Mongabay.co.id

Sentra Daun Pisang di Pusaran Konflik Agraria [2]

 

Sejauh mata memandang di Dusun Selasih adalah pisang batu. Buahnya tidak bernilai ekonomis, digunakan pakan ternak. Tapi bagian daunnya yang bernilai tinggi, petani Selasih memasok daun pisang ke pasar-pasar tradisional sampai perkotaan.

Untuk bahan pangan adalah jantung pisang dan batangnya. Jantung pisang disayur gulai sementara batang pisang batu adalah bakan baku jukut ares, jenis sayur tradisional di Bali dengan bumbu genep (lengkap). Sayuran pelengkap lauk pauk saat melaksanakan ritual, menemani lawar, sate lilit, dan betutu. Gedebong atau batang pisang ini juga sering jadi pakan ternak, karena persediaan melimpah.

Dari peta rencana tata ruang wilayah (RTRW) Provinsi Bali terakhir, kawasan pertanian produktif ini sudah dialokasikan jadi kawasan pariwisata.Tetangga desa Selasih adalah Ubud, kampung internasional yang terkenal dengan galeri seni, hotel dan restoran mewah, dan lokasi yoga.

Selain pisang batu, ada juga lahan pertanian kering seperti jeruk, cokelat, kelapa, durian, dan lainnya. Sementara pertanian basah atau sawah berisi padi. Sumber air yang cukup melimpah dari bebukitan yang mengelilingi Selasih mengairi persawahan.

baca : Aksi Petani Pisang Mempertahankan Lahan Garapannya [1]

 

Sejumlah Polwan berjaga di lokasi konflik Dusun Selasih, Desa Puhu, Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali pada 24 November. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

I Made Sudiantara dibantu I Made Sutama, dua warga menceritakan profil kampung mereka, Dusun Selasih, Desa Puhu, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali. Dikisahkan, leluhur mereka diperintahkan oleh raja yang berkuasa saat itu untuk membuka hutan untuk lahan pertanian. Setelah lahan pertanian siap ditanam, lahan dimiliki oleh puri (sebutan generasi raja atau rumah mereka).

Rakyat para pembuka hutan diberikan mengelola lahan dengan syarat berkewajiban ngayah (membayar upeti).Tapi ada tanah dari puri yang statusnya tanah adat, dimana pengelolaannya diberikan kepada masyarakat yang jadi kepala adat, seperti laba pura (tanah pura), tanah kuburan, tegak balai banjar (tanah untuk kepentingan banjar).

Hal ini berlangsung sampai sekitar 1960-an, pemerintah Indonesia melakukan reformasi agraria, masyarakat mendapatkan jatah tanah redistribusi sekitar 1 hektar setiap kepala keluarga. Status kepemilikan tanah diyakini berubah untuk penggarap, namun sebagian besar petani belum mengurus surat-surat kepemilikannya, sampai datangnya investor yang membeli tanah itu dari puri.

Inilah cikal bakal konfil agraria yang berlangsung sejak 1990-an, ketika peralihan diformilkan sehingga investor PT. Ubud Resort Duta Development (URDD) mengantongi Hak Guna Bangunan (HGB).

Perusahaan sudah memasang plang besar di area yang diklaimnya. Luas lahan yang hendak dijadikan lapongan golf, resor, dan fasilitas wisata lainnya ini lebih dari setengah luas lahan dusun Selasih yang sekitar 300 hektar.

baca juga : Ketika Presiden Perintahkan Penyelesaian Konflik Lahan Termasuk Dalam Konsesi

 

Kebun pisang batu di Dusun Selasih,Desa Puhu, Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali yang memberikan penghasilan bagi warga. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dalam sejumlah pertemuan dengan kuasa hukum investor, warga selalu menyampaikan keraguan atas status tanah dan kerisauan jika sudah tak bisa bertani. Luas areal lahan pertanian dan perumahan yang dimiliki dan diusahakan oleh warga belum pasti karena beralih kepemilikan dan ketidakjelasan status.

“Sejak awal diprotes masyarakat Selasih. Dengan tekanan dengan mencari dalih melemahkan petani Selasih ini sehingga rakyat banyak dipanggil aparat termasuk saya dipanggil,” ujar Sudiantara bergetar saat proses mediasi terakhir, Minggu (24/11/2019), sehari setelah aksi protes warga menghadang alat berat untuk meratakan kebun. Ia pernah digugat ke pengadilan karena menggarap tanah PT.

Demikian juga Wayan Purnayasa, ia bingung karena tidak tahu sebagian tanahnya disebut sudah dijual kakaknya dan kini sudah terpasang plang PT. “Prosesnya bagaimana saya tidak tahu,” sesalnya.

I Nyoman Parta, anggota DPR yang hadir saat mediasi dengan kuasa hukum PT mengatakan jika warga hendak menggugat status tanah harus ke pengadilan. Jika sedang dalam sengketa maka status quo dan tidak boleh ada upaya pembangunan di area konflik.

