Mongabay.co.id

Berbagai Proyek Dijalankan, Karhutla Tetap Terjadi di Sumatera Selatan. Mengapa?

Water bombing dilakukan setiap hari, tapi api terus menjalar di rawa gambut di Cengal yang kering selama kemarau. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Persoalan kebakaran hutan dan lahan [karhutla] bukan hal baru bagi Indonesia, khususnya di Sumatera Selatan [Sumsel]. Berdasarkan catatan harian Kompas bencana kabut asap mulai dirasakan masyarakat Palembang, Sumatera Selatan, sejak 1967.

Berdasarkan catatan Mongabay Indonesia, kebakaran kembali terjadi di awal 1980-an, dan mencapai puncaknya pada 1997-1998. Tapi berdasarkan pengakuan sejumlah masyarakat kepada Mongabay Indonesia, yang menetap di sekitar rawa gambut di Sumsel, awal 1960-an juga terjadi kebakaran hutan di rawa gambut.

Diperkirakan dua peristiwa kebakaran tersebut disebabkan aktivitas masyarakat yang membuka hutan dan lahan untuk pertanian dan perkebunan, sebagai dampak krisis ekonomi dan politik di Indonesia.

Tahun 2019, karhutla skala besar kembali terjadi di Indonesia, termasuk di Sumsel. Bahkan titik api tetap muncul dan menimbulkan kabut asap di Palembang hingga pekan pertama November 2019.

Fakta ini seakan meniadakan berbagai upaya yang dilakukan pemerintah [terakhir membentuk Badan Restorasi Gambut], kemudian berbagai organisasi non-pemerintah nasional dan international, lembaga donor, perusahaan, serta masyarakat yang peduli, yang bekerja sejak awal tahun 2000-an, yang menghabiskan dana ratusan miliar rupiah.

Biaya pun dikeluarkan mulai dari upaya pencegahan, seperti pembasahan lahan dengan pembuatan sekat kanal dan sumur bor dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, serta penanggulangan kebakaran melalui darat dan udara.

Baca: Foto Udara: Api Membara di Rawa Gambut Sumatera Selatan

 

Api menjalar di rawa gambut Cengal, Kabupaten OKI, yang kering selama kemarau. Pemadaman melalui udara dilakukan akhir Oktober 2019 lalu. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan catatan Mongabay Indonesia, proyek pertama penanggulangan karhutla di Sumsel dimulai awal 2000-an. Proyek itu adalah South Sumatra Forest Fire Management Project [SSFFMP] yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan dukungan Uni Eropa, yang berjalan dari Januari 2003 hingga Januari 2008. Sasaran proyek yakni kelompok masyarakat yang wilayahnya terbakar hebat pada 1997-1998: Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Musi Banyuasin [Muba], dan Banyuasin.

Adapun desa yang menjadi sasaran proyek SSFFMP yakni adalah Pagar Desa, Muara Medak, Kali Berau, Bayat Ilir, dan Mangsang [Muba], kemudian Riding, Ulak Kemang, Ujung Tanjung, Simpang Tiga [OKI], serta Prajen Jaya, Talang Lubuk, Upang, Muara Telang {Banyuasin]

Kegiatan proyek ini mulai dari memfasilitasi pembentukan organisasi masyarakat peduli api beserta peralatannya, pemberdayaan ekonomi masyarakat seperti anyaman purun, persawahan, pembesaran kerbau, pembesaran sapi, pengolahan minyak kelapa murni [virgin coconut oil], serta kegiatan pendukung. Sebut saja, pemutaran film dan pelatihan lingkungan hidup bagi generasi muda desa.

Setelah dua tahun proyek berjalan, karhutla tetap terjadi pada 2006 dan 2007, hingga proyek berakhir 2008.

Karhutla pada 2006 cukup besar, meskipun tidak seperti 1997-1998. Seratusan ribu hektar rawa gambut di Sepucuk, Kabupaten OKI, terbakar. Rawa gambut yang kedalamannya hingga 6 meter tersebut, merupakan eks konsesi perusahaan HPH, yang setelah kebakaran tersebut menjadi perkebunan sawit. Hanya 20 hektar lahan eks terbakar tersebut dijadikan kebun plasma nutfah oleh pemerintah, di antaranya ada pohon jelutung, ramin dan meranti yang ditanam.

