Mongabay.co.id

Konflik Manusia dengan Harimau, Harmoni Kehidupan yang Perlahan Hilang

Harimau sumatera. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

 

Menjelang akhir 2019, kawanan harimau sumatera keluar dari kantongnya, di Sumatera Selatan [Sumsel]. Mereka masuk perkebunan masyarakat dan berkonflik dengan manusia.

Terakhir, seorang petani kopi bernama Mustadi [52], warga Desa Fajarbulan, Kecamatan Semendo Darat, Kabupaten Muaraenim, Sumsel, tewas diterkam harimau, Kamis [12/12/2019] malam. Peristiwa terjadi di kebun di Dusun Rekimai yang merupakan kawasan hutan lindung, perbatasan Kabupaten Lahat dan Muaraenim. Sebelumnya, dua petani warga Kabupaten Lahat, tewas diterkam harimau.

Berdasarkan keterangan sejumlah warga, harimau yang berkonflik dengan manusia ini bukan satu individu, tapi kawanan. Penuturan enam petani di Desa Tebat Benawa, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagaralam, Sumsel, mereka terjebak semalaman di pondok kebunnya, Jumat [06/12/2019]. Mereka melihat lebih satu individu harimau, seperti dikutip dari CNN Indonesia. Di Riau, harimau juga menampakan diri di perbatasan Pekanbaru-Kampar.

Baca: Ada Konflik Manusia dengan Harimau di Sekitar Hutan Adat Mudek Ayek

 

Harimau sumatera. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Fenomena ini cukup mengejutkan banyak pihak. Hubungan harmonis antara manusia dengan harimau selama ratusan tahun di lanskap yang menghubungkan Gunung Dempo dengan Gunung Fatah [Muaraenim, Lahat dan Pagaralam dan Bengkulu] seakan hilang.

Meski begitu, sebenarnya femonena konflik manusia dengan kawanan harimau di Sumatera pernah terjadi beberapa puluh tahun lalu. Tepatnya di Desa Semidang, Bengkulu Tengah, Bengkulu.

Seperti dikutip dari okezone.com, peristiwa itu terjadi pada 1938. Saat itu nama Desa Semidang masih Dusun Karang Nanding. Awalnya, ada sejumlah individu harimau yang turun dari kantongnya di Bukit Jengi. Mereka memakan ternak warga.

Tidak terima hal tersebut, warga memburu harimau. Seekor harimau tewas dibunuh. Kepalanya digantung dekat pos keamanan dusun. Berulang kali dipukul seperti kentongan. Tak beberapa lama, warga mengetahui kawanan harimau berkumpul di Bukit Kabu, yang tak jauh dari Dusun Karang Nanding.

Tak lama kemudian harimau menyerang warga di dusun. Bukan hanya di Karang Nanding, juga warga di dusun lain seperti Dusun Tengah Padang, Gajah Mati, Karang Nanding Lama, Telarangan, Sekuang Karang Anyar, Tanah Liuk dan Katup Becap.

Ada warga yang tewas diserang harimau, baik di tengah kebun, di rumah, maupun di jalan. Waktunya pagi, siang, maupun malam. Selama empat tahun berkonflik dengan harimau, akhirnya masyarakat meninggalkan sembilan dusun tersebut, pindah ke Kota Bengkulu, Rejang Lebong, Kepahiang, dan lainnya.

Tahun 1980-an atau 35 tahun kemudian, ketika harimau tidak lagi terlihat di dusun, warga yang mengungsi kembali.

Baca: Habitat Rusak, Harimau Berkonflik dengan Manusia di Sumatera Selatan

 

Warga memperlihatkan foto harimau sumatera yang terlihat oleh masyarakat di Nagan Raya, Aceh, September 2018 lalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay Indonesia mewawancarai Hendra Gunawan, Profesor Riset dan pengajar di Institut Pertanian Bogor [IPB], coba mengurai fenomena tersebut, Sabtu [14/12/2019].

Hendra mengatakan, pertama, harimau adalah pemangsa puncak dalam rantai makanan ekosistem hutan tropis Sumatera. Pemangsa puncak memiliki wilayah jelajah paling luas di antara satwa lain, jauh lebih luas dari mangsanya.

“Sehingga jelajahnya bisa lintas kabupaten atau provinsi. Meski satwa tidak mengenal batas-batas wilayah, mereka hanya mengenal batas wilayah sendiri yaitu teritori,” kata Peneliti Ahli Utama Konservasi Keanekaragaman Hayati Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] ini.

