Mongabay.co.id

Tradisi Perburuan Tabob : Pendekatan Agama Lebih Efektif Lindungi Penyu Belimbing [2]

 

Penyu belimbing (Dermochelys coriacea) merupakan penyu raksasa terbesar di dunia dengan berat bisa mencapai mencapai 700 kg dan panjang 3 meter. Hewan laut purba yang telah hidup ratusan juta tahun itu mempunyai penampakan yang khas dibanding 5 jenis penyu lainnya yaitu bentuk garis pada karapaksnya seperti buah belimbing.

Persebaran penyu belimbing di dunia mulai dari kawasan sub kutub sampai dengan perairan tropis. Spesies ini menghabiskan sebagian besar hidupnya di lautan terbuka hanya muncul ke daratan pada saat bertelur, sehingga hewan ini dijuluki ‘Si Penjelajah Samudera’.

Di Indonesia, salah satu jalur persebarannya dari pantai utara Papua Barat (Abun) menuju ke kepulauan Maluku untuk mengejar makanannya yaitu ubur-ubur. Namun, dalam kepercayaan masyarakat adat Nufit Roah dan Lai Ren Tel yang hidup di Pulau Kei Kecil, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku, tabob –nama penyu belimbing dalam bahasa Kei– memiliki ikatan sejarah dan budaya.

Tabob disakralkan dan dianggap makanan pusaka pada upacara adat dengan berbagai aturan dan syarat yang harus dipatuhi. Tetapi saat ini masyarakat di Pulau Kei Kecil tidak lagi mematuhi tradisi. Tabob ditangkap dan dikonsumsi dagingnya tanpa batas dan aturan. Hal ini mengancam punahnya penyu belimbing yang memang makin langka

baca : Perburuan Tabob : Bergesernya Tradisi Mengancam Punahnya Penyu Belimbing [1]

 

Pemotongan dari hasil penangkapan Penyu Belimbing di Pantai Desa Ohoidertutu, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara untuk dibagikan ke seluruh warga di desa itu. Foto: Istimewa/Mongabay Indonesia

 

WWF Indonesia menyebutkan sejumlah faktor yang mengancam populasi penyu belimbing, seperti praktik pembukaan hutan di sekitar pantai peneluran dan tangkapan sampingan (by catch) oleh nelayan yang sering kali lokasi tangkapnya tumpang tindih dengan habibat pakannya. Beberapa dekade lalu, perburuan daging penyu untuk upacara adat turut menambah deret panjang ancaman terhadap penyu belimbing.

Padahal enam jenis penyu di Indonesia, termasuk penyu belimbing dilindungi Undang-Undang No.5/1990 tentang Konservasi Hayati dan Peraturan Pemerintah No.8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Larangan ini dikuatkan Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.526/MEN-KP/VIII/2015 tentang Pelaksanaan Perlindungan Penyu, Telur, dan Bagian Tubuh, dan/atau Produk Turunannya.

Secara global, ada konvensi internasional tentang tumbuhan dan satwa yang terancam punah (CITES/Convention of Internasional Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dimana semua jenis penyu di Indonesia masuk dalam Appendix 1. Artinya segala bentuk perdagangan jenis penyu dan bagian tubuhnya atau produk turunannya seperti telur secara tegas dilarang.

“Itu kenapa sampai penyu belimbing masuk dalam Apendix 1 atau status terancam punah, karena memang hasil riset menunjukkan populasinya sudah jauh berkurang, sehingga pemanfaannya harus seminimal mungkin atau tidak boleh dimanfaatkan,” kata Andreas Hero Ohoiulun, Project Executant WWF Indonesia–Inner Banda Arc Subseascape saat diwawancarai Mongabay-Indonesia di kantornya di Langgur, Maluku Tenggara, Minggu (29/9/2019).

baca juga : Penyu Raksasa Tersangkut Tali Budidaya Rumput Laut Diselamatkan Warga Maluku

 

Pemotongan dari hasil penangkapan Penyu Belimbing di Pantai Desa Ohoidertutu, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara untuk dibagikan ke seluruh warga di desa itu. Foto: Istimewa/Mongabay Indonesia

 

Perlindungan penyu belimbing penting karena fungsi ekologisnya sebagai penyeimbang ekosistem laut yaitu predator puncak pemakan ubur-ubur. Berkurangnya populasi penyu belimbing dan beberapa jenis predator kunci pemakan ubur-ubur akan membuat populasi ubur-ubur membludak di seluruh dunia. Meledaknya populasi ubur-ubur bakal menghambat pertumbuhan populasi ikan karena ubur-ubur itu memangsa telur dan larva ikan. Sehingga tangkapan ikan juga pasti menurun.

