- Warga dan kelompok tani mengeluhkan, usulan perhutanan sosial di lahan gambut belum juga mendapatkan kepastian dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
- Sampai semester I 2019, terdapat 237.472 hektar usulan perhutanan sosial di ekosistem gambut belum mendapatkan kejelasan.
- Dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, segera menerbitkan Peraturan Menteri tentang Perhutanan Sosial pada Ekosistem Gambut.
- Direktorat Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) pun telah memverifikasi teknis usulan perhutanan sosial yang masuk dari masyarakat.
Akiat, petani asal Kampung Baru, Desa Kepau Baru, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau, membuat petisi dalam laman Change.org. Dia meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, segera mengeluarkan peraturan skema perhutanan sosial di lahan gambut.
“Sebagai petani di lahan gambut, saya juga ingin sejahtera seperti petani-petani lain di Indonesia, katanya.
Dia bersama petani-petani lain di kampungnya, melihat peluang perhutanan sosial dan berpikir, kemungkinan lewat program inilah mereka bisa mendapatkan hasil lebih bagus.
“Selama ini, lahan gambut hanya diberikan kepada perusahaan-perusahaan swasta,” katanya dalam diskusi di Jakarta, baru-baru ini.
Akiat, Ketua Kelompok Tani Baru Lestari. Kelompok ini ada 328 orang dan mengelola lahan gambut. Selama ini, mereka dihantui perasaan tak menentu. Aspek legalitas kawasan yang mereka kelola belum ada. Mereka masih berjuang mendapatkan legalitas perhutanan sosial melalui skema hutan kemasyarakatan (HKm) di lahan gambut seluas 4.850 hektar.
Hingga kini, belum juga terealisasi. Ketiadaan regulasi yang mengatur perhutanan sosial di gambut menjadi penyebab.“Desember 2017, kami selesaikan dokumen-dokumen persayaratan diusulkan ke menteri di Jakarta. Alhamdulillah, usulan kami lolos verifikasi administrasi. Namun tak kunjung datang tim verifikasi lapangan ke kampung kami,” katanya.
Kalau dibandingkan perusahaan-perusahaan swasta, kata Akiat, wilayah yang mereka usulkan sangat kecil. Dia berharap, segera dapat legalitas HKm. Selama ini, katanya, mereka sangat menggantungkan kehidupan dari kawasan itu.
Dia sudah menyerahkan berbagai dokumen untuk mengesahkan HKm mereka, seperti KTP, surat pernyataan yang diketahui pemerintah desa, dan peta wilayah.
“Mayoritas masyarakat desa kepaubaru berkebun sagu dan nelayan. Masyarakat Kepaubaru lebih dikenal dengan Suku Akit. Sebagian besar desa Kepaubaru di konsesi HTI PT Nasional Sagu Prima,” katanya.
Budidaya sagu sudah turun temurun. Tanam sagu, katanya, tak monokultur, tak pakai kanal sebagai jalur distribusi utama. “Tidak bercocok tanam dengan cara membakar dan budidaya alami, tak pakai pupuk.”
Sagu, katanya, tanaman pangan asli Akit. Kayu untuk rumah dan perahu gambut. Hutan tetap lestari karena penting bagi ketersediaan air warga Akit.
“Sekitar 10 tahun terakhir baru ada perusahaan. Sekarang ini, perusahaan ambil lahan tanpa izin masyarakat. Masyarakat berharap punya wilayah kelola sendiri. Tidak menumpang di lokasi-lokasi tokeh kampung,” katanya.
Boy Even Sembiring, Manajer Kajian Walhi Nasional mengatakan, luas daratan Indonesia 191.944.000 hektar dan laut 327.381.000 hektar. Dari luas daratan itu, 160.850.139, 29 hektar legal untuk investasi setara 30,97% wilayah indonesia. Sebaran izin berada pada 61,07% darat Indonesia, sisanya 13,57% di laut.
Sebenarnya, kata Boy, negara menyediakan dua kebijakan berujung pemulihan hak rakyat terkait konflik agraria di kawasan hutan melalui skema perhutanan sosial dan tanah obyek reforma agraria (Tora).
Meski begitu, capaian perhutanan sosial meski sudah menunjukkan perbaikan tetapi masih rendah. Hingga Desember 2018, capaian perhutanan sosial 2.504.197,92 hektar dari target 12,7 juta hektar. Angka ini, lebih besar kalau dibandingkan capaian pada era, sebelum Jokowi, seperti Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, 455.838,87 hektar.