Baca: Selama Kemarau, Ada juga Lokasi Gambut yang Tidak Terbakar di Kabupaten OKI

 

Sebagian besar rawa gambut di Cengal, Kabupaten OKI, dijadikan konsesi perkebunan sawit dan HTI. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Setelah SSFFMP, berbagai proyek penanggulangan karhutla juga dilakukan seperti proyek MRPP [Merang REDD Pilot Project] dan Bioclime-GIZ. Sebagian target wilayah di rawa gambut itu sama atau satu bentang alam dengan yang dikerjakan SSFFMP.

Tahun 2015, Karhutla besar kembali terjadi di Sumsel. Karhutla ini hampir seperti 1997-1998. Berdasarkan data KLHK luasan lahan yang terbakar di Sumsel sekitar 646 ribu hektar. Sementara data dari aliansi organisasi masyarakat sipil [CSO] luasannya mencapai 857 ribu hektar.

Presiden Joko Widodo [Jokowi} bertekad mengatasinya, dan peristiwa karhutla 2015 tidak berulang. Jokowi membentuk Badan Restorasi Gambut [BRG} yang targetnya bukan hanya mengatasi Karhutla juga merestorasi atau membasahi lahan gambut agar tidak mudah terbakar pada musim kemarau.

Di Sumsel, upaya yang dilakukan sama seperti yang dilakukan proyek-proyek sebelumnya, yakni membangun kesadaran di masyarakat melalui penguatan organisasi dan pelatihan, serta pemberdayaan ekonomi. Sementara pekerjaan teknisnya berupa pembuatan sekat kanal dan sumur bor, serta revegetasi.

Masyarakat desa yang menjadi target BRG pun sama, seperti masyarakat Desa Muara Medak [Muba], dan sejumlah desa di Kecamatan Tulungselapan dan Pangkalan Lampan [OKI], serta sejumlah desa di Kabupaten Banyuasin. Bentuk kegiatan ekonominya juga sama, seperti pembesaran sapi dan anyaman kerajinan purun. Kesamaan ini terjadi karena wilayah tersebut tetap ditemukan titik api setiap kali musim kemarau.

Selain program BRG yang didukung TRG [Tim Restorasi Gambut] Sumsel, juga dilaksanakan proyek KELOLA Sendang [Sembilang-Dangku] yang melakukan pendekatan lanskap, serta sejumlah proyek lainnya yang dikerjakan sejumlah lembaga swadaya masyarakat [LSM] yang didukung lembaga donor.

Ternyata, tahun 2019, karhutla tetap terjadi di Sumsel. Hingga awal November 2019 lalu, sekitar 361.857 hektar, lahan terbakar. Ironinya, ada desa yang menjadi sasaran proyek SSFFMP maupun BRG kembali dilalap api yakni Desa Muara Medak.

Baca: Kubah Gambut di Muara Medak Terbakar Lagi

 

Kebakaran di lahan gambut di Desa Muara Medak, Muba, Sumsel, Agustus 2019 lalu, sebagian besar berada di kubah gambut. Sebagian lahan negara ini juga dirambah untuk dijadikan kebun sawit. Foto: HaKI [Hutan Kita Institute]

 

Tidak seimbang

Dr. Zulfikhar, pakar gambut dari World Agroforestry [ICRAF], membenarkan hal tersebut. “Ya, benar, di Sumsel pernah ada proyek Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, banyak kajian yang dilakukan dan dihasilkan. Demikian juga koordinasi dan upaya teknis pada plot-plot lokasi tertentu telah dilakukan oleh proyek [SSFFMP, red], BRG dan TRGD,” kata mantan sekretaris Dinas Kehutanan Sumsel ini, Kamis [14/11/2019].

“Proyek dan SKPD juga telah mengembangkan sistem deteksi dini berbasis data hotspot dan sistem peringkat bahaya kebakaran. Proyek dan SKPD juga telah melatih aparat pemerintah daerah dan kelompok masyarakat yang ribuan jumlahnya, dengan bantuan perlengkapan deteksi dini dan sistem pemetaan, serta peralatan regu unt pemadamam kebakaran hutan dan lahan.”

Tetapi kenapa kebakaran hutan dan lahan masih juga berlanjut?

