Mongabay.co.id

Bentang Alam Seblat, Pisau Bermata Dua Perlindungan Gajah Sumatera [Bagian 2]

Bentang Alam Seblat merupakan habitat alami 70-150 individu gajah sumatera. Foto: Instagram#saveajahseblat

 

 

Baca sebelumnya: Bentang Alam Seblat, Jalur yang Bebaskan Gajah Sumatera dari Kungkungan [Bagian 1]

**

 

Pemerintah Provinsi Bengkulu berjanji menjadikan Bentang Alam Seblat sebagai jalur penting gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus]. Komitmen ini dibuktikan dengan Keputusan Gubernur Nomor S.497.DLHK.2017 tentang Pembentukan Forum Kolaboratif Pembangunan Kawasan Ekosistem Esensial Koridor [KEE] Gajah Sumatera di Bentang Alam Seblat, dikeluarkan 22 Desember 2017.

“Kami akan menjaga gajah sumatera beserta habitatnya dari berbagai ancaman yang bisa membuat satwa langka ini menuju kepunahan,” jelas Gubernur Bengkulu melalui Asisten Perekonomian dan Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah, Yuliswani saat peresmian Forum KEE Koridor Gajah Sumatera di Bengkulu, Kamis [5/12/2019].

Baca: Tutupan Hutan Berkurang, Bengkulu Harus Fokus Perbaiki Lingkungan

 

Bentang Alam Seblat merupakan habitat alami 70-150 individu gajah sumatera. Foto: Instagram#savegajahseblat

 

Namun, dukungan itu bak pisau bermata dua. Sebab, satu tahun setelah dikeluarkannya Keputusan Gubernur tentang KEE Koridor Gajah Sumatera, tepatnya 8 Januari 2019, Gubernur Bengkulu mengeluarkan surat nomor 522/011/DLHK/2019 yang ditujukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Isinya, usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam rangka review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bengkulu seluas 53.037,68 hektar.

Salah satu kawasan yang diusulkan adalah TWA Seblat, tepatnya di Pusat Latihan Gajah [PLG] Seblat, untuk dijadikan hutan produksi konversi [HPK] seluas 246,00 hektar. Selain itu, mengalihfungsikan juga hutan yang menjadi koridor gajah sumatera di wilayah Bengkulu Utara dan Mukomuko seluas 4.600 hektar menjadi areal non-hutan. Paling aneh, kawasan yang sudah ditetapkan sebagai wilayah KEE Koridor Gajah Sumatera turut diusulkan menjadi non-hutan seluas 1.900 hektar.

“Ini menunjukkan tidak konsistennya Pemerintah Bengkulu dalam mengeluarkan kebijakan,” kata Sekretaris Forum KEE Koridor Gajah Sumatera Bentang Alam Seblat, Ali Akbar.

Bagi Ali, Pemerintah Provinsi Bengkulu seperti memberikan pisau bermata dua untuk kelestarian gajah sumatera. Satu sisi mendukung penyelamatan, sisi lain mempersilakan bahkan mendorong untuk mempercepat kepunahan gajah itu sendiri.

“Padahal, semangat pembentukan koridor untuk memberikan ruang gerak gajah sekaligus migrasi. Tentunya, ini bertolak belakang dengan usulan pelepasan hutan yang akan mempersempit areal jelajah,” kata dia.

Pembentukan koridor ini penting, karena hampir 80 persen wilayah jelajah gajah berada di luar kawasan konservasi. Koriodor dibuat sebagai penghubung wilayah teputus sehingga antar-kelompok gajah dapat bertemu. Di Bentang Alam Seblat, terdapat sekitar 70-150 individu gajah sumatera. “Ketika terjadi pertemuan diharapkan ada peluang rekolonisasi yang populasi lokalnya sedikit,” terangnya.

Baca: Pegiat Lingkungan: Perubahan Fungsi Hutan Bakal Menambah Kerusakan Bengkulu

 

Bentang Alam Seblat di Bengkulu, disahkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial [KEE] Koridor Gajah Sumatera. Foto: Chesa/Mapasta IAIN Bengkulu

 

Direktur Genesis Bengkulu, Uli Arta Siagian telah memperingatkan tumpang tindih kebijakan ini sejak Juni 2019. “Kami sudah membuat kajian tentang usulan pelepasan fungsi hutan tersebut. Nyatanya, usulan itu 80 persen telah digunakan perusahaan tambang dan perkebunan sawit,” ujarnya.

