf dulu ya bu,” katanya minta permakluman pada pelanggannya di pemukiman Denpasar Utara, awal November. Ia dan sopir puluhan truk sampah antri sampai keluar area TPA karena ada sejumlah peristiwa yang saling terkait. Seperti kebakaran selama 4 hari di gunungan sampah TPA dan larangan warga sekitar yang lelah menghirup asap dan bau sampah.

Lebih dari 4 hari saja sampah tidak diangkut, tumpukan sampah sudah terlihat meninggi di depan-depan rumah warga. Bahkan tak sedikit yang membuang di sejumlah sudut jalan sepi, membuat TPS ilegal, dan lebih buruk lagi membuangnya di jurang dan tepi sungai.

Forum Komunikasi menyebut timbulan sampah saat ini sangat besar mencapai 5.000-10.000 ton/hari di mana 60-70% adalah organik, 20-30% adalah non organik layak daur ulang, dan 10% residu. Seharusnya 90% dari total sampah tersebut tidak berakhir di TPA.

IB Mandhara Brasika, juru bicara Forum ini mengatakan pernyataan sikap akan diteruskan ke Gubernur Bali dan pimpinan daerah lainnya. “Juga pimpinan majelis desa adat,” ujarnya dikonfirmasi pada Rabu (06/11/2019).

Sampah yang bercecer di jalan, aroma yang dihasilkan TPA, pembakaran sampah, konflik sosial dan permasalahan lain yang muncul akibat pengelolaan sampah diyakini berdampak buruk pada ekonomi Bali, termasuk pada industri pariwisata Bali. Perubahan pola pengelolaan harus dilakukan secara cepat, masif dan terstruktur.

baca juga : Bali Pulau Surga atau Surga Sampah?

 

Sebuah truk melintasi tempat pembuangan akhir sampah (TPA) Suwung, yang terbesar di Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Forum komunikasi yang menandatangani pernyataan ini adalah Yayasan Lengis Hijau, PPLH Bali, Griya Luhu, Trash Hero Indonesia, Yayasan Tukad Bindu, Rumah Solusi, Bersih-bersih Bali, Bank Daur Ulang Bedulu, Bank Sampah Cemenggon, dan lainnya. Mereka menyatakan permasalahan sampah di Bali sudah memasuki fase darurat. Perubahan pola lama “angkut-buang”, ke pola baru “pilah di sumber” tidak bisa ditunda lagi.

Forum ini menghasilkan sejumlah butir masukan dan desakan solusi ke pemerintah. Di antaranya mendesak semua pihak untuk mengurangi dan bahkan menghentikan segala penggunaan bahan non-organik sekali pakai seperti gelas plastik, gelas kertas, botol plastik, kertas minyak, bioplastik, plastik singkong, dan lainnya. Menggantinya dengan benda berkali pakai seperti dari kaca, keramik, atau bahan organik. Seperti daun pisang, daun jati, bahan bambu, dan lainnya.

“Plastik yang mengklaim biodegradable itu tetap tak ramah lingkungan dan sekali pakai,” papar Putu Evie, aktivis Trash Hero di Bali, salah satu penandatangan pernyataan Forum. Plastik konvesional diolah dari minyak bumi yang tak bisa diperbaharui, lalu muncul produk sejenis yang terbuat dari tumbuhan. Namun menurutnya tetap menggunakan bahan tambahan yang tak bisa terurai alami dan ini berbahaya jika terbuang atau mencemari kompos. “Ini greenwashing,” lanjutnya saat dihubungi Rabu (06/11/2019).

Selanjutnya mendesak lembaga pemerintah, lembaga adat dan keagamaan sebagai pemberi contoh terdepan dalam penerapan pengurangan bahan/plastik sekali pakai. Mewajibkan seluruh masyarakat dan pelaku usaha untuk melakukan pemilahan sampah sejak di sumber/hulu (rumah tangga, tempat usaha, kantor dan sebagainya). Minimal terpilah 3 jenis yakni organik, non organik layak daur ulang, dan residu.

Ketiga, mewajibkan pengolahan sampah organik di sumber. Sebaik-baiknya di rumah tangga, minimal di tingkat desa. Pengelolaan dapat berupa komposting, biogas, budidaya lalat tentara hitam (black soldier flies), lubang berpindah atau sistem lain sesuai kemampuan warga/desa.

perlu dibaca : Inilah Data dan Sumber Sampah Terbaru di Bali

 

Tiga tempat sampah minimal yang direkomendasikan pegiat peduli sampah, yaitu untuk sampah organik, anorganik yang bisa didaur ulang, dan tidak. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Berikutnya, mewajibkan seluruh sampah non-organik layak daur ulang untuk kembali ke sistem daur ulang melalui Bank Sampah, Pengepul, TPST/TPS 3R atau sistem lainnya. Sehingga memastikan sampah tersebut tidak terbuang ke lingkungan ataupun dibakar. Mewajibkan semua pihak hanya boleh mengangkut bahan residu untuk dibawa ke TPA. Sehingga hanya 10% dari total sampah yang berakhir di TPA.

Menuntut Desa Dinas dan Desa Adat segera membuat Perdes dan Pararem Adat tentang tata kelola kebersihan yang ramah lingkungan. Pengusaha diminta terlibat aktif secara langsung maupun melalui CSR untuk pengelolaan sampah terlibat dalam perubahan pola pikir dan perilaku 3R (Reduce, Reuse, Recycle) serta perubahan sistem dari “angkut-buang” menjadi “pilah di sumber”. Terakhir, meminta Gubernur bersama Bupati/Walikota meregulasi dan mengawasi secara ketat proses ini.