Ini sangat menarik untuk dianalisis, katanya. Pertama, di satu sisi proses pembelajaran di tingkat proyek sedang berjalan, lokakarya dan seminar para ahli dan parapihak untuk pengembangan kebijakan dan regulasi belum selesai. Tetapi pembukaan lahan baru, deforestasi dan pembangunan infrastruktur kanal dan jalan pada lahan gambut semakin intensif dan meluas.

Kedua, upaya pencegahan Karhutbunla [kebakaran hutan kebun dan lahan] belum cukup berkembang dan efektif. Khususnya pertimbangan-pertimbangan terkait tata guna lahan, tata guna air rawa gambut, operasi pembukaan lahan, dan koordinasi kelembagaan pengendalian risiko kekeringan dan kebakaran antara parapihak pengelola lahan, baik pemerintah daerah, perusahaan dan masyarakat belum cukup efektif.

Baca: Dikawal, Proses Hukum 8 Perusahaan di Sumatera Selatan yang Disegel KLHK

 

Berbagai upaya restorasi gambut dijalankan di Pedamaran, Kabupaten OKI. Mulai pembuatan sekat kanal, sumur bor, dan bantuan ekonomi ke masyarakat. Tapi api tetap membara di rawa gambut, akhir Oktober 2019 lalu. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

“Apa yg terjadi? Kerentanan kebakaran secara bio-fisik pada vegetasi dan lahan gambut meningkat, sementara investasi di lahan semakin meluas, dan faktor antropogenik kebakaran tertinggal ditangani. Maka, titik api dan kejadian kebakaran terjadi berulang, semakin sporadis, tidak terduga, dan susah dicegah.

Namun pada desa-desa tertentu yang telah menghidupkan sistem pencegahan kebakaran sebagai bentuk inisiatif masyarakat desa di tingkat tapak telah berhasil mencegah terjadinya kebakaran hutan, lahan dan kebun.

“Kesimpulan saya, di dekade ini kita tertinggal dalam upaya pencegahan kebakaran dan pembakaran hutan kebun dan lahan pada tingkat tapak. Namun kita telah banyak karya pada pengembangan model peringkat bahaya kebakaran, deteksi dini, serta sistem komando dan teknologi operasi pemadaman kebakaran hutan, kebun dan lahan.

Dijelaskannya, perangkat hukum dan peraturan perundangan juga bagian dari sistem pencegahan, namun ada persoalan lain di mana pelanggaran faktanya masih terjadi. Belakangan, kebijakan dan peraturan teknis terkait sistem pengelolaan lahan gambut sudah diterbitkan, ini bagian dari sistem pencegahan.

“Jadi kedepan, fokus perhatian harus hadir pada tingkat tapak, jangan sampai ada parapihak tertinggal. Harus dibangun inklusifitas dan kebersamaan, berbasis data dan fakta untuk membuat keputusan dan kesepakatan berbasis kajian keilmuan, sebagai upaya membangun sistem pencegahan karhutbunla.

“Faktor iklim yang menyebabkan kekeringan vegetasi dan lahan sangat sulit diatasi, dan kebakaran sangat sulit dan mahal untuk memadamkannya. Maka, penanganan terhadap faktor antropogenik karhutbunla dalam membangun sistem pencegahan sebagai suatu manajemen risiko dalam pembangunan lanskap berkelanjutan harus menjadi prioritas. Keterpaduan program, lintas sektor, lintas pengusahaan, keterlibatan masyarakat setempat, peran tokoh masyarakat, tokoh agama dan lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat harus ada.”

Satu persoalan yang sangat berkaitan dengan tidak berkembang dan tidak efektifnya pencegahan kebakaran adalah pembiayaan. Mungkin, terobosan transfer fiskal berbasis ekologi, dimana peringkat risiko bahaya kebakaran ekosistem hutan, kebun dan lahan masuk kriteria alokasi anggaran dalam skema transfer fiskal berbasis ekologi tersebut, dipadukan dengan skema transfer fiskal lainnya.

“Suatu tantangan bersama untuk masyarakat Sumsel adalah ‘melawan lupa dan menjadi lebih peduli’. Sekarang hujan mulai turun, kebakaran dan asap berkurang. Tapi ingat, tahun depan kebakaran dan asap akan hadir lagi seperti biasanya,” jelasnya.

