Mongabay.co.id

Waspada.. Ini Alarm untuk Keberlanjutan Wisata Bawah Air Nusa Penida

 

Sebuah tim melakukan Reef Health Monitoring (RHM) pada Juli dan September 2019 di Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida yang ditetapkan pada 2011 lalu. Bagaimana tekanan pada ekosistem bawah laut?

Kepulauan di Nusa Penida makin padat turis, tiap hari disesaki sekitar 3000 turis domestik maupun mancanegara. Tak hanya memenuhi darat, juga laut, salah satu daya tarik ke tiga pulau yang masuk wilayah Kabupaten Klungkung, Bali ini.

baca : Bagaimana Kesehatan Terumbu Karang di Perairan Nusa Penida Bali?

 

Kapal berjejer di pantai Nusa Lembongan, Klungkung, Bali. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Kesehatan laut bisa diukur dari biomassa ikan, keanekaragamannya, dan tutupan karang. Tim penyelam RHM menggunakan transek sekitar 150 meter dengan kedalaman 3-10 meter, dan menilai bagaimana kondisi tutupan karangnya secara rutin tiap tahun.

Hasil analisis Coral Triangle Center (CTC), pemimpin tim RHM, dari 12 titik yang diobservasi, tutupan karangnya rata-rata 58% dengan range 37-78%. Ini masih kategori bagus. Tapi sejumlah titik hampir mendekati tidak bagus jika di bawah 50%. Terlebih ada kawasan yang tutupan karangnya menurun.

Selain perusakan langsung, juga ada perilaku yang mendorong perusakan tidak langsung pada ekosistem bawah laut. Paling banyak memberi makan ikan (fish feeding) saat snorkeling atau berjalan di bawah air (sea walking). Secara alami, sebagian ikan karang memakan algae yang tumbuh di koral-koral. Jika terus menerus diberi makan roti atau makanan ikan di luar habitatnya, algae akan menutupi karang dan membuatnya sulit berkembang.

baca juga : Miris.. Perusakan Karang Akibat Ponton Kapal Wisata di KKP Nusa Penida

 

Para penyelam dari tim Reef Health Monitoring (RHM) pada terumbu karang perairan Nusa Penida, Bali, pada Juli dan September 2019. Foto : CTC/Mongabay Indonesia

 

Seorang penyelam dari tim Reef Health Monitoring (RHM) melihat kondisi terumbu karang perairan Nusa Penida, Bali. Foto : CTC/Mongabay Indonesia

 

Sementara industri wisata seperti operator selam, hotel, dan restoran bisa mencemari laut jika menggunakan bahan dengan kandungan kimia untuk mencuci atau sanitasi, dan limbahnya masuk ke perairan. Misalnya deterjen, pembersih, pemutih, dan lainnya.

Hal lain yang mungkin terabaikan adalah penggunaan tabir surya (sunscreen) dengan kandungan kimia oleh turis yang berenang atau menyelam. “Jika tiap hari ada 3000 turis berenang menggunakan sunscreen mengandung zat kimia, kan banyak juga cemarannya,” ingat Wira Sanjaya, salah satu peneliti dan Nusa Penida Project Leader di CTC yang ditemui Selasa (12/11/2019).

Di kawasan Nusa Penida yang meliputi pulau terbesar Nusa Penida, lalu Nusa Lembongan dan Ceningan ini, keragaman hayati lautnya kaya dengan 296 jenis karang dan 576 jenis ikan. Dua megafauna langganan adalah Mola-mola dan Pari Manta yang banyak menarik perhatian para penyelam.

Site yang diteliti tutupan karangnya di antaranya Atuh Bay, Ceningan Point, Suwehan, Suena, Batununggul, Manta Bay, Sakenan, Gamet, Toyapakeh, Crystal Bay, Mangrove Point, dan Ped. Ini titik-titik aktivitas wisata air dan bawah laut yang harus dijaga keberlanjutannya.

menarik dibaca : Waspadai Aktivitas Wisata Ini yang Merusak Terumbu Karang di Bali. Apa Itu?

 

Seorang penyelam dari tim Reef Health Monitoring (RHM) melihat kondisi terumbu karang perairan Nusa Penida, Bali. Foto : CTC/Mongabay Indonesia

 

Kondisi di Crystal Bay, Pulau Nusa Penida misalnya, area padat turis ini mengalami kondisi kesehatan karang pasang surut selama tiga tahun terakhir. Pada 2017, tutupan karangnya 60% sebelum badai. Lalu pada 2018, tutupan karangnya berkurang menjadi 32%. Sebagian karang mati dan sisanya pecahan karang. Pada 2019, observasi terakhir, tutupan karangnya menjadi 37% setelah mengalami sedikit pemulihan.

“Jika badai, karang meja bisa terbalik atau bisa juga karang patah karena diinjak,” jelas Sanjaya. Karang yang paling cepat pulih adalah jenis acroora bercabang. Kerap jadi substrat karang karena mudah berkembang jika tanpa gangguan seperti dari alam dan manusia. Misalnya air jernih tanpa sedimentasi.

Dampak manusia terlihat di Mangrove Point, Nusa Lembongan. Pada 2017 tutupan karangnya sekitar 60% karena patah akibat aktivitas ponton. Para turis dan operator membuat karang patah karena tambatan ponton menggerus karang dan juga aktivitas wisata jalan di dalam air memberi makan ikan. Setelah protes, ponton dipindahkan ke barat, pada 2018 mengalami pemulihan jadi 80%, lalu pada 2019 tutupannya sekitar 70%.