Pegiat forum ini menilai sejak dulu pemahaman dan konsep TPA dianggap sebagai “Tempat Pembuangan Akhir” bukan “Tempat Pemrosesan Akhir”. Sehingga seberapapun luas lahan yg disediakan untuk TPA tidak akan pernah cukup atau bertahan lama, karena permasalahan di hulu hampir tidak pernah diselesaikan.

Evie menilai dua regulasi terkait pelarangan kantong plastik oleh Walikota Denpasar dan plastik sekali pakai yang meliputi styrofoam dan sedotan di Pergub Bali tahun 2019 sudah bagus. Namun belum ada monitoring dan evaluasi, hal terpenting. “Kami ingin terlibat bersama komunitas lingkungan, mendorong bentuk tim monev yang baik untuk implementasi regulasi ini,” ujarnya.

Perempuan seniman ini juga terlibat mendorong pelaksaan regulasi misalnya di forum online Bali plastic watch yang mendorong warga termasuk ekspatriat memantau usaha yang masih menyediakan sedotan, styrofoam, dan kresek. “Kami posting dan tag perusahaannya untuk ikut melaksanakan Pergub,” tambah Evie.

menarik dibaca : Proyek “Penghijauan” Gunungan Sampah Bali Diresmikan. Apakah Efektif?

 

Sejumlah pedagang gotong royong menyapu sampah plastik di Pantai Kuta, Bali pada Selasa (03/01/2017). Sedikitnya perlu 3 kali menyapu tiap harinya karena sampah terus menerus terbawa arus. Foto Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Tawaran solusi

Sehubungan dengan permasalahan sampah di TPA Sarbagita Suwung, pemerintah berkoordinasi dengan para pihak pada Selasa (29/9/2019) dan menghasilkan sejumlah kesepakatan.

Solusi jangka pendek diantaranya Kelian (ketua) Banjar Pesanggaran dan Pecalang bersedia membuka kembali akses jalan masuk untuk truk pengangkut sampah menuju TPA Sarbagita Suwung yang sebelumnya sempat ditutup selama 3 tiga hari. Menghentikan sementara pembuangan sampah dari Pemkab Tabanan, Pemkab Badung, dan Pemkab Gianyar ke TPA Sarbagita Suwung. Khusus untuk Kabupaten Badung diizinkan membawa sampah 15 unit truk selama satu bulan ke depan.

Menyiapkan lahan aset Pemprov Bali yang berada di wilayah selatan dan utara Kabupaten Badung dijadikan TPA sampah. Apabila lahan sudah ada maka Pemkab Badung diminta segera mengalihkan pembuangan sampah dari TPA Suwung ke lokasi TPA yang baru.

Gubernur Bali memberikan bantuan 1 unit truk konverter kepada Pemkot Denpasar untuk pengangkutan dan pemadatan sampah dan mulai dioperasikan terhitung sejak Rabu (30/9/2019). Kemudian menugaskan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Bali untuk meningkatkan pengelolaan sampah di TPA Sarbagita Suwung melalui pemadatan dengan menambah kapasitas alat-alat berat.

Solusi jangka menengah di antaranya membangun TPA baru dengan luasan areal dan teknologi yang memadai baik untuk Pemkot Denpasar, Pemkab Badung, Pemkab Gianyar, dan Pemkab Tabanan. Meningkatkan kapasitas pengangkutan dan pengolahan sampah melalui penambahan armada angkutan sampah, alat-alat berat pengolahan sampah, dan alat-alat pemadaman kebakaran sampah. Pengadaan akan dimulai Tahun Anggaran 2020 melalui APBD Provinsi Bali dan APBD Kabupaten/Kota terkait.

Sementara solusi jangka panjangnya melanjutkan pembangunan Pengolahan Sampah Energi Listrik (PSEL) di TPA Sarbagita Suwung yang prosesnya sudah dimulai 2019 ini. Mempercepat penyelesaian regulasi yang mengatur pengolahan sampah berbasis rumah tangga dan desa untuk mengurangi pembuangan sampah ke TPA.

Kepala DLH Kota Denpasar I Ketut Wisada mengatakan truk sampah Denpasar sudah bisa kembali masuk TPA Suwung. Terkait tantangan pengolahan sampah terbesar, ia menyebut teknologinya belum ada dan mahal.

baca juga : Setelah Gagal, Pembakaran Sampah Jadi Listrik Kembali Dilakukan di Bali

 

Dalam TPA Temesi ada Yayasan dengan unit Temesi Recycling yang memilah sampah organik dari truk langganan jadi kompos. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

I Nyoman Suastika, Kepala Dusun Tulamben di Karangasem adalah salah satu pegiat bank sampah di desanya. Berada di hulu Bali, kaki Gunung Agung, desa ini juga terkenal karena spot bawah lautnya. Dari pengalamannya, hal penting dalam penanganan sampah di hulu adalah pengadaan infrastruktur dan pendampingannya.

Idealnya ada unit bank sampah tiap dusun dan desa dengan sarana pengangkutan yang layak dan sumber daya pengelolanya. Selain itu, pemilahan sampah dilakukan sejak di rumah. Karena jika dipilah di bank sampah, perlu banyak tenaga. Saat ini, ia memimpin pengangkutan sebagian sampah warga karena keterbatasan sumberdaya.

“Tak banyak yang mau memilah sampah. Alasannya kurang efisien,” kata Suastika. Selain itu sampah yang mau dipilah hanya yang bisa dijual. Dari 300-an KK, ia memperkirkan hanya 50 KK yang mau memilah. Sedangkan volume sampah ke TPST sekitar 7 meter kubik per hari.

menarik dibaca : Uniknya Nikah Minim Sampah

 

Exit mobile version