Baca juga: Palembang Tetap Berkabut Asap, Meski Penegakan Hukum Dijalankan

 

Jembatan Ampera, Sungai Musi, dan permukiman warga diselimuti kabut asap pada Kamis [24/10/2019] siang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat ekstraktif?

Mongabay Indonesia coba mengurai sekilas sejarah masyarakat yang hidup di sekitar rawa gambut, yang menjadi langganan titik api setiap musim kemarau di Sumsel.

Masyarakat yang menetap di sejumlah dusun atau desa di Pangkalan Lampam, Tulungselapan dan Cengal, di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI] terbagi dua. Pertama, masyarakat yang sudah ratusan tahun hidup di sana. Mereka ini umumnya menetap di tepian sungai dan rawa. Umumnya mereka merupakan nelayan tangkap, baik di sungai, rawa maupun laut.

Kedua, awal abad ke-20, pemerintah Belanda mengembangkan perkebunan karet di wilayah pesisir timur Sumsel, seperti di Pangkalan Lampam, Tulungselapan dan Cengal. Masyarakat yang didatangkan dari sejumlah dusun ini, umumnya dari tepian Sungai Ogan dan Komering. Mereka datang diawali dengan membuka hutan dan selanjutnya membuat perkebunan karet.

Mereka mendapat dua keuntungan. Yakni menjual kayu dari hutan maupun getah karet kepada perusahaan-perusahaan yang bekerja untuk pemerintahan Belanda. Mereka tidak membangun tradisi pertanian. Mereka umumnya mendatangkan beras dan sayuran dari luar dusun. Jika pun bertanam padi, bukan melalui persawahan dan kebun palawija yang tertata, cukup di ladang atau rawa gambut dangkal, yang gunanya untuk kebutuhan keluarga.

Jika ada kawasan hutan yang tidak dijamah, dipahami sebagai wilayah “angker” yang dijaga makhluk halus atau jin, yang jika dibuka akan berdampak tidak baik bagi manusia. Bukan fungsi ekologinya bagi kehidupan manusia.

Ketika hadirnya perusahaan HPH di era Orde Baru, tidak terjadi perlawanan di masyarakat. Mereka “berkoalisi” dengan perusahaan. Masyarakat sebagai pasukan terdepan dalam membuka hutan. Aktivitas mereka bukan hanya di pesisir timur Sumsel, juga hingga ke Jambi, Riau, dan Kalimantan.

Tidak terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan HPH, karena pembagian keuntungan sangat jelas. “Pemodal dan pekerja, sudah tahu hak dan kewajibannya sebelum bekerja,” kata Edi Rusman, tokoh masyarakat Desa Perigi Talangnangka, Kecamatan Pangkalan Lampam, eks karyawan perusahaan HPH, yang kini berjuang menyelamatkan rawa gambut di desanya, beberapa waktu lalu.

Sejumlah desa yang ada saat ini di Kecamatan Tulungselapan, sebelumnya merupakan permukiman pekerja perusahaan HPH atau lokasi pabrik penggergajian kayu.

Pertambakan udang tradisional yang berkembang di sepanjang pesisir timur Sumatera Selatan, yang menghabiskan ratusan ribu hektar mangrove, juga tidak menimbulkan konflik antara masyarakat dan pelaku usahanya. Saling menguntungkan. Lahan dikuasai masyarakat setempat, modal dan pemasaran dipegang pemodal yang umumnya perorangan.

Setelah hutan habis, motivasi mengejar penghasilan ekonomi yang tinggi tetap berkembang di masyarakat pesisir timur Sumatera Selatan. Sebagian masyarakatnya membuka penambangan timah rakyat di Pulau Bangka.

 

Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, memiliki kawasan gambut yang hampir setiap tahun terbakar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Konflik terjadi ketika hadirnya perusahaan perkebunan sawit dan HTI. “Ya, karena tidak menguntungkan masyarakat yang sudah lebih dulu hadir di sekitar lahan perusahaan tersebut. Skema plasma jelas sangat merugikan masyarakat. Perlawanan terjadi. Jika gagal dengan perusahaan, masyarakat berusaha membuka lahan baru [lahan negara], tujuannya sama seperti perusahaan tersebut, membuka perkebunan sawit atau persawahan karena sumber ekonomi lainnya sudah hancur, seperti perkebunan karet. Kita ini sama-sama mencari penghasilan yang besar, jika merugikan kami, ya jelas terjadi perlawanan atau konflik,” jelas Edi.

