Mongabay.co.id

Bengkulu Tidak Ingin Salah Arah Kembangkan Ekowisata

 

 

Topografi alam Bengkulu memang unik. Bagian timurnya merupakan pegunungan, perbukitan, dan lembah. Kawasan ini bagian dari bentang Bukit Barisan yang memanjang dari ujung utara Sumatera [Aceh] hingga ujung selatan Sumatera [Lampung]. Sementara bagian barat Bengkulu adalah garis pantai yang langsung menghadap Samudera Hindia, dilengkapi pulau kecil dan terluar, yakni Kepulauan Enggano.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA]Bengkulu, Donal Hutasait mengatakan, dari topografi tersebut, Bengkulu memiliki potensi wisata alam luar biasa beserta flora dan fauna. Mulai gajah sumatera [Elephas maximus sumatrensis], bunga rafflesia [Rafflesia sp], bunga bangkai [Amorphophallus titanum], hingga air terjun, hutan mangrove, pantai, dan terumbu karang.

“Potensi itu baiknya dikembangkan dengan pendekatan ekowisata,” jelasnya pada kegiatan “Peningkatan Kapasitas Forum Peduli Konservasi Se-Provinsi Bengkulu” di Kantor BKSDA Bengkulu, akhir November 2019.

Baca: Bengkulu Memang Rumah Besar Rafflesia

 

Keindahanan TWA Bukit Kaba yang diharapkan bisa menjadi tujuan ekowisata di Bengkulu. Foto: BKSDA Bengkulu.

 

Donal menegaskan BKSDA Bengkulu ingin membuat langkah pasti. Salah satunya, mengajak kalaborasi masyarakat di sekitar wilayah konservasi beserta komunitas-komunitas yang ada.

“Forum peduli konservasi telah terbentuk Desember 2018. Saatnya kita majukan ekowisata di provinsi ini,” ajaknya.

Adapun yang tergabung dalam Forum Peduli Konservasi sekitar 20 kelompok. Dari Kelompok Peduli Puspa Langka [KPPL] Bengkulu, KPPL Bengkulu Utara, KPPL Bengkulu Tengah, Komunitas Mangrove Bengkulu, Komunitas Mangrove Sumber Jaya, Wahana Rimbawan [Warisan], Kelompok Perempuan Peduli Situs Warisan Dunia [KPPSWD], Yayasan Latun, Green Generation, Tiger Heart Bengkulu, Kader Konservasi Rejang Lebong, Pelestari Penyu Alun Utara, hingga Kelompok Pelestari Penyu Pantai Sekube [KPPPS].

Baca: Sekolah di Bengkulu Mulai Pakai Energi Surya

 

TWA Bukit Kaba yang akan dimaksimalkan potensinya sebagai tujuan ekowisata. Foto: BKSDA Bengkulu

 

Kunci ekowisata

Pegiat ekowisata Taman Nasional Baluran, Jawa Timur, Muhammad Nurdin Razak, yang hadir berbagi pengalaman mengatakan, kunci ekowisata adalah perjalanan yang mengandalkan kekayaan alam dari keragaman flora dan fauna, hingga keindahan bentang alam.

Namun begitu, pengunjung tetap bertanggung jawab. “Kekuatan ekowisata itu tetap pada konservasi, jadi bukan hanya datang melihat alam dan kebudayaan penduduk setempat. Tapi, kita ikut terlibat dalam merawat, menjaga dan melestarikan lingkungan,” kata lelaki yang berhasil mendampingi masyarakat sekitar Baluran, khususnya Desa Wonorejo menjadi tujuan wisata asing.

Ekowisata bukan seperti wisata alam yang bersifat mass tourism, namun mengggunakan pendekatan small tourism. Mass tourism menurut Nurdin sangat tidak ramah untuk kelestarian alam, bahkan akan berdampak meledaknya jumlah sampah hingga merusak kawasan konservasi.

“Penekanananya pada kualitas, bukan kuantitas,” jelasnya.

