Mongabay.co.id

Setelah 7 Tahun, Kelompok Ini Berhasil Bibitkan Kepiting Bakau

 

Kepiting bakau adalah salah satu primadona dari hutan mangrove. Akankah kehadiran benih-benih kepiting bakau yang berhasil dibibitkan oleh kelompok nelayan Wanasari ini mampu mendorong perlindungan dan rehabilitasi kawasan mangrove lebih baik lagi?

Sebuah gudang yang difungsikan sebagai area pembibitan ini hanya bisa dimasuki pengelola Kampung Kepiting, area kelompok Wanasari di Tuban, Kabupaten Badung, Bali. Sekitar lima menit berkendara dari bandar udara Ngurah Rai. Di dalamnya ada beberapa bak beton dan fiber.

Beberapa indukan kepiting ada di bak kotak, menunggu mereka kawin atau pembuahan dengan waktu tak tentu, tergantung mood dan salinitas air. Setelah kawin, memasuki masa pembuahan 4-7 hari. Setelah itu dipisahkan ke bak lain khusus pemijahan, seperti ruang bersalin. Jika nasib baik, 2-3 juta telur ini akan menetas jadi larva kepiting atau zoea, sampai jadi kepiting muda.

Nah, di tahun ke-2 percobaan pembibitan kelompo Wanasari ini sempat berhasil sampai larva, kemudian mati. “Ada kesalahan pemberian pakan, tak ada takarannya,” urai Agus Diana, Sekretaris Kelompok Wanasari ditemui Rabu (20/11/2019) di Kampung Kepiting.

baca : Perdagangan Kepiting Ini Dilarang dan Dilepasliarkan Kembali. Kenapa?

 

Pintu masuk ke Kampung Kepiting di dekat bandara Ngurah Rai, Tuban, Badung. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Namun mereka tak menyerah, bak pembuahan kepiting masih diisi indukan untuk memulai proses berikutnya. Kegagalan berlanjut sampai sekitar 20 kali pembuahan. Hingga tahun ke-6, kelompok ini menyadari ada kesalahan pemberian pakan. Tiap tahapan pertumbuhan dalam satu siklus kawin, memijah, dan larva, pakannya berbeda jenis, takaran, dan waktu. Misalnya plankton, pelet buatan, sampai cacahan daging.

Pada Juli 2019, kelompok Wanasari didampingi peneliti Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan (BBRBLPP), dan dimulailah percobaan satu siklus lagi yang membuahkan hasil. Lebih dari 1 juta kepiting muda kini mulai dibesarkan. Di kawasan hutan mangrove ini terlihat ada tiga cara pembesarannya. Pertama, sekitar 400 ribu bibit disebar alami ke kawasan mangrove, sekitar 300 ribu di jaring tancap area mangrove, dan sekitar 700 ribu dalam bak-bak penampungan.

“Biasanya kalau terdengar suara orang, mereka tak mau menampakkan diri ke permukaan, sekarang bisa difoto,” celoteh Agus di area bak-bak fiber dan besi yang dilapisi plastik tebal. Sekitar 3-4 bulan lagi, kepiting kecil ini diperkirakan berukuran 300-400 gram. Tiap bak diisi kepiting muda dengan ukuran yang sama, setelah proses grading. Selain pengaturan pakan, agar mereka tak kanibalisme, memakan sesama. Di bak lain ada pembuatan plankton, pakan larva yang sudah bisa dibuat mandiri.

Sebelumnya, kelompok ini melakukan pembesaran kepiting di area mangrove. Manajemen kawin ini berhasil. Namun beberapa kali kawasan ini didera limbah karena berada di hilir Teluk Benoa, kandang pembesaran sempat ditutup. Padahal kelompok ini juga punya mimpi mampu memproduksi kepiting bakau dari hasil budidaya. Ikon kepiting ini diperkuat dengan berdirinya restoran bernama Kampung Kepiting.

baca juga : Prinsip Keberlanjutan untuk Penyelamatan Kepiting dan Rajungan, Seperti Apa?

 

Bak pembuahan ini diisi satu jantan dan beberapa betina. Masa kawin tak pernah bisa dipastikan kapan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Ketika kepiting bakau di alam makin sulit ditemukan, dan niat budidaya masih terkendala, mereka mengusahakan kepiting dari luar Bali seperti Jawa Timur, Kalimantan, dan Papua. “Populasi kepiting bakau di area ini belum ada secara ilmiah. Karena kami cinta kepiting dan kepiting makin habis, kita ingin budidaya,” urai Agus.

Setelah melalui pengalaman mengawinkan kepiting selama 2 tahun, pemijahan 2 tahun, dan larva 3 tahun, kelompok ini mulai melihat harapan. Ia bangga Bali punya kelompok nelayan yamg berhasil membibitkan, dan berharap pemerintah daerah mendukung dengan bantuan sarana, peralatan seperti mikroskop, bak, dan lainya.

