Mongabay.co.id

Aksi Petani Pisang Mempertahankan Lahan Garapannya [1]

 

Dua kali mediasi dengan investor, petani selalu bertanya mau membangun apa di lahan garapan. Di sisi lain lahan pertanian berupa ladang pisang subur, beberapa petaknya sudah diratakan buldoser.

Warga yang bingung dan investor yang kurang terbuka. Demikian yang terangkum dalam dua kali pertemuan mediasi yang dihadiri Mongabay Indonesia. Pertama di bale Banjar Selasih, pada Kamis (3/10/2019), kemudian pada Minggu (24/11/2019) di rumah salah satu warga.

Dusun Selasih, Desa Puhu, Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali, berada di garis sungai dan tebing yang dimanfaatkan puluhan akomodasi mahal dari Ubud (Sayan, Kedewatan) sampai Payangan. Istimewanya, dusun ini produsen daun pisang ke seluruh penjuru Bali, komoditas yang makin laris di tengah kampanye pengurangan plastik. Sejumlah perbelanjaan kini mengganti kemasan plastik dengan daun pisang.

Ratusan pohon pisang mati masih terasa basah setelah diratakan alat berat. Sementara di lahan yang belum dibuldoser, tegakan ribuan pohon pisang menghampar menghijau. Ada yang masih berupa anakan, sebagian sudah berusia lebih dari satu tahun. Di sela hutan pisang, ada kebun dengan pohon kayu dan buah-buahan. Ada kebun homogen pisang, ada campur sari dengan pepohonan lebih tinggi.

Kebun pisang rapi terlihat dirawat petani, termasuk peremajaan tanaman. Di sisi kebun lainnya, sawah padi berdampingan dengan pisang. Hutan pangan yang subur. Namun lebih dari 100 hektar di antaranya sudah diklaim dimiliki investor untuk jadi resor wisata. Informasi yang diketahui warga sejak 1994, di tanah garapan itu akan dibangun lapangan golf.

baca : Ketika Presiden Perintahkan Penyelesaian Konflik Lahan Termasuk Dalam Konsesi

 

Kebun pisang yang subur Dusun Selasih, Desa Puhu, Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali ini adalah potensi ekonomi besar bagi warga. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Beberapa pekan ini suasana di salah satu sudut desa cukup mencekam. Alat berat sudah merangsek meratakan ladang pisang, sampai Sabtu (23/11/2019) lalu sejumlah petani perempuan protes menghadang dengan membuka baju.

Salah satunya Putu Astiti. “Kulkul berbunyi, saya langsung ke jalan. Melihat buldoser datang, saya histeris,” ingatnya. Ia memohon pada yang kuasa agar alat berat itu tak meratakan kebun-kebun pisang. Serikat Petani Selasih (SPS) bertahan ingin terus menggarap lahan kebun pisang untuk anak cucunya.

“Bagaimana ini, harapan saya bisa menggarap lahan sampai anak cucu nanti,” Ni Wayan Rike, menyela obrolan dengan Astiti. Keduanya bersama belasan perempuan lain ikut rapat mediasi pada Minggu (24/11/2019) di rumah Made Sunarta, salah seorang warga. Ada puluhan petani laki-laki lainnya juga.

Di bale tengah rumah itu, ada perwakilan investor PT. Ubud Raya Duta Development (URDD), pemerintah desa, desa pekraman (adat), camat, DPRD Gianyar, anggota DPR Nyoman Parta, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Arya Wedakarna, SPS, dan lainnya. Mediasi berlangsung lebih empat jam sejak pukul 11.00 WITA.

Astiti dan Rike terlihat serius menyimak poin demi poin kesepakatan sementara pasca aksi warga menghadang alat berat itu. Sambil sesekali bertanya ke sesama teman, apa arti pernyataan yang ditulis dalam Berita Acara itu.

Berikut isinya. Seluruh pura di tanah Hak Guna Bangunan (HGB) tetap dipergunakan sebagai tempat ibadah umat Hindu, mengijinkan petani memanfaatkan tanah garapan di wiayah HGB sepanjang belum dibangun, dan memprioritaskan warga penggarap dan banjar Selasih menjadi tenaga kerja sesuai keahliannya. Jumlah lahan pekarangan menurut manajemen PT. URDD sebanyak 30, sementara menurut warga 32 di area lahan HGB perusahaan.

