Mongabay.co.id

Aturan Perhutanan Sosial di Lahan Gambut Terbit

Wong rawang di Tulungselapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel, yang masih bertahan. Mereka bertahan hidup dengan mencari ikan, meskipun hasilnya terus menurun akibat kerusakan lahan gambut atau mereka tak dapat lagi secara bebas mengakses lahan gambut yang sebagian besar telah menjadi konsesi atau wilayah konservasi. Foto Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Selama ini, hak kelola warga di lahan gambut masih mengambang dan tersendat karena belum ada payung hukum. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, menerbitkan aturan baru soal ini lewat Permen LHK Nomor P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial pada Ekosistem Gambut. Ada sekitar 259.738 hektar usulan perhutanan sosial di lahan gambut sedang proses di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sebelumnya, aturan ini mengalami harmonisasi cukup lama karena ada peraturan yang saling berhubungan, seperti Peraturan Menteri Nomor 10/2019 tentang Penentuan, Penetapan dan Pengelolaan Puncak Gambut dan Instruksi Presiden Nomor 5/2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Aturan ini sudah masuk menjadi lembaran negara pada 26 November 2019.

“Perhutanan sosial di lahan gambut regulasinya sudah ada. Yang paling penting sebenarnya kalau di gambut itu, gambut gak boleh dikorek, gak boleh dibuka secara fisik. Bisa untuk jasa lingkungan. Nanti dilihat wilayah gambutnya, apakah masuk kawasan budidaya atau bukan,” katanya Siti di Jakarta, pekan lalu.

Dia bilang, dengan ada aturan ini ada rambu-rambu dan pembatasan. “Prinsipnya, memang kita sangat hati-hati. Karena prinsipnya gak boleh buka lahan gambut.”

Baca juga: Realisasi Perhutanan Sosial di Lahan Gambut Rendah, Aturan Segera Terbit

Selama ini, katanya, tak ada hambatan menerapkan skema perhutanan sosial di lahan gambut. Ada anggapan orang melihat perhutanan sosial pada pemanfaatan kayu cenderung tebang pohon lalu tanami komoditas tertentu. Padahal, kata Siti, ada skema dan pola lain yang bisa diterapkan dalam perhutanan sosial di lahan gambut, salah satu jasa lingkungan.

Bambang Supriyanto, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK mengatakan, Permen LHK ini baru diundangkan pada 29 Oktober lalu. Persoalan gambut, katanya, melibatkan multi disiplin hingga perdebatan cenderung lama.

Dalam permen, katanya, menerapkan prinsip kehati-hatian dengan tetap berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). “Ini sejalan dengan Permen LHK P.10/2019 tentang penentuan kubah gambut.”

Usulan perhutanan sosial di lahan gambut, katanya, nanti di-overlay dengan peta KHG. Hasilnya, menentukan bisnis model seperti apa. Kalau di kubah dalam dan fungsi lingdung, perhutanan sosial tetap bisa jalan dalam bentuk jasa lingkungan dan non kayu.

“Kalau itu budidaya, kita main agroforestry dengan teknik paludikultur yang sesuai ekologis gambut. Pemanfaatan kayu hanya untuk keperluan masyarakat setempat, tidak dijual,” katanya.

Bambang menambahkan, skema yang didorong dalam perhutanan sosial di lahan gambut ada empat jenis, yakni, hutan desa, hutan kemasyarakatan (HKm), Kemitraan dan hutan adat.

Gak ada hutan tanaman rakyat. Kita gak berani kasih HTR karena terlalu berisiko. Jadi, kita tetap menerapkan asas kehati-hatian,” katanya.

Dalam permen itu, diatur soal pendamping sebagai syarat izin perhutanan sosial di lahan gambut diberikan. Hal ini perlu agar masyarakat tak membuka lahan gambut dengan cara membakar.

“Supaya paling tidak dengan adanya hutan sosial, preventif itu bisa jalan di tingkat tapak dengan pola-pola teknologi yang ramah gambut. Paling penting lagi, jika dikelola dengan hutan sosial, kan manfaat ada pohon berbuah, dengan nenas dan sebagainya, itu gak masalah. Kalau ada manfaat, ketika ada potensi kebakaran, masyarakat ikut menjaga juga. Masyarakat akan membantu memadamkan api,” katanya.