Konsekuensinya, harimau membutuhkan hutan luas untuk mendukung keberlangsungan hidupnya. Kita mengenal dengan istilah lanskap hutan. Jika bentangannya masih yambung [kompak] maka harimau tidak akan bertemu jalan, permukiman atau perkebunan. Namun, saat ini hutan sudah banyak terfragmentasi [terpotong] jalan, pemukiman, pertanian, perkebunan, pertambangan, jaringan kanal irigasi, atau SUTET.

Akibatnya, harimau akan menyeberang jalan, melewati permukiman atau masuk perkebunan. Satwa liar pada umumnya memiliki jalur jelajah tetap dan rutin dijelajahi jika tidak ada gangguan,” lanjutnya.

Oleh karena itu, sebaiknya ketika kita melakukan pembangunan, usahakan seminimal mungkin memotong jalur jelajah satwa, agar tidak menimbulkan konflik di kemudian hari.

“Poin pentingnya, jika habitat harimau rusak, peluang terjadinya konflik dengan manusia terbuka.”

Kedua, dinamika populasi satwa pemangsa mengikuti mangsanya. Ketika mangsa sedikit maka pemangsa menurun populasinya, ketika populasi mangsa meningkat maka pemangsa juga meningkat.

“Beberapa jenis satwa, terutama herbivora [yang merupakan satwa mangsa] bereproduksi pada awal musim hujan. Karena, tanaman bersemi, bertunas dan tumbuh subur menjadi stok makanan dan sumber nutrisi untuk bayi-bayi satwa yang baru dilahirkan. Meningkatnya populasi satwa herbivora seperti rusa, kijang, kancil, primata, babi, di awal musim hujan merupakan sumber makanan yang menyenangkan bagi pemangsa seperti harimau. Masuk akal jika di awal musim hujan, harimau juga aktif menjelajah, memburu mangsa yang melimpah.”

Baca: Menjalankan Amanat Leluhur, Suku Basemah Jaga Hutan Adat Sumber Mata Air

 

Batua, harimau sumatera, saat ditemukan kena jerat kawat pemburu di kawasan hutan TNBBS, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, 2 Juli 2019. Foto: BKSDA Bengkulu-Lampung/WCS IP

 

Fenomena harimau menyerang manusia

Secara common sense, banyaknya konflik satwa dengan manusia mengindikasikan habitatnya terganggu. “Secara naluri, satwa pemangsa hanya memakan satwa yang secara alami disediakan alam. Perilaku menyimpang ketika ada satwa liar memangsa ternak atau manusia, bisa dilihat dari beberapa sudut pandang,” jelas Hendra.

Satwa menyerang manusia biasanya karena terpaksa untuk mempertahankan diri, merasa terancam, bukan untuk mencari kenyang. Kejadian seperti ini bisa terjadi ketika satwa kepergok manusia, atau manusia secara sengaja memburu, mengintimidasi, atau berkonfrontasi langsung dengan satwa.

“Satwa juga memiliki perilaku belajar [learning behavior], ketika memangsa ternak dianggapnya mudah dan enak, maka dia akan mengulangi, terutama ketika mangsa alaminya tidak ada lagi di alam.”

Dijelaskan Hendra, belum ada penelitian khusus tentang perilaku harimau memangsa manusia, termasuk menjelaskan motivasi dan penyebabnya.

“Satwa umum, hanya menggunakan nalurinya [instinct]. Ketika harimau memakan manusia, pastinya harimau itu menganggap manusia sebagai bagian dari menu mangsa. Bisa saja ketika penyadap getah karet [manusia] membungkuk menyadap pohon karet, tampak dari belakang harimau sebagai buruannya. Ini dugaan-dugaan yang berkembang. Secara alami harimau menangkap mangsa dari belakang dan menerkam atau menggigit bagian mematikan yaitu tengkuk, sehingga mangsa tidak sempat melakukan perlawanan, langsung tewas.”

Baca: Turunnya Harimau Sumatera dari Gunung Dempo Adalah Peringatan, Bukan Ancaman!

 

Harimau sumatera yang statusnya Kritis. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Meminimalisir konflik

Apa yang harus dilakukan guna mencegah fenomena konflik manusia dengan harimau?

“Yang harus dilakukan pemerintah antara lain mencegah kerusakan hutan semakin parah. Caranya, melalui penataan ruang yang bijak dan ramah konservasi. Misalnya ketika membangun jalan yang memotong hutan, usahakan tidak merusak jalur habitat satwa seperti membuat jalan layang di atas kanopi hutan atau terowongan. Atau menyediakan koridor penyeberangan satwa.”

