Pengiriman dan penerima kepiting betina yang diterbangkan dari Timika, Papua ke Bali, pada Rabu (05/03/2017) kemarin, disita oleh petugas. Total kepiting yang dilalulintaskan 420 ekor, oleh pengirim dibilang semua jantan. Tapi setelah diperiksa, sedikitnya ada 160 ekor petelur.
Prosedur berikutnya adalah pemeriksaan si pengirim dan penerima kepiting-kepiting yang dinyatakan menyalahi aturan walau ukurannya sudah besar. Bukan anakan atau benih seperti juvenile lobster mutiara lebih dari 20 ribu ekor yang digagalkan transportasi udaranya dari Bali menuju Vietnam pekan lalu.
Kesalahannya di mana? Ternyata selain ukuran dan jenis kelamin, larangan keluar masuk kepiting punya syarat lain yakni jadwal. Diperbolehkan pada periode waktu tertentu. Kecuali hasil budidaya jika dibuktikan dengan Surat Keterangan Asal. Harus dibaca teliti, karena bahasa regulasi kurang lugas.
Intinya ada periode 2 bulan bisa jantan atau betina dan hasil budidaya dengan ukuran cukup bukan anakan. Lalu ada periode 11 bulan hanya boleh jantan saja serta hasil budidaya dengan ukuran tertentu.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 56/Permen-Kp/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Spp.) pada pasal 3 menyatakan penangkapan dan/atau pengeluaran Kepiting (Scylla spp.), dengan Harmonized System Code 0306.24.10.00, dari wilayah Negara Republik Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ketentuan: a. penangkapan dan/atau pengeluaran pada tanggal 15 Desember sampai dengan tanggal 5 Februari baik dalam kondisi bertelur maupun tidak bertelur dan dengan ukuran lebar karapas diatas 15 cm atau berat di atas 200 gram per ekor.
Selanjutnya pada poin b. penangkapan dan/atau pengeluaran pada tanggal 6 Februari sampai tanggal 14 Desember dalam kondisi tidak bertelur dengan ukuran lebar karapas di atas 15 cm atau berat diatas 200 gram per ekor. Berarti ada masa terpanjang, 11 bulan hanya boleh yang jantan.
Namun juga ada opsi c. pengeluaran pada tanggal 15 Desember sampai dengan tanggal 5 Februari baik dalam kondisi bertelur maupun tidak bertelur dan dengan ukuran lebar karapas di atas 15 cm atau berat di atas 200 gram per ekor yang berasal dari hasil budidaya yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Asal. Terbaca, selama 2 bulan bisa jantan dan betina hasil budidaya, ukuran tertentu.
Syarat lain dalam poin d. pengeluaran pada tanggal 6 Februari sampai tanggal 14 Desember dalam kondisi tidak bertelur dengan ukuran lebar karapas di atas 15 cm atau berat diatas 200 gram per ekor yang berasal dari hasil budidaya yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Asal. Dalam periode 11 bulan hanya jantan dan hasil budidaya ukuran tertentu.
Enam boks berisi kepiting bakau ini digagalkan saat diterima di kargo domestik bandara Ngurah Rai, Bali. “Modusnya dicampur kepiting jantan. Ketika mengecek satu persatu ditemukan kepiting petelur,” ujar Habrin Yake, Kepala Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) KKP Kelas I Denpasar pada pelepasan kepiting bakau di Tuban, Badung, Kamis (06/04/2017). Nilai ekonomis 160 ekor kepiting bakau siap konsumsi ini diperkirakan Rp8-10 juta. Artinya harga per kilogram sekitar Rp50-60 ribu.
Hal yang dilanggar adalah Kepmen 56 tahun 2016 itu tentang larangan lalu lintaskan kepiting bertelur pada bulan tertentu. Merujuk aturan, saat ini masa tak boleh memperdagangkan betina atau petelur. “Alasan larangan mungkin kepiting petelur kurang atau nilainya tinggi. Banyak hari raya, tahun baru Cina, dan sustainability juga terjaga,” jelasnya.
Bali memang pasar produk kepiting, terutama di Bali Selatan yang jadi lokasi obyek wisata dan akomodasi. Tak sedikit restoran yang memajang kepiting sebagai menu utama. “Kepiting di Bali tak banyak konsumsi tinggi,” lanjut Habrin.
Ndaru Ismiarto, Kepala Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Benoa yang terlibat dalam pemeriksaan menyebut pihaknya sudah bersinergi dalam implementasi aturan yang dibuat di masa menteri KKP Susi Pudjiastuti ini. Namun masyarakat menurutnya belum sepenuhnya paham.
Kepiting-kepiting petelur ini dilepaskan di sekitar kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Mangrove di sekitar Teluk Benoa. Terlihat empat ekor mati. Di area ini ada kawasan pemanfaatan yang dikelola kelompok nelayan dan koperasi Wanasari. Mereka membuat tambak budidaya kepiting, pembibitan, dan restoran serta sarana rekreasi bernama Kampung Kepiting.
Apakah ini areal yang ideal? Suko Wardono, Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar yang ikut melepasliarkan menyebut areal ini kawasan konservasi dan perlindungan mangrove. Hutan mangrove berperan penting pelestarian sumberdaya ikan.
Lalu bagaimana meyakinkan kepiting petelur ini tak malah dimasak jadi hidangan di restoran dengan menu utama kepiting ini? Made Sumasa, Ketua kelompok nelayan Wanasari dan pendiri Kampung Kepiting yang berlokasi persis di bawah jalan tol di atas Teluk Benoa ini menjamin aman karena ia mengklaim restorannya ramah lingkungan. Selain itu pihaknya sudah terdidik soal syarat penangkapan dan yang bisa dikonsumsi. “Betina sama sekali tidak. Kalau ada warga yang dapat kita beli. Kalau jantan minimal 300 gram (dikonsumsi),” jelas pria ini.
Sumasa menyebut areal Kampung Kepiting sudah sekitar 4-5 kali menjadi lokasi pelepasliaran. Areal yang dikelola sekitar 10 ha milik desa adat Tuban. Sejak awal didirikan, pengelola sudah ajukan izin namun belum didapatkan namun sejumlah kegiatan pemerintah dan korporasi sering dilakukan di sini. Misalnya CSR Pertamina bidang usaha pembibitan kepiting dan bakau.
Selain enak diolah, kehidupan kepiting bisa jadi indikator kesehatan lingkungan sekitarnya. Journal of Marine and Aquatic Sciences 2 (2016) berjudul Profil Hemosit dan Aktifitas Fagositosis Kepiting Bakau (Scylla sp.) yang Terserang Ektoparasit di Ekosistem Mangrove Kuta Selatan, Bali oleh Alfi Hermawati Waskita Sari dan Rani Ekawaty dikutip dari web jurnal Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana menyajikan hal ini.
Selain dari segi ekonomi, kepiting bakau (Scylla sp.) juga memiliki peranan penting dalam ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove sebagai habitat utama dari kepiting bakau (Scylla sp.) yang merupakan pertemuan antara air tawar dan air laut sehingga sangat berpotensi mengandung bahan kimia antropogenik yang dapat berdampak pada kondisi fisiologis krustasea (Vijayavel and Balasubramanian, 2006; Saha et al., 2009) sehingga mempengaruhi sistim imun organisme tersebut (Gupta et al., 2013).