Air Sugihan, juga di Kabupaten OKI, merupakan kawasan transmigran. Motivasi para transmigran ini juga ekonomi. Sejak awal mereka melihat proses pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan.

Tahun 1990-an, ketika aktivitas perusahaan HPH masih berlangsung di pesisir timur Sumsel, tidak terjadi konflik antara perusahaan dengan transmigran. Bahkan, sebagian warga transmigran turut bekerja di perusahaan HPH tersebut.

Antara transmigran dengan masyarakat lokal atau mereka yang lebih dahulu menetap, juga tidak terjadi konflik. Mereka saling menunjang dalam kegiatan ekonomi seperti pertanian, perkebunan, pertambakan, penambangan timah di Bangka, termasuk mengembangkan rumah sarang burung walet, salah satu sumber ekonomi baru masyarakat pesisir timur.

Konflik terjadi ketika kehadiran perusahaan yang diklaim menyerobot lahan pertanian transmigran, dan dinilai tidak memberikan keuntungan masyarakat. Masyarakat akhirnya membuka lahan negara untuk pertanian, yang akhirnya menimbulkan kebakaran.

Muara Medak. Desa ini awalnya merupakan desa nelayan sungai yang berada di tepi Sungai Medak. Di wilayah pedalaman desa, yakni kawasan rawa gambut, hidup sekelompok masyarakat Suku Anak Dalam [SAD].

Tahun 1980-an, sebagian besar hutan di kawasan rawa gambut tersebut menjadi konsesi perusahaan HPH. Perusahaan tersebut kemudian menghadirkan sejumlah pendatang, termasuk dari Tulungselapan, yang kemudian menetap.

Tahun 1997-1998 wilayah rawa gambut tersebut mengalami kebakaran hebat.

Setelah kebakaran, berbondong pendatang dari Jambi, Lampung, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan, ke Muara Medak. Mereka memiliki tujuan sama, ingin mengembangkan perkebunan sawit. Bersamaan dengan itu, hadir pula sejumlah perusahaan yang mendapatkan izin pemerintah. Aksi pembakaran lahan, didapatkan informasi, diduga bukan hanya karena kelalaian dalam mengelola lahan, juga sebagai upaya penguasaan lahan negara.

 

Lokasi perhutanan sosial Desa Muara Medak ini dulunya eks HPH. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tidak harmoni

Dr. Edwin Martin, peneliti dari Balitbang LHK Palembang, menyatakan persoalan kebakaran yang berulang, berdasarkan pengalaman penelitian yang kami lakukan, merupakan masalah yang melampaui aspek teknis.

“Jangan dilupakan bahwa wilayah-wilayah yang kini mengalami karhutla berulang pernah mengalami kejayaan [ekonomi], bukan masa lalu sekali, tetapi baru beberapa dekade. Penikmat masa jaya itu masih ada. Masa keemasan itu 1970-19 90-an, saat pembalakan kayu.”

“Masa kejayaan itu dicapai melalui harmoni semua pihak, semua lapisan bersepakat, hampir tidak ada kontestasi. Ketika kejayaan pudar, berganti menjadi masa suram, ditandai kebakaran tahun 1994 dan 1997,” terangnya, Kamis [14/11/2019].

Proyek-proyek dan program pemerintah kemudian datang untuk mengajak kembali pada kejayaan berikutnya. “Di sinilah letak masalahnya, ternyata harmoni yang dulu tercipta ketika mencapai masa keemasan kayu, tidak atau datang kembali. Suara menuju perbaikan kadang sumbang, kadang senyap.”

Proyek-proyek menawarkan perbaikan secara teknis, padahal harmoni adalah masalah moral. Harmoni terkait erat dengan sinergi, kesesuaian cara pandang dan cara tindak dari banyak elemen yang dianggap masalah. Bukan satu masalah.

Bisakah harmoni terjadi? Bisa, jika kita mau berubah menjadi masyarakat pembelajar [learning society]. Jika tidak, bisa jadi areal yang mengalami kebakaran berulang menuju the dying landscape atau lanskap sekarat. “Semoga tidak,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version