- Kubah gambut yang berada di Muara Medak, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], Sumatera Selatan, terbakar lagi pada Rabu, 14 Agustus 2019. Kebakaran ini merupakan bencana tahunan.
- Desa Muara Medak merupakan satu titik dari “segitiga api” di Bayung Lencir, selain Mangsang, dan Kepayang.
- Berbagai upaya dilakukan pemerintah, perusahaan dan lembaga swadaya masyarakat untuk mencegah kebakaran. Badan Restorasi Gambut [BRG] menargetkan wilayah ini sebagai lokasi restorasi agar bencana tidak terjadi lagi.
- Setahun terakhir, masyarakat di Desa Muara Medak mengusulkan perhutanan sosial ke pemerintah. Satu kelompok yang sudah berjalan adalah Kelompok Tani Berkah Hijau Lestari.
Kebakaran lahan gambut melanda kawasan Muara Medak, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], Sumatera Selatan. Lokasi kebakaran ini sebagian berada di kubah gambut. Kok bisa?
Dikutip dari Bisnis.com, kebakaran yang melanda lahan sekitar seratus hektar tersebut diketahui Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Sumatera Selatan, Rabu [14/8/2019] pagi.
Berdasarkan informasi yang didapat Mongabay Indonesia dari Desa Muara Medak, kebakaran sudah terjadi sejak Senin [12/8/2019] di Dusun 9. Api berkembang hingga ke dusun 5,6, dan 8. Lokasi kebakaran ini dekat konsesi PT. RHM [Rimba Hutani Mas].
Apakah api berasal dari areal PT. RHM yang mungkin terbakar?
“Itu yang mengherankan. Pertama, tidak ada titik api di area kami. Kedua, jarak konsesi dengan titik awal kebakaran atau Desa Muara Medak sekitar 12 kilometer. Mana mungkin api meloncat sejauh itu? Justru kami membantu mengirimkan dua helikopter untuk melakukan water boombing, mencegah jangan sampai kebakaran meluas, termasuk melanda lokasi kami,” kata sumber dari pihak perusahaan yang tidak mau disebutkan jati dirinya, Kamis [15/8/2019].
Informasi lain menyebutkan kebakaran berawal dari lahan perhutanan sosial yang dikelola Kelompok Tani Berkah Hijau Lestari. Namun, informasi ini dibantah sumber dari kelompok tani yang baru sepekan membentuk Tim Peduli Air dan berada di Dusun 7. Mereka justru membantu aparat memadamkan api yang terjadi di lokasi kebakaran. Bahkan kelompok ini turut berjaga hingga Kamis [15/8/2019] dini hari. Sebab, api mulai mendekati lokasi demplot mereka.
Baca: Direstorasi, Gambut di Muara Medak Tidak Bakal Merana Lagi
Kubah gambut
Adios Syafri, Direktur Riset dan Kampanye HaKI [Hutan Kita Institute], mengatakan dari 12,13 dan 14 Agustus, berdasarkan pemantauan satelit terra/aqua-Modis dan tinjauan lapangan, titik api terpantau di hutan produksi Lalan, yang sebagian besar berupa kubah gambut dengan kedalaman 5 meter.
“Tidak ada titik api di area konsesi,” ujarnya.
PT. RHM, lokasinya mendekati perbatasan area konsesi. Saat diverifikasi di lapangan memang benar, kebakaran terjadi di hutan produksi Lalan yang berupa kubah gambut,” ujarnya kepada Mongabay Indonesia, Kamis [15/8/2019].
“Hingga hari ini luasannya belum dapat dihitung, tapi mencapai ratusan hektar,” katanya.
Baca: Perhutanan Sosial Mampu Kurangi Angka Kemiskinan di Sumatera Selatan?
Segitiga Api
Desa Muara Medak merupakan satu titik dari “segitiga api” di Bayung Lencir, selain Mangsang, dan Kepayang. Sejak 2000-an, wilayah lahan gambut ini selalu terbakar. Berbagai upaya dilakukan pemerintah, perusahaan dan lembaga swadaya masyarakat untuk mencegah. Badan Restorasi Gambut [BRG] pun menargetkan wilayah ini sebagai lokasi restorasi agar bencana tidak terjadi lagi.
Wilayah ini juga merupakan rumah suku melayu dan suku anak dalam. Suku melayu hingga saat ini hidup dari mencari ikan, bersama Suku Bugis yang merupakan pendatang pertama.
Kerusakan mulai terjadi ketika hadirnya pendatang mencari kayu dan berdirinya perusahaan HPH. Setelah lahan terbuka, ribuan pendatang dari Sumatera Utara dan eks transmigran di Jambi maupun Sumatera Selatan meramaikan wilayah ini untuk menjadikannya kebun sawit. Lalu, hadir perusahaan untuk mengelola HTI dan perkebunan sawit. Aktivitas yang mengubah bentang alam dengan membuat kanal-kanal ini, diperkirakan sebagai pemicu kebakaran, karena lahan menjadi kering dan mudah tersulut api.
Setahun terakhir, masyarakat di Desa Muara Medak mengusulkan perhutanan sosial ke pemerintah. Salah satu kelompok yang sudah berjalan adalah Kelompok Tani Berkah Hijau Lestari. Perhutanan sosial ini dibagi empat zonasi.
Pertama, zona konservasi perikanan tangkap seluas 400 hektar. Kedua, zona agroforestry terbatas seluas 1.400 hektar. Ketiga, zona HHBK [Hasil Hutan Bukan Kayu] dan sumber benih seluas 1.200 hektar. Keempat, zona silvopastura seluas 500 hektar.
Zona konservasi perikanan tangkap yang berada di gambut dalam ini juga diperuntukkan bagi kehidupan 16 kepala keluarga Batin Sembilan yang menetap di permukiman, berupa rumah panggung.
Zona agroforestry berupa demplot terbatas yang mulai dilakukan penanaman komoditas atsiri seperti serai wangi dan jeruk purut. Di demplot ini juga ditanam pinang dan jelutung.
Zona HHBK dan sumber benih terletak di kawasan yang tutupan hutannya masih ada. Di zona ini akan dikembangkan bibit tumbuhan asli rawa gambut guna kebutuhan restorasi dan rehabilitasi lahan gambut di Sumatera maupun Kalimantan, seperti jelutung.
Baca juga: Pendekatan Lanskap Sebaiknya Tidak Utamakan Kepentingan Ekonomi
Jangan pandang bulu
Kolonel Arhanud Sonny Septiono, Komandan Satgas Darkarhutla Sumatera Selatan, meminta aparat kepolisian “tidak pandang bulu” menindak para pelaku, baik perorangan maupun perusahaan. “Kalau tidak seperti tu mereka akan tetap terus melakukan pembakaran lahan,” kata Sonny yang juga Komandan Danrem 044/Garuda Dempo Palembang, Rabu [14/8/2019], dikutip Indonesiainside.
Dr. Yenrizal Tarmizi dari UIN Raden Fatah Palembang mengatakan terkait bencana kebakaran, selain upaya pemadaman yang harus dilakukan adalah penegakan hukum. “Penegakan hukum sangat penting agar pelaku atau orang lain tidak melakukan lagi,” katanya.
Sementara pembinaan, itu hanya pencegahan. Kalau sudah terbakar bukan lagi dibina pelakunya tapi dihukum, sebab sudah lama kampanye atau sosialisasi jangan membakar didengungkan. “Tidak ada alasan lagi jika tidak tahu jika membakar dilarang,” paparnya.