Sejak 2005, WWF Indonesia bersama LSM lokal Siran menggiatkan upaya konservasi populasi penyu belimbing di kawasan Samudera Pasifik yang terancam punah. Kedua lembaga ini berupaya membangun kesadaran pelestarian tabob untuk keberlangsungan tradisi masyarakat adat Nuhufit di Pulau Kei Kecil.

Akhirnya pada 6 Juli 2012, Kei Kecil ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan (KKP) atau MPA (marine protected area). Komitmen tersebut direalisasikan melalui pembacaan deklarasi bersama pencanangan Kei Kecil oleh Bupati Maluku Tenggara waktu itu, Anderias Rentanubun, dilanjutkan dengan dengan penandatanganan deklarasi oleh bupati dan tiga orang pemimpin ratscap (raja lokal).

Penetapan kawasan tersebut merupakan bagian program MPAG (Marine Protected Area Governance) yang didukung USAID sebagai komitmen pemerintah Indonesia dalam mengembangkan MPA seluas 20 juta hektar pada 2020 serta mengelolanya secara efektif dan berkelanjutan.

Program kegiatan MPAG dilakukan oleh konsorsium LSM yakni Conservation International (CI), Coral Triange Center (CTC), The Nature Conservation (TNC), Wildlife Conservation Society (WCS) dan WWF Indonesia.

menarik dibaca : Penyu Belimbing Masih Dikonsumsi Masyarakat Mentawai, Mengapa?

 

Ilustrasi. Masyarakat bergotong-royong mengangkat penyu belimbing berukuran besar yang telah dibebaskan dari jaring nelayan Ongalereng Solor Barat, NTT, untuk dibawak ke bibir pantai dan dilepaskan. Foto : Vinsensius Herin/Mongabay Indonesia

 

Intervensi Lembaga Keagamaan

Jalan panjang konservasi tak selamanya mulus. Masih ada pemanfaatan penyu belimbing. Data WWF Indonesia Inner Banda menyebutkan, pada kurun 2003-2016, masyarakat Nuhufit telah memanfaatkan 284 penyu belimbing. Dengan rincian desa Ohoidertom 17 individu, Ohoidertutu 167 individu, Madwaer 9 individu, Somlain 65 individu, Ohoiren 13 individu, Ohoira 11 individu, Ur Pulau 1 individu, dan Tanimbar Kei 1 individu.

Jumlah pemanfataan penyu belimbing oleh desa-desa tersebut bervariasi tiap tahun yang terpantau sejak Agustus 2003 hingga Februari 2016. Terbanyak pada 2007-2008 yakni 74 individu. Sedangkan pada Agustus-Desember 2017, setidaknya terpantau sebanyak 10 individu dimanfaatkan. Pada Juli-Desember 2018, sebanyak 24 individu penyu belimbing yang telah dimanfaatkan.

Oleh karena itu, WWF-Indonesia dan pemerintah kabupaten Maluku Tenggara mulai melakukan pendekatan dengan lembaga keagamaan. Sejak 2017, para petinggi lembaga keagamaan yakni pastor maupun pendeta dilibatkan dalam sosialisasi mengenai penyu belimbing.

Setelah mengikuti sosialisasi, para petinggi agama ini meneruskan kepada pada jamaat mereka di desa-desa pemanfaat Tabob. Baik saat ibadah dalam gereja maupun di sekolah-sekolah hingga dua bulan lalu.

“Dalam pemahaman adat, tabob itu bagian dari sejarah dan adat. Jadi, soal pemahaman ini yang perlu dibenahi lebih awal. Karena mereka juga tidak tahu migrasinya seperti apa. Nah, setelah disampaikan, mereka lalu paham,” kata Pastor RD Eko Reyaan, Wakil Uskup wilayah Kei Kecil yang ditemui Kamis (26/9/2019).