Upaya ini seperti yang direncanakan dalam pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera yang menghubungkan Pekanbaru-Dumai sepanjang 131 kilometer, yang melintasi habitat gajah sumatera.

Dikutip dari Trubus, proyek ini akan membangun lima jalur gajah dengan membuat underpass di jalan tol tersebut.

Baca juga: Catatan Akhir Tahun: Melindungi Harimau Sumatera Harus Ada Strategi Komunikasi 

 

Jalan tambang yang telah merusak kelestarian hutan Beutong dan memutus jalur jelajah satwa. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Nasib harimau yang berkonflik

Keluarnya kelompok harimau dari habitatnya, sebenarnya bukan hanya mengancam jiwa manusia, tapi juga harimau.

“Semua orang tahu jika harimau itu satwa yang tidak mudah berkonflik dengan manusia. Konflik terjadi jika ada sesuatu yang menyebabkan mereka sangat terganggu,” kata Muklis, pegiat budaya tradisi dari Yayasan Alam Melayu Sriwijaya [Malaya], kepada Mongabay Indonesia, Jumat [13/12/2019].

Kemungkinan besar, kata Muklis, kawanan harimau sumatera di Sumsel dan Riau keluar dari kantongnya karena ada perburuan atau pembunuhan terhadap induk dan anak-anaknya. Atau juga, sumber makanannya habis.

Persoalannya bukan itu saja. “Yang lebih mencemaskan adalah ketika manusia memandang harimau sebagai musuh karena kehadirannya di sekitar lingkungan manusia. Sebagai musuh yang dinilai meneror kehidupan manusia, bukan tidak mungkin ada sekelompok manusia yang akan melakukan serangan terhadap harimau. Bukankah manusia memiliki banyak akal dan alat pembunuh dibandingkan harimau,” kata Muklis.

Apa yang harus dilakukan?

Pertama, masyarakat harus dihimbau agar tidak memiliki keinginan membunuh harimau. Hentikan aktivitas seperti pertanian perkebunan yang diyakini sebagai “rumah” harimau. Jika masyarakat melakukan “balas dendam” bukan tidak mungkin akan terjadi serangan kawanan harimau yang lebih besar.

Kedua, aparat yang mengamankan situasi konflik harimau dan manusia untuk tidak menggunakan peluru tajam, tapi menggunakan peluru bius jika terpaksa melumpuhkan harimau.

Ketiga, harimau yang sudah dilumpuhkan dan direhabilitasi sebaiknya kembali dilepasliarkan di habitatnya. “Agar hutan rimba terjaga, jika tidak ada lagi yang ditakuti kemungkinan besar hutan akan mudah dirambah. Jika hutan rimba habis, hancurlah ekologi kita dan ujungnya peradaban kita pun runtuh,” kata Muklis.

 

Berbagai jenis dan ukuran jerat yang dipasang pemburu ini ditemukan di Kawasan Ekosistem Leuser. Sasarannya harimau, gajah, dan rusa. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Seperti diberitakan Mongabay Indonesia pada 2014, kawasan hutan lindung di sekitar Gunung Dempo, khususnya di Bukit Dingin, sebagai kantong harimau sumatera seluas 28 ribu hektar, mengalami kerusakan ribuan hektar akibat perambahan lahan.

Perambahan ini salah satunya berupa apenambangan emas tradisional. Masyarakat mendapat informasi terkait kandungan emas di sekitar hutan lindung tersebut, setelah sembilan tenga ahli penambangan emas dari Jepang melakukan penelitian di Bukit Kayu Manis, Kelurahan Ujanmas, Muarasiban dan Bumiagung, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagaralam.

Terkait harimau yang dilepasliarkan setelah direhabilitasi, kata Hendra Gunawan, harimau [terutama jantan] adalah karnivora yang memiliki sifat “territorial.” Sehingga, ketika ada harimau tertangkap karena keluar hutan, tidak serta merta bisa dilepakan ke lokasi asalnya.

Kalau dia keluar karena kalah berebut wilayah dengan jantan lain, maka tidak bisa dikembalikan ke asalnya karena nanti akan diusir lagi oleh jantan penguasa. “Makanya harimau yang tertangkap itu perlu dipindah [translokasi] ke tempat lain yang sesuai dan masih ada ruang untuknya.”

Orang awam sering salah paham, semua satwa yang tertangkap harus dilepas begitu saja. Kalau satwa yang tidak bersifat teritorial, bisa saja, tetapi satwa teritorial seperti harimau dan karnivora umumnya tidak bisa begitu. “Perlu dikaji penyebab serta daya dukung dan daya tampung habitat karena menyangkut wilayah kekuasaan,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version