Namun Serikat Petani Selasih tetap menginginkan memiliki lahan garapan yang sudah memberikan harapan masa depan anak cucunya. Daun pisang dari jenis pisang batu saat ini bernilai ekonomis tinggi. Rike menyebut satu ikat besar berisi 10 lipat kini dijual Rp60 ribu di tingkat petani. Harganya meroket di musim kemarau ini karena panen juga menurun, persediaan di pasar berkurang.

Dari 15 hari sekali panen, kini jadi 30 hari karena pohon pisang kurang air, daunnya sedikit. Tak hanya kemarau, peningkatan permintaan juga karena daun pisang jadi alternatif pengganti kemasan plastik. Kampanye yang tengah digalakkan di Bali.

baca juga : Konflik dengan Perusahaan Perkebunan Kayu, Warga Sihaporas Lapor Komnas HAM

 

Sejumlah petani perempuan membuka baju menghadang bulldozer yang akan meratakan tanah lahan pertanian pisang Dusun Selasih, Desa Puhu, Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali pada 23 November 2019. Foto: arsip SPS

 

Masa depan ini mendadak suram setelah tahun ini PT. URDD mulai membangun setelah menelantarkan lahan HGB selama 23 tahun sejak 1997.

Sebuah papan nama besar ini membangunkan keresahan warga petani penggarap. “Tanah Milik PT Ubud Resort (Bersertifikat). Dilarang Memasuki dan Memanfaatkan Tanpa Seizin Pemilik. Ancaman Pidana. Pasal 167 Ayat 1 KUHPJo Pasal 389 KUHP Jo Pasal 551 KUHP. Dalam Pengawasan Kantor Hukum M. Syawal & Partners, Mayor Jendral TNI Purn Gatot Subroto.”

Dari dua kali mediasi, ini kronologis singkat yang bisa dirangkum dari pernyataan warga. Pada Februari 2019, ada surat dengan 9 tanda tangan petani penggarap, bahwa perusahaan akan melakukan pengukuran lahannya. “Petani disodori kertas kosong yang ditandatangani, ternyata pernyataan kesediaan,” protes Kariasa, salah satu warga yang menolak. Ia mengaku terintimidasi oleh petugas perusahaan.

Kemudian pada 7 Mei 2019, ada sosialisasi di Pura Hyangapi desa setempat mengundang 9 petani. “Ada pemasangan plang oleh PT, tidak pernah lapor kelihan (kepala dusun). Saya sangat merasa resah, menanyakan prajuru (pimpinan desa),” lanjutnya.

Pada Juli 2019 pun ada pertemuan antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang Kantor Wilayah Bali, Pemerintah Provinsi Bali, dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) membahas masalah agraria di Bali, salah satunya dusun Selasih. Ada pembahasan sengketa di Selasih akan diselesaikan dalam kerangka reforma agraria.

Keresahan terus membuncah. Persinggungan petani penggarap dengan pihak keamanan PT URDD terus terjadi.

Mulai Rabu (20/11/2019) ekskavator disiagakan bergerak ke lahan perkebunan warga dengan kawalan aparat kepolisian. SPS mencoba menghalangi. Akhirnya pada Sabtu (23/11/2019) dua alat berat merangsek dan meratakan belasan hektar kebun. Ratusan polisi termasuk polwan berusaha mengamankan proses pembersihan lahan ini.

Sampai mediasi 24 November lalu, sejumlah tenda-tenda polisi masih berdiri dia area kebun yang sudah diratakan. Truk-truk Brimob juga siaga dan parkir dari depan kawasan yang diklaim investor sampai sela-sela kebun. Kehadiran ratusan polisi ini sangat mencolok karena memenuhi dusun. Jauh lebih banyak dari puluhan petani penggarapnya.