Sedangkan progres permohonan hutan desa di gambut, ada ditolak lima usulan seluas 17.609 hektar, ditunda 25 seluas 82.310 hektar dan yang lain masih proses dengan total permohonan 242.914 hektar. Untuk HKm di lahan gambut, capaian hingga kini 16. 824 hektar hingga jumlah keseluruhan kedua skema ada 259.738 hektar.

Hutan desa itu diusulkan 83 desa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Sementara, hutan kemasyarakatan diusulkan 19 kelompok masyarakat di Sumatera, Kalimantan, dan Maluku.

 

Kopi yang ditanam di lahan gambut. Meski bisa ditanam dan mampu bertahan hidup di gambut, kopi ini tak banyak dikembangkan. Foto: Yusy Marie/Mongabay Indonesia

 

Bambang bilang, dari luasan itu akan dilihat terkait Kesatuan Hidrologis Gambut, di mana lahan gambut fungsi lindung dan fungsi budidaya. ”Itu harus hati-hati karena menentukan business model-nya.” Khusus fungsi lindung, hanya bisa jasa lingkungan, agroforestri dan pemanfaatan hasil bukan kayu.

Pengelolaan untuk wilayah ini pun, katanya, perlu ada penjaminan pendamping.

“Usulan perhutanan sosial di lahan gambut kita akan percepat dalam konteks verifikasi teknis. Sejak minggu lalu kita kumpulkan para pihak. Dari usulan yang panjang itu, siapa saja pendampingnya, kita identifikasi. Pendamping itu tak harus satu, misal, dari pemerintah daerah, penyuluh, KPH akan terintegrasi di sana,” katanya.

Dia menargetkan, seluruh usulan perhutanan sosial di lahan gambut akan selesai Desember. Mereka terus menjalin komunikasi intens dengan berbagai pihak seperti pendamping, pemerintah daerah, Kesatuan Pengelola Hutan (KPH), dan Badan Restorasi Gambut (BRG).

“Kita juga undang para pendamping. Begitu komitmen mau mendampingi usulan perhutanan sosial di lahan gambut, dia harus menandatangani pakta integritas. Prosedur bagaimana mengelola perhutanan sosial juga harus dipahami oleh mereka. Hingga itu jadi alat pengendalian ke depan.”

Kepala BRG Nazir Foead mengatakan, akan mendampingi masyarakat yang sudah mendapatkan izin perhutanan sosial di lahan gambut.

Kalau untuk gambut yang masuk daerah prioritas kerja, katanya, BRG sudah rencanakan. “Kita anggarkan, kita sudah koordinasi terutama untuk pembinaan dan pendampingan pasca izin.”

Idealnya, kata Nazir, izin ada izin, betul-betul untuk kesejahteraan masyarakat asli yang menerima dan menjaga keutuhan ekosistem gambut jangan sampai juga berdampak negatif. “Kita sudah ada kesepakatan dengan Pak Dirjen PSKL. Beberapa pengajuan aplikasi perizinan juga dibantu tim BRG, sebagian sudah lolos. Jadi pendampingan pasca izin itu penting sekali,” katanya.

Khalisah Khalid, Kepala Desk Politik Walhi Nasional mengatakan, pelaksanaan perhutanan sosial ini bukan hanya pemenuhan komitmen pemerintah tetapi penyelesaian masalah struktural. Negara, katanya, belum sepenuh hati memberikan kepercayaan pengelolaan lahan kepada masyarakat.

“Selama ini, dilihat sebagai business as usual, prosedur itu disamain, padahal kita tahu itu menempatkan sebagai affirmative policy ketika ketimpangan sangat tinggi, krisis lingukungan dan dampak dari pengelolaan dari korporasi yang gagal,” katanya.

Perhutanan sosial, baik umum maupun di gambut ini birokrasi masih menjadi tantangan, terlebih peran aktif pemerintah daerah.

Kalau berjalan serius, katanya, program ini mampu mengatasi ketimpangan sosial, penyelesaian konflik masyarakat, praktik koruptif dan menyumbang penurunan emisi gas rumah kaca.