Baca juga: Tutupan Hutan Berkurang, Bengkulu Harus Fokus Perbaiki Lingkungan

 

Keindahanan TWA Bukit Kaba yang diharapkan menarik kunjungan wisatawan. Foto: BKSDA Bengkulu

 

Penulis Buku Ekowisata Manajemen Kawasan Konservasi itu juga memberikan bocoran small tourism. Dia menyarankan, jangan menghitung jumlah pengunjung per kepala, namun dihitung sesuai nilai. “Karena ekowisata tidak dijual murah, tidak menjual produk, yang konsep.”

Dia mencontohkan Desa Wonorejo, yang masyarakat setempat menjadikan rumahnya homestay, disewakan seharga hotel bintang empat. Untuk atraksi, ada paket melihat macan tutul di Baluran dengan harga Rp2,6 juta.

“Peserta maksimal dua orang,” tuturnya.

Nurdin mengatakan, pengelolaan kawasan konservasi harus melibatkan dan memberi manfaat pada masyarakat setempat, dari sosial, budaya, hingga ekonomi. Kegiatan di Baluran bisa dicontoh di Bengkulu, terutama desa-desa penyangga kawasan konservasi.

Namun, menyiapkan desa-desa penyangga bukan pekerjaan mudah. “Desa harus memiliki kelembagaan [manajemen], standar operasional prosedur [SOP], product knowledge, dan kompetensi,” dia menyarankan.

Ketika ada desa yang berkeinginan menjadikan tujuan ekowisata, tak perlu membangun fasilitas mewah, dari jalan, penginapan, bahkan makanan. Sesuai dengan identitas alamiah saja, orisil, unik, tanpa perlu berubah atau meniru tempat lain.

“Bahkan dengan infrastruktur mewah, akan mengancam dan merusak kegiatan pelestarian, misalnya penebangan hutan untuk membuat jalan, hingga penginapan. Roh ekowisata adalah melestarikan alam, berbagi, dan kolaborasi,” jelasnya.

 

Rafflesia arnoldii merupakan Puspa Langka Nasional yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI No. 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Kolaborasi mengembangkan TWA

Pengendali Ekosistem Hutan [PEH] Muda BKSDA Bengkulu, Eka Sofyan, menjelaskan pihaknya termotivasi untuk memaksimalkan kerja bareng dengan masyarakat dan komunitas untuk mengembangkan ekowisata.

Eka mengakui tugas BKSDA Bengkulu memang banyak, dari data yang mereka miliki, balai konservasi itu harus mengelola 38 kawasan: 26 cagar alam, 9 taman wisata alam, 2 taman buru, dan 1 kawasan pelestarian alam.

“Kami akan fokus mengembangkan sembilan taman wisata alam untuk ekowisata,” kata dia.

Sembilan taman wisata alam [TWA] itu adalah TWA Mukomuko, TWA Danau Dusun Besar, TWA Pantai Panjang dan Pulau Baai, TWA Air Hitam, TWA Way Hawang, TWA Lubuk Tapi Kayu Ajaran, TWA Bukit Kaba, TWA Danau Tes, dan TWA Seblat.

“Yang sudah berkolaborasi dengan masyarakat baru TWA Bukit Kaba, tepatnya dengan Bumdes di sana. Kami akan memaksimalkan potensi dengan semangat kolaborasi,” ujarnya.

Koordinator Forum Komunitas Peduli Konservasi, Sofian Rafflesia, menyambut baik kolaborasi ini. Agenda kerja terdekat yang akan dilakukan adalah mewujudkan portal forum sebagai sarana informasi berbasis digital dan online.

Selanjutnya, kemah konservasi. “Tujuannya meningkatkan kapasitas SDM, lebih dekat dengan alam, dan lebih mengenal konsep dan bentuk konservasi berbasisi ekowisata.”

Pembina Forum Komunitas Peduli Konservasi, Agus Susatya, mengatakan kolaborasi sangat penting karena selama ini komunitas dan pegiat lingkungan jalan sendiri-sendiri. “Membangun bersama pastinya lebih efektif,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version