Pastor Hendrik mengakui, penyadaran kepada jemaat baru sekadar himbauan lisan. Meski begitu, akan ada upaya lanjutan hingga ke pertemuan Keuskupan untuk Maluku dan Utara yang rencananya digelar di Ambon.

“Ini kesempatan dimana ada perjumpaan pimpinan gereja dengan perwakilan umat dari semua daerah di provinsi. Salah satu isunya adalah lingkungan, termasuk penyu. Hasilnya akan dibuat dalam sebuah dokumen yang akan ditandatangani oleh Uksup Diosisi Amboina. Kemudian itu menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kami,” lanjut Eko.

perlu dibaca : Belajar dari Konservasi Penyu Belimbing di Papua Barat, Seperti Apa?

 

Ilustrasi. Seekor penyu belimbing (Dermochelys coriacea) dilepasliarkan kembali di pesisir pantai Minanga, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara pada Senin (23/7/2018). Foto : BPSPL Makassar Satker Manado/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, pihak Gereja Protestan Maluku (GPM) telah membuat aturan tertulis mengenai perlindungan penyu belimbing yang termaktub dalam himpunan keputusan persidangan ke-66 Klasis Pulau-Pulau Kecil dan Kota Tual di Ur Pulau pada 17-18 Maret 2019.

Dalam keputusan itu disebutkan, gereja berperan untuk menjaga, melindungi dan melestarikan dalam ciptaan Tuhan, oleh karena itu sangat diharapkan agar kita dapat menjaga dan melindungi hewan yang terancam punah (penyu dan kus-kus) di tanah Evav demi kelangsungan hidup masyarakat Evav.

Sidang merekomendasikan kepada Majelis Pekerja Klasis (MPK) untuk memfasilitasi kerja sama dengan para pemangku kepentingan dalam hal ini pemerintah daerah Kota Tual, Maluku Tenggara dan WWF untuk melakukan sosialisasi perundang-undangan tentang perlindungan dan pelestarian satwa langka dimaksud.

Menurut Ketua MPK GPM Pulau-Pulau Kecil dan Kota Tual, Pendeta F.J. Syahailatua, masyarakat sudah mulai sadar setelah ada intervensi gereja secara langsung. Ini terlihat dari rencana penyembelihan penyu belimbing untuk kegiatan gereja yang kemudian dibatalkan.

“Jemaat Madwaer saat itu sesuai perencanaan mereka, akan makan Tabob, tetapi setelah kami turunkan surat, niat itu diurungkan,” kata Syahailatua kepada Mongabay, Kamis (26/9/2019).

Bersama GPM, WWF Indonesia juga telah memberdayakan jemaat dari tujuh gereja untuk melakukan pemantauan terhadap pemanfaatkan telur maupun daging penyu, dan khususnya penyu belimbing. Pihak gereja tidak memberikan sanksi hukum kepada jemaatnya yang masih mengonsumsi daging penyu, tetapi akan melakukan evaluasi terhadap realisasi keputusan sidang klasis tersebut.

Di sisi lain, intervensi pihak gereja sebatas pelarangan untuk tidak mengonsumsi daging penyu saat acara keagamaan saja. “Kalau soal adat, kita sangat terbatas. Itu bukan kewenangan kita,” tandasnya.

baca juga : Pelindung Penyu dari Kepunahan itu Bernama Taman Pesisir Jeen Womom

 

Ilustrasi. Seorang staf WWF Indonesia memasang satelite tag ke seekor penyu belimbing (Dermochelys coriacea) untuk pemantuan spesies itu di kawasan Taman Pesisir Jeen Womom, Tambrauw, Papua Barat. Foto : WWF-Indonesia / Mongabay Indonesia

 

Sementara Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Maluku Tenggara, Asianata Baluhubun mengaku, pihaknya belum mengeluarkan aturan tertulis. Namun, ia mengaku, masyarakat di Tanimbar Kei yang mayoritas beragama Hindu, sudah tidak lagi mengonsumsi penyu belimbing untuk acara kegamaan.

Sedangkan untuk kebutuhan adat, masyarakat biasanya menyampaikan surat permohonan kepada lembaga adat untuk menangkap dan mengonsumsi penyu belimbing. Misalnya, saat pengukuhan ketua adat salah satu mata rumah atau marga tertentu.