 

Akhmad Tamaruddin atau biasa disebut pak Taman, merupakan petani agroforestri yang sukses kembangkan lahan gambut tanpa bakar di Kalimantan Tengah. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Kendala anggaran

Mengenai perhutanan sosial, pada Februari 2019, KLHK revisi peta indikatif area perhutanan sosial (PIAPS) seluas 13,8 juta hektar. Menurut Bambang, untuk dampingan ini perlu dana Rp1,4 triliun per tahun teralokasi dari Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLUP2H). ”Anggaran kita hampir Rp500 miliar saja.”

Dari anggaran itu, kata Bambang, pendampingan hanya bisa 1.419 pendamping dari 6.078 pendamping. Idealnya, satu lokasi mendapatkan satu pendamping hingga kelestarian dan sosial budaya terjaga dan ada pengembangan ekonomi masyarakat.

Untuk mengurangi kekurangan itu, khusus pendampingan pasca izin, KLHK berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil, tanggung jawab sosial perusahaan, perbankan, dan mendorong pembiayaan dari pemerintah daerah.

Alam Surya Putra, Deputi Direktur Setapak, The Asia Foundation’s Environmental Governance Program di Indonesia mengatakan, percepatan perhutanan sosial lima tahun lalu dinilai sudah baik, namun masih jauh dari target.

”Dari target 12,7 juta hektar, kemudian di rencana kerja pemerintah menjadi 4 juta, direvisi lagi jadi 3,5 juta hektar. Itu juga masih belum tercapai. Saat ini, sudah mencapai 3,4 juta hektar, namun 500.000 hektar merupakan wilayah indikatif hutan adat yang belum keluar, yang sebenarnya tidak bisa dihitung,” katanya. Jadi, capaian masih 2,8 juta hektar.

Hingga kini, implementasi perhutanan sosial dinilai masih membebani pendanaan pemerintah pusat, provinsi atau anggaran daerah masih belum signifikan. “Mereka (pemerintah daerah) ada komitmen untuk mendorong perhutanan sosial tapi komitmen untuk mengalokasikan anggaran kecil.”

Penggunaan dana bagi hasil dana reboisasi (DBH-DR), katanya, memungkinkan tetapi sangat terbatas karena dianggap belum ada regulasi kuat. ”KLHK seperti tidak ada komitmen menggunakan dana itu, padahal dana besar tapi penerapan kecil.”

Alam mengatakan, dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor230/PMK.07/2017 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam Dana Reboisasi telah mengakselerasi pemerintah daerah untuk menyusun rencana kegiatan dan anggaran yang bersumber dari DBH-DR itu. Awalnya, dibuka untuk mendukung pengendalian perubahan iklim dan perhutanan sosial, meski penggunaan masih terbatas.

”Namun direvisi jadi PMK131, di mana Kemenkeu membuka keran lebih besar untuk perhutanan sosial. Semestinya, KLHK memanfaatkan PMK 131 ini untuk konsolidasi upaya percepatan itu.”

Pengaturan tentang penggunaan DBH-DR untuk pembiayaan perhutanan sosial dan karhutla, ditegaskan kembali melalui PMK No. 131 tahun 2019, sebagai revisi terhadap PMK No. 230 tahun 2017. Dalam PMK baru, katanya, ada rinci berbagai kegiatan dari kedua program itu.

Kegiatan‐kegiatan yang dapat dibiayai oleh DBH-DR untuk program perhutanan sosial mencakup, penyiapan perhutanan sosial dan pengembangan usaha perhutanan sosial, termasuk pendataan potensi konflik tenurial dan hutan adat.

Dia optimis, dengan penganggaran tahun 2020 ini perhutanan sosial bisa dipercepat dan tak kekurangan amunisi. “Jika ini kolaborasi bebagai pihak dan saling berbantu bagaimana supaya DBH-DR bisa dipakai maksimal, kemudian kementerian juga mau maksimal kerjakan target.”

Koalisi masyarakat sipil menilai, KLHK perlu meningkatkan target capaian, yakni, 1,85 juta hektar per tahun jadi 2,5 juta per tahun. Dengan target 2,5 juta per tahun, dipastikan pada 2024 target bisa terpenuhi.