“Kami pernah menemukan zak makanan ikan berisi 25 kg di ponton,” lanjut Sanjaya. Aktivitas memberi makan ikan ini terbukti berdampak pada ikan dan karang sekitarnya.

Masalah ponton ini bisa jadi ‘bom’ yang sewaktu-waktu meledak jika tak segera diatur ruang dan sanksinya. Ada sejumlah laporan kerusakan sekitar ponton karena sejumlah sebab.

perlu dibaca : Inilah Hukuman Berat yang Membuat Jera Perusak Terumbu Karang di Bali. Seperti Apa?

 

Kondisi terumbu karang di perairan Nusa Penida, Bali. Hasil pemantuan tim Reef Health Monitoring (RHM) menunjukkan terumbu karang Nusa Penida relatif bagus. Foto : CTC/Mongabay Indonesia

 

Pada 26 Agustus 2017 lalu muncul petisi di Change berjudul “Selamatkan Terumbu Karang Nusa Penida, Hukum Perusaknya.” Dibuat warga setempat, I Nyoman Widana. Petisi ini yang ditujukan ke Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Gubernur Bali.

Selanjutnya pada 23 April 2018, seorang penyelam, turis perempuan asal Austria meninggal setelah ditabrak speed boat pada 23 April lalu di mangrove Point. Kerstin Korinek, 35, disebut sudah menunjukkan safety sausage, yakni tanda akan naik ke permukaan setelah menyelam. Kapten boat ditetapkan sebagai tersangka karena lalai tidak melihat safety sausage dari korban yang akan naik ke permukaan.

Hasil pemantauan di Manta Point, site populer lainnya menunjukkan ada pemulihan kondisi tutupan karang. Pada 2017 sekitar 57%, lalu 2018 berkategori buruk 32%, dan pada 2019 menjadi 59%. “Tantangan di sini masih banyak penyelam menghalangi jalur Manta atau memegangnya,” papar Sanjaya.

Kondisi tutupan karang kategori sedang lainnya selain Crystal Beach adalah Suwehan, Suana, dan Ceningan Point. Sementara kategori memuaskan adalah Mangrove Point dan Lembongan Bay.

RHM merupakan kegiatan tahunan yang dilakukan CTC bersama Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Bali-UPTD KKP Bali. RHM di Nusa Penida melibatkan 11 orang yang dari berbagai organisasi yaitu Unit Pelaksana Teknis Kawasan Konservasi Perairan (UPT KKP) Bali, Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar, Universitas Brawijaya, Universitas Udayana serta dukungan para penyelam dari Nomads Diving, dan lainnya.

menarik dibaca : Ritual Merehatkan Laut di Perairan Nusa Penida

 

Vandalisme pada karang di di perairan Nusa Penida, Bali. Foto : CTC/Mongabay Indonesia

 

Banyak Masalah, Minim Patroli

Tahun 2017-2018 terjadi penurunan tutupan karang hidup di beberapa lokasi di Nusa Penida akibat gelombang besar atau badai pada Juni-Juli di tahun sebelumnya. Fenomena pemutihan karang atau coral bleaching terjadi pada 2015.

Selain tantangan dari alam, juga dari manusia, risiko meningkatnya akvitas di ketiga pulau-pulau ini. Awal November ini ada laporan kerusakan karang yang diperkirakan diserempet kapal penarik muatan pasir di area Ped. Sekitar 200 m2 terumbu karang patah.

Komang Karyawan, Kepala UPT KKP Nusa Penida mengatakan ponton juga sampai kini masih ada potensi masalah karena belum memiliki ijin lokasi dan pengelolaan. Menunggu disahkannya Perda RZWP3K yang mengatur sanksi dan aturan soal izin ini.

“Mengurus izin belum bisa. Kalau menindak sulit karena belum ditetapkan. Harus ada Perda, di surat keputusan KKP tak ada sanksi, diatur dalam Perda,” paparnya, Rabu (13/11/2019). Sejauh ini jumlah ponton yang beroperasi dan tidak sebanyak 23 ponton tersebar di Lembongan, Ceningan, dan Nusa Penida.

baca juga : Mongabay Travel : Nusa Lembongan, Surga di Selatan Pulau Dewata

 

Foto-foto dokumentasi tim monitoring pada Juli 2017 yang memperlihatkan kerusakan parah terumbu karang akibat aktivitas wisata oleh sejumlah kapal di kawasan konservasi perairan Nusa Penida, Bali. Foto: Arsip CTC/Mongabay Indonesia

 

Mengingat risiko dampaknya, diperlukan patroli lebih sering dan rutin. Sayangnya patroli hanya bisa sebulan sekali karena minimnya anggaran dan prasarana. “Harusnya minimal seminggu sekali,” lanjut Karyawan.

Saat ini alokasi anggaran baru dari kontribusi wisata darat dari retribusi Pemda, sementara di laut belum memberikan pemasukan ke kas daerah. “Laut kita ramai, water sport, diving, harusnya dapat pemasukan dari aktivitas laut untuk mendanai pengelolaan,” tambahnya. Dari perhitungan kasar saja, saat patroli dari pukul 8 pagi sampai 2 siang sedikitnya ada 2000-3000 orang di perairan Nusa Penida. Masih ada kemungkinan lebih banyak, jika patroli lebih lama. Dari hasil observasi rata-rata per unit kapal diisi 6-10 orang.

Pengelolaan KKP Nusa Penida mengalami pasang surut dampak UU No.23/2014 tentang Pemda disahkan. Ada peralihan kewenangan pengelolaan laut dari kabupaten ke provinsi. Dampaknya pada operasional UPT KKP.

 

Exit mobile version