“Hambatan perhutanan sosial, yakni, penerbitan akses legal di ekosistem gambut dihentikan. Terganjal penyelesaian konflik, penguasaan kawasan hutan Jawa didominasi Perum Perhutani,” katanya.
Berdasarkan catatan Walhi, sampai semester I 2019, terdapat 237.472 hektar usulan perhutanan sosial di ekosistem gambut belum mendapatkan kejelasan. Kondisi ini, katanya, karena ada pengabaian fakta bahwa turun temurun pengelolaan gambut oleh masyarakat tak mengakibatkan bencana ekologis seperti kebakaran hutan dan lahan maupun banjir.
Padahal, fakta menunjukkan selama ini titik api lebih besar di konsesi perusahaan. Pada 2018, eksistensi 5.436.252,96 hektar konsesi berada di Kawasan Hidrologis Gambut (KHG).
Khalisah Khalid, Koordinator Desk Politik Walhi Nasional mengatakan, perhutanan sosial merupakan program andalan Jokowi. Sayangnya, hingga kini, masih tertatih-tatih, terlebih menyangkut perhutanan sosial di lahan gambut, bisa dibilang stagnan.
“Sejak program ini dicetuskan pemerintah, baru dua izin perhutanan sosial di lahan gambut keluar, di Sungai Tohor, Riau dan Desa Buntoi Pulang Pisau, Kalteng.”
Dia bilang, sejauh ini masalah muncul adalah formalistik, yakni, belum terbit peraturna pengelolaan gambut oleh masyarakat. “Saya gak tahu draf permen sudah sejauh mana, sampai sekarang belum diterbitkan,” kata Alin, sapaan akrabnya.
Masyarakat yang mengelola gambut, katanya, sudah banyak membuktikan praktik keberlanjutan mereka. Gambut kelolaan mereka, tak terbakar.
“Jika program perhutanan sosial diklaim pemerintah sebagai unggulan bahkan masuk proyek strategis nasional, harusnya semua upaya didorong ke arah mempercepat kepastian hukum.”
Eko Cahyono, peneliti agraria dari Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, dalam konteks pengelolaan ekosistem gambut banyak kebijakan sesat pikir. Hal inilah, yang membuat apa saja yang didudukkan di gambut, seringkali tak berpihak masyarakat.
Bagi masyarakat, katanya, gambut bukan sekadar sumber pangan tetapi identitas kebudayaan. Kalau gambut tercemar, yang hilang bukan sekadar ekosistem, juga peradaban.
Dalam kebijakan yang ada, katanya, seolah menstigma gambut dan mengabaikan masyarakat lokal dan adat. Tawaran pemanfaatan, katanya, cenderung lebih memilih hutan tanaman industri atau sawit hingga tak ada penghormatan pada pengetahuan lokal.
Aturan segera terbit
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera menerbitkan Peraturan Menteri tentang Perhutanan Sosial pada Ekosistem Gambut. Direktorat Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) pun telah memverifikasi teknis usulan perhutanan sosial yang masuk dari masyarakat.
Bambang Supriyanto, Direkur Jenderal PSKL menyebutkan, peraturan menteri terkait perhutanan sosial pada ekosistem gambut sudah tanda tangan menteri. ”Sekarang sedang diharmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM dan diberikan penomoran,” katanya.
KLHK pun telah memverifikasi teknis pada wilayah yang akan jadi perhutanan sosial di lahan gambut, yakni, 230.728,99 hektar yang tersebar di tujuh provinsi prioritas, seperti Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Papua.
Luasan ini akan langsung mendapatkan surat keputusan penetapan setelah Permen LHK sah. Nantinya, regulasi ini menjadi pedoman pengelolaan gambut oleh masyarakat.
Adapun, usulan yang masuk ke KLHK sekitar 540.000 hektar, masih ada 309.271,01 hektar lahan belum verifikasi teknis. Bambang bilang, luasan perhutanan sosial yang akan keluar surat keputusan telah verifikasi wilayah dan tak berada di kubah gambut.
”Prinsip utama dalam perhutanan sosial di lahan gambut mengedepankan pelestarian KHG. Harus menjaga kubah gambut sesuai aturan gambut.”
Skema perhutanan sosial yang diterapkan dalam ekosistem gambut, antara lain, HKm, hutan desa, kemitraan kehutanan dan hutan adat.