KLHK pun menghitung dengan menyusun 1,85 juta hektar per tahun, perlu dana Rp3,6 triliun. Organisasi masyarakat sipil niaya unit perlu Rp138.000 per hektar hingga perlu Rp1,3 triliun.

”KLHK menghitung dengan proses panjang (dari nol). Saat ini, kan menurut Pak Bambang mereka sudah menyediakan flying team. Ini bisa lebih cepat lagi, rantai proses bisa dipotong. Menurut kami angka Rp138.000 per hektar itu paling riil,” ucap Alam.

 

Orang Mentawai di Dusun Puro, Siberut Selatan sedang mencari daun-daun obat untuk pengobatan dan ritual adat. Mereka hidup bergantung hutan, tetapi wilayah adat berlum ada pengakuan dan perlindungan dari negara. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Hutan adat

Selama lima tahun lalu, penetapan hutan adat ‘mandeg’ di regulasi karena perlu ada persyaratan peraturan daerah seperti UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan.

Pada Mei 2019, KLHK menetapkan peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat seluas 472.981 hektar. ”Pada Oktober ini, kami tetapkan 576.000 hektar, dan 8 November seluas 145.000 hektar,” kata Bambang. Jadi total wilayah indikatif hutan adat seluas 1.041.957 hektar.

Berdasarkan klasifikasi KLHK dari data masyarakat sipil, ada 3,5 juta hektar sudah ada peraturan daerah, namun belum menyebutkan subyek dan obyek masyarakat adat. ”Wilayah indikatif hutan adat itu yang penting secure dulu masyarakat adatnya, sambil menunggu perda, baru kita tetapkan.”

Per 7 Oktober 2019, realisasi perhutanan sosial mencapai 3.421.548 hektar seluas 1,4 juta hektar hutan desa, 695.113 hektar HKm, 347.821 hektar hutan tanaman rakyat. Lalu, 954.461 hektar kemitraan kehutanan dan hutan adat 24.152,34 hektar. Ia terdiri dari 6.078 surat keputusan dan meliputi 758.353 keluarga.

 

Pemasaran produk?

Bicara produk-produk dari perhutanan sosial, Menteri Koperasi dan UMKM, Teten Masduki sudah menjalin kerjasama dengan KLHK untuk membantu pemasaran.

Perhutanan sosial, katanya. merupakan upaya besar mentransformasi perekonomian Indonesia demi mewujudkan keadilan sosial.

“Akses masyarakat kepada lahan ini akan memunculkan kekuatan ekonomi. Ini yang sebenarnya kita harapkan. Kita harapkan muncul koperasi tani, pekebun, ulayat yang akan jadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru,” katanya.

Saat ini, struktur ekonomi Indonesia kurang berkeadilan. Yang besar hanya 1%, 99% masih kecil. “Harus ada transformasi ekonomi. Karena itu akses [warga] kepada lahan ini satu kesempatan kita memperbaiki struktur ekonomi lebih baik, lebih berkeadilan,” katanya.

Menuju itu, Kementerian UKM bekerjasma intens dengan kementerian dan lembaga lain, termasuk KLHK.

Dia bilang, banyak produk perhutanan sosial berpotensi besar. Teten mengatakan, sedang menyiapkan konsep atau model bisnis supaya memberikan manfaat bagi masyarakat. “Saya kira sektor kehutanan kita kaya sumber hayati. Banyak komoditi punya value tinggi di pasar dunia sering disebut sebagai indigenous product. Itu punya nilai sangat tinggi,” katanya.

Siti mengatakan, produk perhutanan sosial sudah makin baik, antara lain menunjukkan proses evolusi dalam pengelolaan perhutanan sosial.

 

Keterangan foto utama:  Wong rawang di Tulungselapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel, yang masih bertahan. Mereka bertahan hidup dengan mencari ikan, meskipun hasilnya terus menurun akibat kerusakan lahan gambut atau mereka tak dapat lagi secara bebas mengakses lahan gambut yang sebagian besar telah menjadi konsesi atau wilayah konservasi. Foto Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

Dari tikar hingga kotak file dokumen hingga topi dan sendal serta tas yang diolah dari purun oleh para perempuan dari Desa Lubuk Kertang, Langkat Sumut. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version