Pembibitan kepiting bakau menjadi edukasi tambahan selain pembibitan mangrove. Sejumlah BUMN pernah memberikan bantuan CSR seperti Pertamina dan PLN. Selain itu, kawasan ini cukup ramai dengan kegiatan penanaman bakau seperti mahasiswa, perusahaan, dan pemerintah.

BBRBLPP Gondol Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Kabupaten Buleleng mendampingi kelompok nelayan Wanasari yang mengembangkan Kampung Kepiting di kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ngurah Rai, Tuban, Bali. Wanasari ingin membibitkan kepiting bakau (Scylla sp.) yang makin sulit ditemukan di kawasan mangrove terluas di Bali ini.

Niat pada 2012 ini akhirnya berbuah manis pada tahun ini hingga tahap kepiting muda ukuran 2-3 cm yang siap dibesarkan. Bibit tahap pertama ini ditebarkan ke kawasan Tahura Mangrove pada 16 November 2019.

perlu dibaca : Setelah Kepiting Dilepasliarkan di Segara Anakan, Amankah dari Tangkapan?

 

Indukan kepiting bakau ini Kampung Kepiting. Upaya budidaya ini berbuah setelah percobaan 7 tahun. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Ibnu Rusdi, Ketua tim program percontohan pembibitan dari BBRBLPP Gondol pada Mongabay Indonesia pada Selasa (19/11/2019) menjelaskan lembaganya pernah melakukan pembibitan kepiting bakau pada 2004-2005, kemudian berhenti karena fokus pada ikan laut seperti kerapu. Pembibitan kepiting bakau dialihkan ke Balai Riset Air Payau di Maros, Sulawesi Selatan.

“Ini adalah kerjasama dan keberhasilan pembibitan pertama dengan komunitas warga,” ujarnya. Ia melihat ada antusiasme dari kelompok Wanasari dan peneliti mencoba transfer teknologi di tengah tantangan keterbatasan sarana di lokasi kelompok dan perbedaan kualitas lingkungan seperti plankton dan air.

Ia bersyukur, kerjasama ini berbuah keberhasilan satu siklus proses pembibitan mulai dari indukan kepiting, larva, zoea, megalopa, dan kepiting muda. Kini menunggu pembesarannya untuk menambah populasi.

Ibnu berharap keberhasilan pembibitan ini mendorong konservasi kawasan Tahura. “Mengembangkan tanpa merusak, apalagi jika menambah nilai ekonomi dari pangan dan ekowisata,” tambahnya.

Namun saat ini tekanan pada Tahura Mangrove Ngurah Rai membuat belasan hektar mangrove mati. Di antaranya dampak reklamasi perluasan Pelabuhan Benoa. Di kawasan ini juga ada TPA Suwung yang dekat dengan perairan, jalan tol di atas perairan, dan aktivitas lainnya.

Seberapa jauh upaya perlindungan untuk keberlanjutan ekosistem bakau tersisa ini?Pembangunan fisik ini seringkali mengorbankan ekologi. “Jika ada pembangunan, Amdal harus diperkuat, jangan sampai memutus siklus hidup hewan di situ,” tambah Ibnu. Kepiting bakau, dalam satu masa hidupnya di laut, saat tertentu masuk ke bakau untuk pemijahan, tumbuh kembang, dan berlindung dari pemangsa. Upaya mengurangi tekanan dengan bantuan konservasi, mengurangi eksploitasi di alamnya.

Populasi kepiting bakau saat ini belum diketahui pasti. Hanya testimoni sejumlah warga dan nelayan sekitar yang mengatakan saat ini tak mudah menemukannya, setelah 10-20 tahun lalu.

menarik dibaca : Ini Uniknya Rajungan, Si Kepiting Berenang dari Lautan

 

Pelepasan kepiting hasil penyitaan di Bandara Ngurah Rai Bali. Pelepasan dilakukan di Kampung Kepiting, Tuban, Bali, April 2017.  Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Hanggar Prasetio dari Conservation International (CI) Indonesia dan pegiat komunitas Mangrove Nusantara menyebut keberhasilan pembibitan ini berita bagus. Karena di Benoa disinyalir tak ditemukan atau sangat minim sekali.

Jika berhasil membibitkan sampai kepiting kecil, kemungkinan bisa bertahan 80%, dengan kondisi ekosistem di Teluk Benoa. “Kepiting perlu mangrove, kalau rusak, lama kelamaan hilang,” ingatnya.

Di Indonesia menurutnya sedikit yang membibitkan, sekitar 3 wilayah yang masih riset pembudidayaan kepiting bakau, misalnya di Maros dan Jepara. Karena sebagian besar mengambil dari alam lalu membesarkan. Bukan satu siklus, dari mengawinkan, bertelur, membesarkan.

Menurut Hanggar, kesulitan peningkatan populasi kepiting bakau ini salah satunya karena salinitas harus tinggi saat kawin. Walau pasang surut air lautnya bagus, bisa jadi salinitas itu rendah.

Silvofishery kepiting bakau bukan hasil tangkapan di Tahura Teluk Benoa ini diharapkan mengurangi penangkapan di alam, namun hasil budidaya.

 

Exit mobile version