Mongabay.co.id

Tanpa Musuh Alami, Tumbuhan Asing Invasif akan Sulit Diatasi

 

 

Pada Jambore Nasional, 9 Agustus 2017, sekitar 300-an penggerak konservasi, pelaku jasa wisata, dan masyarakat desa sekitar hutan Taman Nasional Baluran mencabuti pohon Vachellia nilotica yang sebelumnya dikenal dengan nama akasia duri [Acacia nilotica].

Awalnya, tumbuhan ini ditanam sekitar 1960-an untuk mencegah menjalarnya api ke kawasan Perhutani.

Tanpa ada musuh alami, jenis ini tumbuh subur dan menyebar, menaungi tumbuhan lain. Mendominasi, bahkan menginvasi padang penggembalaan banteng [Bos javanicus] dengan menekan pertumbuhan rumput dan pakan yang ada.

Vachellia nilotica merupakan tumbuhan asing dari daerah kering India. Asing bagi suatu spesies secara ekologi memiliki dua pengertian. Pertama, pindah ke lingkungan baru atau menjadi asing dengan lingkungannya, dan kedua, karena lingkungannya berubah.

Baca: Ki Hujan Menyebar Luas Ancam Tanaman Lain di Karst Maros

 

Tumbuhan Luffa cylindrica. Foto: Nani Rahayu

 

Diperkirakan, saat ini di Indonesia, terdapat lebih dari 2.809 jenis asing yang meliputi tumbuhan, hewan, bahkan mikroorganisme, berdasarkan “Buku Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia, 2014”. Khusus tumbuhan, yang sudah teridentifikasi sekitar 300-an jenis, sebagaimana dijelaskan dalam Strategi Nasional dan Arahan Rencana Aksi Pengelolaan Jenis Asing Invasif di Indonesia.

Apabila jenis-jenis asing tersebut tumbuh di lingkungan baru, termasuk semua daerah di Indonesia, meski habitatnya berbeda akan menyebabkan invasif. Termasuk jenis tumbuhan.

Tumbuhan invasif dapat melakukan polinasi sendiri tanpa bantuan penyerbuk, seperti jenis Cuscuta epithymum. Atau, memiliki dormansi biji hingga 10 tahun, seperti jenis tali putri Cuscuta indecora.

Karakteristik lainnya adalah pembiakan dan pertumbuhan yang sangat cepat, persebaran tinggi, dan dapat mempertahankan diri dengan berbagai jenis makanan dan kondisi lingkungan.

Jenis paling umum adalah eceng gondok [Eichhornia crassipes]. Awalnya, jenis ini diintroduksi dari Brazil pada 1886 untuk memperindah kolam Kebun Raya Bogor, sebagai tanaman hias dan keingintahuan ahli botani waktu itu. Kini, ia menjadi salah satu tumbuhan invasif yang merusak fungsi ekologis danau dan perairan di Indonesia.

Detritus eceng gondok yang mati akan tenggelam dan terakumulasi di dasar perairan sehingga menimbulkan pendangkalan, bahkan menjadi media tumbuh bagi tumbuhan invasif perairan lain. Eceng gondok termasuk 100 gulma paling berbahaya di dunia karena pertumbuhannya sangat cepat, dapat meningkat dua kali lipat dalam 6-18 hari.

Jenis tumbuhan lain sintrong [Crassocephalum crepidioides] yang tidak sengaja terbawa dari biji kopi dari Brazil, atau jenis kirinyuh [Chromolaena odorata] yang tidak sengaja masuk ke Sumatera kemudian menyebar di Indonesia melalui perdagangan produk pertanian.

Baca: Rawan Bawa Penyakit, Impor Benih Ancam Pangan Negeri

 

Dioscorea bulbifera di Suaka Margasatwa Pulau Rambut yang menjadi ancaman tumbuhan lain. Foto: Nani Rahayu

 

Peneliti tumbuhan invasif dari SEAMEO BIOTROP Soekisman Tjitrosoedirdjo menjelaskan, tumbuhan asing invasif di daerah sebaran aslinya, tidak menjadi masalah karena selalu mempunyai musuh alami. Ekosistem terbangun demikian dinamis dan secara geografis terisolasi dari ekosistem lain, misalnya ada batas lautan atau gunung.

“Ketika manusia mulai menjelajah dunia, bergerak dari satu tempat ke tempat lain, ada campur tangan manusia di sini. Tumbuhan yang dipindahkan, sengaja maupun tidak, kemudian tumbuh berlebihan tanpa musuh alami yang sebagian menjadi jenis asing invasif,” jelasnya.

Lalu, mengapa harus khawatir dengan tumbuhan asing invasif? Peneliti tumbuhan invasif, masih dari SEAMEO BIOTROP, Sri Sudarmiyati Tjitrosoedirdjo, mengatakan bila tumbuhan asing tumbuh berlebihan maka tumbuhan lokal kalah bersaing, bisa punah.