“Di Tanimbar Kei memang dilarang pemanfaan penyu, baik dari lembaga keagamaan, adat maupun pemerintah. Tetapi untuk prosesi adat, bisa dibolehkan. Kita mengizinkan satu dua ekor untuk penyu berukuran besar,” ujarnya.

Upaya perlindungan penyu belimbing dengan pelibatan semua pihak, diakui telah membuahkan hasil. Setidaknya selama 2019 ini, belum ada penangkapan dan pemanfaatan daging penyu untuk dikonsumsi.

Kondisi ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana puluhan bahkan ratusan penyu belimbing dimakan. Menurut Andreas Hero, telah terbangun kesadaran dari masyarakat secara perlahan.

“Sekarang dari hasil pengamatan dan pengawasan, mulai kelihatan ada keinginan atau setidaknya masyarakat memikirkan agar bagaimana penyu belimbing bisa dijaga pelestariannya,” katanya.

Aksi nyata dari kesadaran tersebut terlihat lewat pelepasan penyu belimbing yang tersangkut di tali bentangan budidaya rumput laut milik warga yang berjarak sekitar 200 meter dari pantai Ohoidertutu, pada Sabtu (05/9/2019) lalu.

Menurut Kepala Dinas Perikanan (DKP) Kabupaten Maluku Tenggara, Nicodemus Ubro, adanya laporan masyarakat ini menunjukkan peningkatan kesadaran masyarakat di Kepulauan Kei tentang pentingnya menjaga kelestarian penyu belimbing.

Pemkab Maluku Tenggara mendukung upaya perlindungan penyu belimbing. Namun, perlu ada aturan yang mengikat masyarakat di Nuhufit maupun masyarakat luar yang menangkap dan mengonsumsi penyu tersebut.

Selain itu, memperkuat masyarakat hukum adat (MHA) sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.52/2014 tentang Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Sebab, pemanfaatan berlebihan bisa berdampak pada sektor perikanan berkelanjutan.

“Solusinya adalah perlu ada peraturan. Nanti kita akan bicarakan dengan pihak desa atau ohoi adat di Kei Kecil Barat secara baik-baik, sehingga mungkin tetap kita laksanakan upacara adat tetapi jumlahnya mungkin dikurangi,” kata Sekretaris Daerah Pemkab Maluku Tenggara, Bernardus Rettob.

 

Warga Desa Ohoidertutu, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku mengevakuasi seekor penyu belimbing (Dermochelys coriacea), Sabtu (5/10/2019). Foto: Istimewa/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Kepala Resort Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Tual, Yopi Jamlean mengatakan, telah ada pertemuan dan kesepakatan antara pemerintah daerah dengan para kepala ohoi (desa) di Nuhufit terkait pembatasan jumlah penangkapan penyu belimbing. Salah satu poin kesepakatan tersebut, masyarakat hanya memakan satu ekor penyu belimbing selama satu tahun untuk acara adat.

“Sejak 2017, sosialisasi yang gencar kita lakukan telah meningkatkan kesadaran masyarakat. Sampai bulan Oktober 2019 ini belum ada warga yang makan Tabob. Terakhir ada yang tersangkut, tetapi langsung dilepaskan,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Senin (30/9/2019).

Sebagian masyarakat setuju dengan kesepakatan pembatasan jumlah penyu belimbing yang dikonsumsi. Namun, perlu ada solusi seperti pengawasan rutin di ketika musim mencari makan penyu belimbing di perairan Keci Kecil Barat, diikuti dengan penegakan hukum.

Solusi ini dinilai penting, karena masih ada warga yang sengaja mencari dan memakan penyu belimbing. Selain itu, sosialisasi aturan mengenai biota ini perlu melibatkan lebih banyak kalangan muda.

“Jadi, kalau bisa setiap bulan harus ada patroli laut. Kalau tidak seperti itu, memang kita tidak bisa mengatasi perburuan di laut karena di sini kan banyak kampung,” usul seorang warga desa Ohoidertutu Pulau Kei Kecil, Yulianus Ngoratubun.

***

 

*Tajudin Buano, jurnalis Harian Pagi Ambon Ekspres. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version