Syawal, kuasa hukum PT. URDD tidak banyak bisa menjawab pertanyaan warga soal detail pembangunan dan permintaan tanah garapan. Ia mengaku akan berkoordinasi dengan pemilik dan komisaris perusahaan. “Kami ingin lahan dibersihkan dulu untuk percontohan ke rekanan kerjasama agar perusahaan tidak merugi, baru dibersihkan 12,5 hektar,” katanya singkat. Ia selalu didampingi sejumlah rekan kuasa hukumnya, tapi sangat irit bicara.

menarik dibaca : Konflik Lahan Petani dan TNI di Urutsewu Berlarut

 

Mediasi oleh kepolisian pada 3 Oktober 2019 ini tak memberikan penjelasan detail dari investor soal rencana pembangunannya. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Mediasi Kepolisian

Konflik ini tak terhindari karena dari beberapa kali mediasi, perusahaan hanya diwakili kuasa hukumnya, M. Syawal dan rekannya. Mereka tidak bisa memastikan dan merespon dengan sejelasnya apa rencana warga di lokasi HGB itu. “Apa program pembangunannya, bentuknya apa perlu penjelasan detail, kami perlu tahu. Tapi kok sudah perabasan,” tanya Kelian Dinas Banjar Selasih, Wayan Giana.

Selama 23 tahun ditelantarkan, warga juga mengaku ada janji-janji tak tertulis yang terus dikonfirmasi. Misalnya warga penggarap akan direlokasi oleh perusahaan dan dibuatkan tempat tinggal di lokasi lain jika mereka membangun. Janji tenaga kerja lokal, kalau ada kerusakan jalan dan tanaman akan diganti rugi. Tanah yang tidak kena bangunan akan dibuatkan persawahan dan tetap digarap petani sekitar.

Made Sunarta, warga keturunan petani penggarap sejak era kerajaan di Gianyar ini mengatakan tanah yang kini diklaim diakuasai investor adalah milik Puri Payangan yang sudah diberikan ke warga untuk menggarap secara turun temurun. Investor melakukan transaksi dengan pihak Puri tanpa diketahui banyak warga. Ada juga tanah milik pribadi yang sudah dijual ke perusahaan. Tahun 1993, ia mengetahui investor hendak membangun lapangan golf terbaik di Asia.

“Beban kami besar, harus menggarap tanah untuk penghasilan, untuk beribadah, ada 4 pura besar di lahan itu,” paparnya. Jika warga tak punya tanah, sebagai umat Hindu di Bali menurutnya mustahil karena ada kewajiban pada leluhur dan ayahan (kewajiban mengurus) pura. Ia berharap perabasan dihentikan sampai semua jelas karena pohon pisang itu sangat bernilai.

Kapolsek Payangan AKP I Gede Sudiatmaja yang juga memfasilitasi mediasi pada 3 Oktober minta perusahaan menanggapi dalam bentuk surat agar tidak menggantung. “Kami menengahi. Kegiatan PT tak bisa dihentikan di tanah miliknya nanti rumit lagi masalahnya, masuk perkara hukum. Jaga hati dan sikap kita,” pintanya.

baca juga : Berkonflik dengan PTPN, Koalisi dan Warga Enrekang Lapor Ombudsman

 

Sejumlah Polwan berjaga di lokasi konflik Dusun Selasih, Desa Puhu, Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali pada 24 November. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Gianyar yang diwakili Made Ambara Jaya menjelaskan jika kategori tanah telantar, bisa dimohonkan jadi milik warga dengan skema Reforma Agraria. “Tak bisa serta merta dimohonkan warga. Perlu prosedur, peringatan 1-3, sampai gelar perkara, apakah jadi objek reforma agraria. Tanah cadangan untuk negara, bisa pengembangan pangan, pertahanan, kehutanan untuk petani penggarap,” jelasnya.

Namun tanah seluas 103 hektar milik PT terdiri 14 sertifikat HGB ini masih berlaku. Total sekitar 144 hektar yang akan dialihfungsikan. Ambara menjelaskan, apabila HGB akan berakhir, 2 tahun sebelum mati bisa diperpanjang 20 tahun. Habisnya sekitar 2027-2031. Menurutnya tujuan pemerintah bukan mengambil tanah dan mendistribusikan. Tapi segera dimanfaatkan tanahnya agar tak berlarut. “Segera dipaparkan mau dibangun apa,” tambah Ambara.

Sementara itu KPA Wilayah Bali merilis lokasi tanah sengketa ini telah diusulkan kepada Presiden c.q. Kementerian Agraria sebagai objek Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) untuk merealisasikan Perpres No.86/2018 tentang Reforma Agraria.

 

Exit mobile version