Uli mempertanyakan komitmen Pemerintah Bengkulu yang berjanji akan melestarikan keanekaragaman hayati, terutama gajah sumatera, yang telah dibuatkan koridornya. “Konservasi jangan kalah dengan kepentingan bisnis tambang dan sawit.”

Dia menyoroti dua kabupaten yang menjadi tuan rumah KEE. Pertama, Kabupaten Mukomuko. Dalam surat usulan pelepasan fungsi kawasan hutan yang dibuat gubernur itu, kabupaten ini mengusulkan melepas 12.417 hektar, namun kajian Genesis mencatat, 7.915 hektar telah dibebani izin hak guna usaha [HGU] tiga perusahaan. Sementara, beberapa titik kawasan hutan lain pernah dibebani izin usaha pertambangan [IUP].

Kedua, Bengkulu Utara yang mengusulkan pelepasan 22.671 hektar, namun sekitar 80 persen telah dibebani izin dua perusahaan pertambangan dan dua perusahaan HGU.

“Harusnya, jangan ada kebijakan bertentangan,” jelas dia.

Ancaman terbesar gajah sumatera datang karena rusaknya habitat. Mulai dari pembalakan liar, penyusutan hutan, pembunuhan akibat konflik dan perburuan. “Pemburu biasanya mengambil gading sedangkan pembukaan lahan untuk perusahaan perkebunan dan pertambangan,” terangnya.

 

Gajah sumatera di TWA Seblat, Bengkulu. Foto: Dodhy/Komunitas Peduli Puspa Langka Bengkulu

 

Kajian WWF-Indonesia menunjukkan, dalam 25 tahun terakhir, gajah sumatera telah kehilangan sekitar 70 persen habitatnya, serta populasinya menyusut hingga lebih dari separuh. Estimasi populasi tahun 2007 sekitar 2.400-2.800 individu, namun kini diperkirakan turun jauh.

Data Komunitas Konservasi Indonesia WARSI menunjukkan, tutupan hutan Bengkulu berkurang. Pada 1990, luas tutupan hutannya sekitar 1.009.209 hektar atau 50,4 persen dari luasan daratan Bengkulu yang mencapai 1.979.515 hektar. Namun kini, hanya 685.762 hektar.

Artinya, kurun waktu 25 tahun, ada penurunan sebesar 323.447 hektar. “Ini sama saja kehilangan 36 hektar perhari, atau bahkan 1,5 hektar per jam,” kata Direktur Warsi, Rudi Syaf beberapa waktu lalu kepada Mongabay Indonesia di Bengkulu.

 

Alih fungsi hutan tidak hanya menyebabkan terjadinya bencana banjir, longsor, hingga kekeringan, tetapi juga mengganggu ekosistem lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Jawaban

Kepada Mongabay Indonesia, pada Juni 2019, Gubernur Bengkulu mengatakan, usulan pelepasan fungsi hutan itu atas dasar gagasan bupati/wali kota di wilayah yang diusulkan. Surat tersebut menindaklanjuti usulan empat Bupati, yakni Kabupaten Mukomuko, Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, dan Seluma.

“Surat sudah dikirim atas permintaan bupati/wali kota,” jelas Rohidin melalui pesan WhatsApp.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Bengkulu, Sorjum Ahyar juga telah menjelaskan melalui keterangan tertulis, awal November 2019. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan pembangunan serta aspirasi masyarakat.

“Tentunya, berdasarkan optimalisasi distribusi fungsi, manfaat kawasan lestari dan berkelanjutan, serta luasan yang cukup dan sebaran proporsional,” terangnya.

Menurut dia, hal itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Usulan wilayah Bengkulu diintegrasikan oleh Gubernur Bengkulu dengan usulan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bengkulu.

Skema perubahan fungsi kawasan yang diusulkan itu melalui perubahan fungsi kawasan dan dengan cara tanah objek reforma agraria [TORA]. Berdasarkan hasil inventaris dan verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan di Bengkulu, telah diusulkan perubahan kawasan seluas 25.082,87 hektar melalui skema TORA.

“Tujuannya, mengurangi koflik tenurial terhadap penguasaan tanah dalam kawasan hutan,” tegas Sorjum. [Selesai]

 

 

Exit mobile version