“Bila ekosistem didominansi tumbuhan asing, ekosistem itu rusak, tidak dapat menjaga integritasnya. Berdampak negatif pada ekologi, ekonomi, dan kesejahteraan manusia yang hidup dalam pengaruh ekosistem itu,” jelasnya.

Baca juga: Kepedulian Kita pada Pelestarian Pohon Masih Rendah?

 

Cuscuta epithymum pada inangnya. Foto: Buku Kementerian Pertanian_2017

 

Sri menambahkan, pemerintah telah meratifikasi Konvensi Keragaman Hayati dalam UU Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Convention on Biological Diversity [CBD]. Pemerintah Indonesia mendapat dana hibah dari Global Environment Facility [GEF] untuk membangun legislasi, guna mengimplementasikan uandang-undang tersebut.

Dengan dana hibah, KLHK mengeluarkan Peraturan Menteri LHK Nomor 94 Tahun 2016 tentang jenis invasif. Selain itu, beberapa peraturan turunan berupa surat keputusan Dirjen masih proses, misalnya analisis risiko guna menentukan urutan penanganan tumbuhan asing invasif.

“Pemerintah memang belum banyak memberi perhatian pada masalah ini, karena prioritas yang lebih rendah dibandingkan peningkatan produksi pertanian atau pengelolaan hutan,” lanjutnya.

Walaupun demikian, beberapa upaya preventif dilakukan, antara lain pada 2017, Bidang Keamanan Hayati Nabati, Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati, Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian mengeluarkan buku deskripsi dan visualisasi jenis asing invasif pada kelompok tumbuhan dan organisme yang berasosiasi dengan tumbuhan yang dilarang dan dicegah masuknya ke Indonesia.

Di antaranya Parthenium hysterosporus yang dapat merugikan kesehatan manusia dan hewan. Kontak dengan tumbuhan ini menyebabkan dermatitis di kulit.

Sri menambahkan, tidak saja pemerintah yang bekerja, masyarakat dapat berandil mengurangi tumbuhan invasif. “Jangan menanam, jangan memperdagangan, bergabunglah dengan komunitas pemberantas tumbuhan invasif,” tuturnya.

 

Bunga kecrut, asli Afrika, yang berkembang di Taman Nasional Bantimurung. Foto: Kamajaya Saghir/Mongabay Indonesia

 

Spesies asing di Pulau Burung

Di Kepulauan Seribu, tepatnya Suaka Margasatwa Pulau Rambut, teridentifikasi banyak jenis tumbuhan invasif. Meski terasing dari pulau utama, Pulau Jawa, ternyata pulau ini sangat rentan terhadap serangan tumbuhan invasif.

Staf Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jakarta, Nani Rahayu, menerangkan ada 23 spesies tumbuhan merambat invasif di Suaka Margasatwa Pulau Rambut dengan tingkat keinvasifan sangat tinggi [13.0%], sedang [8.7%], rendah [8.7%], dan diabaikan [69.6%].

“Umumnya, ekosistem pulau memiliki relung ekologi kosong atau tidak terisi karena jauh dari koloni populasinya di daratan. Kondisi ini memudahkan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya invasi jenis asing,” jelasnya.

Jenis tersebut adalah Abrus precatorius, Cardiospermum halicacabum, Cassytha filiformis, Dioscorea esculenta, Ipomoea pes-tigridis, Ipomoea triloba, Lantana camara, Luffa cylindrica, Melanthera biflora, Mikania micrantha, Momordica charantia, dan Passiflora foetida.

Tumbuhan merambat sangat cepat pertumbuhannya. Kelenturan di atas permukaan tanah memungkinkannya mengeksploitasi pohon dan meningkatkan kemampuannya mempertahankan diri sehingga menghambat pertumbuhan spesies lain. Juga, mampu berfotosintesis pada intensitas cahaya 0–100% sehingga dapat tumbuh di tempat terbuka dan di bawah naungan.

Nani menambahkan, ada langkah pengelolaan spesies invasif di Suaka Margasatwa Pulau Rambut. “Melalui analisa risiko serta pengelolaan dengan skala prioritas,” tandasnya.

 

Referensi:

Kementerian Pertanian. 2017. Deskripsi dan Visualisasi Jenis Asing Invasif [JAI]/Invasive Alien Species [IAS] Kelompok Tumbuhan dan Organisme yang Berasosiasi dengan Tumbuhan. Bidang Keamanan Hayati Nabati, Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati, Badan Karantina Pertanian.

KLHK. 2015. Strategi Nasional dan Arahan Rencana Aksi Pengelolaan Jenis Asing Invasif di Indonesia. Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.

Nuringtyas et al. 2018. Review: Spesies Asing Invasive dan Status SAI Indonesia. Laboratorium Biologi dan Konservasi, Sekolah Tinggi Perikanan.

 

 

Exit mobile version