”Hutan tanaman rakyat tidak masuk dalam skema. Soalnya, HTR itu kan seperti HTI mini, jadi kalau HTR di lahan gambut berat ya.”
Gambut memiliki karakteristik rentan. Tata kelola perhutanan sosial di lahan gambut pun, katanya, harus terjaga. Di mana, masyarakat dilarang membuka lahan baru dengan cara tebang habis, dilarang membuat kanal ataupun saluran drainase yang membuat gambut jadi kering dan tak boleh membakar.
“Dalam permen ini, kita tambahkan penguatan pendampingan. Bisa semua pihak yang terpenting kompeten.”
Model pengembangan ekonomi, katanya, bisa diatur spesifik dalam peraturan ini. Setelah keluar izin pengelolaan, setiap kelompok tani hutan perlu membuat rencana kerja usaha, bisa dalam bentuk agroforestri, atau silvopastura.
Dia contohkan, pada fungsi lindung ekosistem gambut, yang memiliki kedalaman lebih tiga meter, pemanfaatan tak bisa melalui budidaya. Pada fungsi ini, pemanfaatan gambut bisa melalui jasa lingkungan seperti ekowisata sebagai pilihan dalam pengembangan perhutanan sosial atau penanaman dengan tanaman asli.
Pada fungsi produksi, antara 1-3 meter, budidaya bisa dengan penanaman pohon, seperti ramin tahan karakter lahan basah. Potensi ekonomi dari hasil hutan bukan kayu juga dapat optimal dalam skema perhutanan sosial di lahan gambut, seperti rotan, sagu, getah jelutung, kayu gaharu, dan nyamplung.
Bambang mengatakan, kalau ada kerusakan lahan gambut, harus pemulihan terlebih dahulu. ”Tak harus oleh kelompok tani hutan, keterlibatan daerah dan perusahaan di sekitar bisa mendukung pemulihan,” katanya.
Pemulihan lahan gambut untuk perhutanan sosial juga bisa pakai dana anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), perusahaan maupun masyarakat. ”(Dalam permen) ada perintah harus dipulihkan.”
Berdasarkan data Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) yang mendampingi puluhan desa dalam mengusulkan skema perhutanan sosial, dari 52.000 hektar lahan gambut dan mangrove usulan warga, 21.000 hektar verifikasi teknis.
Boy mengapresiasi permen terkait perhutanan sosial yang segeraterbit. Menurut dia, hal ini penting mengakomodir permintaan masyarakat mengelola lahan gambut.
“Paling penting, begitu banyak usulan sudah terhambat hampir setahun, sebaiknya draf permen ini mempercepat, harus diikuti instruksi menteri agar segera verifikasi teknis usulan-usulan itu.”
Untuk yang sudah verifikasi teknis, katanya, segera mendapatkan kepastian hukum agar lokasi-lokasi ini bisa mereka peroleh secara legal.
Menteri LHK sedang menyiapkan permen mengenai skema perhutanan sosial di lahan gambut juga terbit Inpres penghentian pemberian izin di hutan alam primer dan lahan gambut. Dalam Inpres yang ditandatangani presiden 5 Agustus lalu, perhutanan sosial tak jadi bagian pengecualian.
Untuk mengatasi ini, kata Boy, presiden perlu mengeluarkan Inpres terbaru untuk mengecualikan perhutanan sosial dari larangan pemberian izin di lahan gambut.
Kalau tidak, menteri bisa ragu mengeluarkan izin perhutanan sosial di lahan gambut.“Kalau tak ada pengecualian untuk perhutanan sosial, berarti ini otomatis berlaku di skema perhutanan sosial. Karena posisi perhutanan sosial juga melalui skema perizinan.”
Meskipun inpres merupakan instruksi yang tak ada konsekuensi hukum, katanya, tetapi berpotensi membuat Menteri LHK ragu mengeluarkan izin perhutanan sosial di lahan gambut.
Boy sepakat HTR tak masuk dalam perhutanan sosial di lahan gambut. Skema HTR, katanya, meskipun untuk rakyat, tetapi lebih menyasar kalangan menengah. HTR, tak jauh berbeda dengan HTI yang panen kayu.
Mengenai pendamping, seringkali KLHK terkendala dengan anggaran. Dia berharap, dalam permen terbaru ini, dalam kriteria pendampingan tak terlampau formal. Pendamping, katanya, harus berdasarkan pengalaman bekerja bersama masyarakat.
Keterangan foto utama: Kelompok Mekar Sari tanam nenas pada lahan gambut. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia