, ,

Selama Kemarau, Ada juga Lokasi Gambut yang Tidak Terbakar di Kabupaten OKI

Setiap tahun, lahan gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, dipastikan terbakar. Tahun ini, musim kemarau yang disertai badai El Nino pun telah memunculkan puluhan titik api. Pertanyaan muncul, adakah lahan gambut yang terbebas dari kebakaran?

“Inilah kawasan yang terbukti tidak terbakar dalam 10 tahun terakhir,” kata M. Rosidi, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten OKI, menunjuk kawasan Konservasi Plasma Nutfah Sepucuk seluas 20 hektar, yang terletak di Jalan Kayuagung-Sepucuk Km.10, Kelurahan Kedaton, Kayuagung, Kabupaten OKI, Rabu (29/07/2015).

Perjalanan ke lokasi kebun konservasi dari Kayuagung sekitar 45 menit. Jalan yang tengah dibeton itu, berdebu saat kemarau. Ketika penghujan, sulit dilakukan, karena berlumpur lumpur dan penuh genangan air.

Rosidi bangga akan kebun yang ditanami sejumlah tanaman khas rawa gambut itu seperti jelutung, ramin, dan meranti. Wilayah ini pada 2006 pernah terbakar, bersama ratusan ribu hektar gambut lainnya di daerah Sepucuk.

“Saat itu, dunia international menyoroti OKI karena kebakaran hebat. Tahun 2006 merupakan tahun kebakaran gambut yang cukup hebat setelah 1998,” kata Rosidi.

Setelah peristiwa tersebut, sebagian lahan gambut yang terbakar, yang kedalamannya mencapai 6 meter, menjadi perkebunan sawit, dan sebagian dibiarkan. Hanya kawasan ini dibuat menjadi kawasan plasma nutfah. “Ternyata, sampai sekarang daerah ini yang tidak pernah lagi terbakar.”

“Ini membuktikan jika kebakaran lahan gambut benar-benar ulah manusia. Buktinya, kawasan yang dijaga dari aktivitas pembakaran tetap terjaga,” katanya.

Dengan bukti tersebut, kata Rosidi, kawasan gambut di OKI yang habis terbakar dan dirambah dapat direhabilitasi. “Memang membutuhkan waktu yang panjang dan biaya besar. Tapi tetap ada peluang.”

Atas keberhasilan kebun konservasi itu, Pemerintah Kabupaten OKI berencana mengembangkan hal yang sama pada lahan gambut dengan kedalaman 1-5 meter di Kecamatan Pedamaran dan Pedamaran Timur seluas 10.000 hektar. “Rencananya bibit pohon jelutung dari sini yang akan dikembangkan. Selain tanaman khas gambut lain,” ujarnya.

M. Rosidi, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten OKI, menunjukkan pohon jelutung. Foto: Taufik Wijaya
M. Rosidi, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten OKI, menunjukkan pohon jelutung. Foto: Taufik Wijaya

Potensi jelutung

Salah satu tanaman yang dominan di kebun konservasi itu adalah jelutung. Kenapa jelutung? Pertama, tanaman ini ramah terhadap lahan gambut, terutama dalam menjaga airnya. Ini berbeda dengan tanaman lain seperti sawit.

Kedua, tanaman ini menghasilkan, tanpa harus melakukan penebangan pohon, yakni getahnya. “Getah jelutung harganya mahal, sekitar Rp30 ribu per kilogram,” kata Rosidi.

Ketiga, usia produksi pun tidak jauh berbeda dengan karet yang selama ini ditanam masyarakat di Kabupaten OKI. Sementara karet tidak dapat ditanam di lahan gambut.

Dengan tiga alasan tersebut, Rosidi ingin mengkampanyekan kepada masyarakat untuk melakukan penanaman jelutung di lahannya. Mereka tidak harus membakar, dan mengubah karakter lahan.

“Selain itu penghasilannya juga lebih baik, dan menjaga keberadaan lahan gambut,” katanya.

Di sela jelutung, dapat pula ditanam pohonan besar lain, seperti ramin, meranti, atau lainnya. “Di musim kemarau, di sela jelutung dapat ditanami nenas, labu, semangko yang harganya cukup bagus.”

“Saya percaya jika kebun ini sudah menghasilkan dari getah jelutung, masyarakat yang hidup di lahan gambut akan mengikutinya,” ujarnya.

Di musim kemarau kanal ini mengering, sedangkan musim penghujan airnya meluap. Foto: Taufik Wijaya
Di musim kemarau kanal ini mengering, sedangkan musim penghujan airnya meluap. Foto: Taufik Wijaya

Monyet dan burung

Beragam jenis pohon yang ditanam sejak 2012 ini telah menarik perhatian monyet ekor panjang dan burung.

“Yang sering ke sini monyet dan burung. Paling banyak monyet ekor panjang. Mereka senang sekali makan pucuk jelutung,” kata Tugimin (48), petugas penjaga kawasan konservasi tersebut.

Rosidi yakin jika tanaman sudah besar dan menghasilkan biji-bijian, burung akan datang ke kawasan konservasi tersebut. Apalagi di sekitar kawasan tersebut, rata-rata merupakan perkebunan sawit dan semak belukar.

Tugimin mengeluhkan keberadaan perkebunan sawit, yang menyebabkan kanal yang mengelilingi kawasan mulai mengering di musim kemarau ini. “Sawit itu kan banyak menghisap air. Saat kemarau, tentu saja membuat air dari kanal kami tersedot,” kata Tugimin.

Pohon kayuagung yang menjulang. Foto: Taufik Wijaya
Pohon kayuagung yang menjulang. Foto: Taufik Wijaya

Hutan Kota Kayuagung

Masih di wilayah Kelurahan Kedaton, kawasan lain yang tidak pernah terbakar selama musim kemarau adalah Hutan Kota Kayuagung. Di atas lahan 20 hektar itu ditanam sekitar 18 pohon khas rawa gambut. Misalnya tembesu, ketapang, trembesi, jabon, pulai, petai, merawan, hingga pohon kayuagung.

“Saat ini lahan yang baru ditanam sekitar 2,5 hektar. Usia rata-rata tanaman 4-5 tahun,” kata Rosidi.

Keberadaan hutan kota ini, kata Rosidi, sebagai upaya pelestarian tanaman yang dulunya ditemukan di Kabupaten OKI. “Minimal generasi mendatang tahu mengenai jenis tanaman yang pernah ada di OKI.”

Rosidi menjelaskan saat ini hutan lindung di kabupaten yang luasnya sekitar 19.023,47 kilometer persegi, tersisa 98.115 hektar. Itu pun berada di wilayah pesisir, yakni Hutan Lindung Sungai Lumpur dan Sungai Mesuji. Hutan lindung ini sebagian kecil dari lahan gambut di Kabupaten OKI yang luasnya mencapai 750 ribu hektar. Kawasan yang dulunya hutan sebagian besar sudah menjadi hutan produksi. “Pembuatan kebun konservasi dan hutan kota  adalah pilihan yang harus dilakukan guna menjaga kelestarian tanaman dan satwa di OKI.”

Selain itu, Rosidi sangat yakin berbagai peristiwa kebakaran lahan gambut yang terjadi di kabupaten OKI, 90 persen disebabkan manusia. “Manusia yang berkebun, bertani, dan aktivitas lainnya sudah sepatutnya menjaga lahan tersebut,” jelasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,