Wayan Kariasa, warga lain mengatakan sudah mengajukan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Presiden Joko Widodo menempatkan Reforma Agraria sebagai prioritas nasional yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

baca : Konflik dengan Perusahaan Perkebunan Kayu, Warga Sihaporas Lapor Komnas HAM

 

Sejumlah petani perempuan membuka baju menghadang bulldozer yang akan meratakan tanah lahan pertanian pisang Dusun Selasih, Desa Puhu, Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali pada 23 November 2019. Foto: arsip SPS/Mongabay Indonesia

 

Reforma Agraria

Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres No.86/2018 tentang Reforma Agraria. Solusi Rongiyati dalam laman Puslit DPR menyatakan Perpres tersebut merupakan komitmen pemerintah untuk melakukan penataan aset dan akses agraria yang telah diamanatkan dalam TAP MPR No.IX/MPR/2001 dan Undang-Undang Pokok Agraria. Melalui analisis terhadap urgensi dan pengaturan reforma agraria dapat disimpulkan bahwa reforma agraria dibutuhkan untuk menata kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, serta penanganan sengketa dan konflik agraria sebagai instrumen untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Namun, substansi Perpres Reforma Agraria lebih menekankan pada aspek penataan aset dan akses pertanahan dengan melakukan reditribusi tanah, legalisasi tanah, dan pemberdayaan masyarakat dibandingkan aspek penanganan sengketa dan konflik agraria sebagai sumber ketimpangan kepemilikan tanah. DPR RI perlu mengawal pelaksanaan Reforma Agraria agar sesuai dengan tujuannya.

Wayan Suardana, salah satu advokat dan aktivis lingkungan di Bali berpandangan Perpres ini menguatkan Peraturan Pemerintah (PP) No.11/2010 terkait penertiban tanah terlantar. Bahwa tanah yang dikuasai termasuk HGB yang tidak dipergunakan sebagaimana mestinya setelah tiga tahun dapat ditetapkan sebagai tanah terlantar. Konsekuensinya, tanah diambil negara lalu didistribusi pada rakyat. “Pada titik ini distribusi tanah sejalan dengan Perpres. Jadi tanah itu secara normatif mestinya tanah terlantar dan bisa jadi tanah obyek reforma agraria,” urainya soal status tanah di Selasih, diwawancara pada Kamis (28/11/2019).

Aturan ini mengatur perusahaan yang memiliki HGB dan HGU namun tidak dimanfaatkan fungsi ijinnya. Dalam 3 tahun ada proses penelitian. “Selasih belum ditetapkan tanah telantar, tapi terkualifikasi,” jelasnya. Ketika HGB belum dimanfaatkan dan diambil negara, bisa digunakan untuk rakyat. Proses ini harus diajukan ke pemerintah oleh warga. Masalahnya, banyak SK Redistribusi ini tidak disertifikatkan, pipil dibawa puri, dan lainnya, padahal tinggal didaftarkan bakal sertifikat. Risikonya, tanah yang tak diurus warga ini rentan diambil alih.

Pada 1990-an, sejumlah warga Selasih mengatakan investor akan membangun lapangan golf. Area olahraga rekreasi ini membutuhkan air yang banyak. Pada tahun itu, banyak investor yang membuat lapangan golf di Bali.

perlu dibaca : Konflik Lahan Petani dan TNI di Urutsewu Berlarut

 

Suasana mediasi warga petani penggarap dan perwakilan investor pada 24 di Selasih, Desa Puhu, Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Roberto Hutabarat, aktivis yang menulis sejumlah konflik agraria dalam artikel ulasannya menyebut lokasi tanah sengketa ini telah diusulkan kepada Presiden c.q. Kementerian Agraria sebagai objek Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) untuk merealisasikan Perpres No.86/2018 tentang Reforma Agraria.

Dari data KPA Wilayah Bali terdapat konflik agraria di tiga kabupaten yaitu Klungkung, Buleleng dan Gianyar. Konflik-konflik agraria itu sudah terjadi sangat lama, antara 15 sampai 30 tahun.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengusulkan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). LPRA yang diinisiasi dan dibangun KPA sudah diserahkan kepada pemerintah.

Pada saat acara Global Land Forum di Bandung, 24 September 2018, KPA menyerahkan 462 objek LPRA seluas total 668.109 Hektar. Luas itu meliputi 148.286 rumah tangga petani di 98 kabupaten/kota, 20 provinsi, termasuk Bali. Potensi objek reforma agraria yang dapat ditindaklanjuti oleh segenap pemerintah provinsi dan kabupaten di Bali adalah seluas 997,01 Hektar. Mereka tersebar Buleleng, Gianyar dan Klungkung.

Koordinator KPA Wilayah Bali disebut telah menyerahkan data LPRA di Provinsi Bali kepada Kepala BPN Provinsi Bali seluas 997,01 hektare. Di dalamnya terdapat 1.465 KK penggarap di enam lokasi. Lima lokasi non-hutan seluas 914 hektar, dengan jumlah penggarap 1.358 KK, dan satu lokasi dalam kawasan hutan seluas 83,01 hektar, dengan jumlah penggarap 107 KK.

Konflik atas Pembebasan Tanah di Kalangan Masyarakat Desa Adat Selasih (Suatu Kajian Ketahanan Nasional) oleh Wayan Landrawan, Hari Poerwanto, Suyitno dari Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (Sosihumanika, Mei 2001) menyimpulkan saat itu konfliknya belum sampai kekerasan fisik. Saat itu tanah yang berhasil dibebaskan 94,45 hektar, 66% milik warga dari luar desa adat Selasih. Tanah yang pada mulanya berharga Rp6000-9000/m2, setelah keluar izin likasi jadi Rp20.000-25.000/m2.

Dengan adanya pembebasan tanah dan rencana pembangunan lapangan golf, ada sebagian warga mendapat keuntungan ekonomis dan sebagian lagi sebaliknya. Pemantiknya status tanah yang kurang jelas, perbedaan nilai tanah berkaitan dengan hak milik (guna kaya), dan tanah adat. Sebagian memandang tanah sebagai aset atau modal dalam arti ekonomis, di sisi lain memandang tanah terkait waris dan hal-hal yang bersifat transendental. Disimpulkan, PT URDD membebasakan tanah untuk lapangan golf merupakan pemicu dan berkembangnya konflik ditambah faktor internal dan eksternal desa.

 

Exit mobile version