Mongabay.co.id

Ini Tahapan Penting untuk Mendeteksi Praktik Perbudakan di Kapal Perikanan

 

Temuan Greenpeace Indonesia tentang dugaan praktik perbudakan pada kapal perikanan di sejumlah negara Asia Tenggara, salah satunya Indonesia, mendorong banyak pihak untuk terus meningkatkan kepeduliannya tentang masalah tersebut. Praktik terlarang itu, sebenarnya masih bisa dikenali oleh semua pihak yang terlibat dalam industri perikanan.

Menurut National Program Officer Counter Trafficking and Migration Unit – International Organization for Migration (IOM) Among Pundhi Resi, tanda-tanda akan ada praktik perbudakan dan perdagangan orang pada kapal perikanan, bisa dikenali dari sejak proses rekrutmen pekerja perikanan untuk posisi awak kapal perikanan (AKP)

“Elemen perdagangan orang di kapal ikan dapat dikenali dari proses perekutan dan penempatan, cara yang digunakan, kondisi kerja, dan kondisi hidup yang eksploitatif,” ungkap dia di Jakarta, dua pekan lalu.

baca : Praktik Perbudakan kepada Pekerja Perikanan dari Indonesia

 

Nelayan menurunkan hasil tangkapan dari kapal troll di pelabuhan Tegal, Jawa Tengah. Nelayan adalah salah satu mata pencaharian utama bagi orang yang tinggal di daerah Pesisir Utara Jawa. Foto : Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

Among Pundhi mengatakan, proses awal yang menjadi tahapan penting bagi kedua pihak tersebut, yakni pemilik kapal dan calon pekerja perikanan, juga menjadi tahapan yang paling rentan yang harus dilalui oleh pekerja perikanan. Oleh itu, perlu perhatian ekstra dari semua pelaku industri perikanan dan Pemerintah, agar upaya pencegahan praktik terlarang bisa tidak terjadi.

Bagi Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan, praktik terlarang yang bisa merugikan para pekerja perikanan itu, memang menjadi kasus yang sangat susah diungkap secara jelas. Salah satu sebabnya, karena masih banyaknya korban praktik perbudakan tersebut yang tidak mau mengungkap kejadiannya.

“Korban dan saksi masih enggan untuk memberikan pelaporan kepada pihak terkait, itu menjadi penyebab kenapa banyak kasus perdagangan orang sektor perikanan belum banyak terungkap,” ujarnya.

Agar kasus seperti praktik perdagangan orang dan atau perbudakan di atas kapal perikanan bisa terus berkurang dan bahkan berhenti, Abdi mendorong kepada seluruh korban untuk mengumpulkan keberaniannya dan melaporkan peristiwa yang sudah dialami di atas kapal kepada pihak berwajib.

Namun, untuk memunculkan keberanian, itu juga bukan menjadi hal yang mudah bagi korban. Salah satu cara agar keberanian itu bisa muncul pada diri korban, semua pihak harus bisa bekerja sama untuk membantu proses tersebut berjalan baik.

“Itu akan membantu upaya Pemerintah untuk mengurangi praktik kerja paksa dan perdagangan orang, terutama pada sektor perikanan,” jelasnya.

baca juga : Kenapa Praktik Perdagangan Manusia dan Perbudakan Belum Hilang dari Kapal Perikanan?

 

Nelayan menurunkan hasil tangkapan dari kapal troll di pelabuhan Tegal, Jawa Tengah. Nelayan adalah salah satu mata pencaharian utama bagi orang yang tinggal di daerah Pesisir Utara Jawa. Foto : Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

Keberanian

Suhufan mendorong munculnya keberanian dari para korban, karena dari hasil temuan DFW Indonesia, memang ketakutan untuk melapor kepada pihak berwajib yang dialami para korban, menjadi hal yang sulit untuk diubah. Terlebih, karena korban biasanya mendapatkan ancaman dari agen perekrut dan juga masih ada dokumen yang ditahan oleh mereka.

“Itu semakin kuat memicu korban untuk menutup kasus yang mereka alami dan enggan melaporkannya kepada pihak berwajib,” tegasnya.

Perlunya Pemerintah memberikan perhatian ekstra, karena Suhufan menilai kalau awak kapal perikanan adalah aset nasional dan karenanya mereka harus mendapatkan perlindungan penuh dari Pemerintah Indonesia dan juga dari pengusaha yang mengoperasikan kapal perikanan. Adapun, perlindungan yang dibutuhkan adalah ketenagakerjaan, kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan.

Di Indonesia, salah satu provinsi yang diketahui menjadi penyumbang jumlah pekerja perikanan yang besar bagi industri perikanan nasional ataupun internasional, adalah Jawa Tengah. Di Provinsi tersebut, banyak warga lokal yang memilih untuk menjadi pekerja perikanan pada kapal ikan Indonesia ataupun kapal ikan asing (KIA), karena tergoda iming-iming penghasilan yang besar.

Fasilitator DFW Indonesia Jawa Tengah Januar Triadi menjelaskan, bisnis perikanan memang masih menjadi salah satu sektor yang rentan atas praktik kerja paksa dan perdagangan orang. Praktik tersebut biasanya terindikasi karena ada penipuan, penahanan dokumen, dan pemanfaatan kondisi kerentanan yang dialami korban.

“Masyarakat sering abai dan tidak menyadari bahwa ada anggota keluarga yang menjadi korban kerja paksa dan perdagangan orang ketika bekerja di kapal penangkap ikan di dalam maupun luar negeri,” tuturnya.

Selain di Jawa Tengah, DFW Indonesia juga melakukan pendampingan kepada pekerja perikanan yang berprofesi sebagai AKP di Sulawesi Utara, khususnya di Kota Bitung. Di sana, bersama Yayasan Plan Internasional, DFW mengawal pembentukan Forum Awak Kapal Perikanan Bitung yang di dalamnya ada sejumlah kesepakatan bersama.

perlu dibaca : Perjuangan Negara untuk Lindungi Nelayan dan Pekerja Perikanan

 

Nelayan menurunkan hasil tangkapan dari kapal troll di pelabuhan Tegal, Jawa Tengah. Nelayan adalah salah satu mata pencaharian utama bagi orang yang tinggal di daerah Pesisir Utara Jawa. Foto : Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

Inisiator pembentukan forum Arnong Hiborang mengatakan, pembentukan forum dilatar belakangi munculnya kasus yang menimpa awak kapal perikanan dan belum ditangani dengan baik oleh Pemerintah. Sementara, kasus-kasus yang banyak muncul, setelah ditelusuri sebagian besar masuk dalam kasus kerja paksa dan perdagangan orang.

“Nantinya forum akan bekerja sama dengan Pemerintah untuk meningkatkan koordinasi dan memberikan edukasi kepada awak kapal perikanan dan juga perusahaan perikanan,” sebut dia.

Melalui forum yang sudah terbentuk, Arnon berharap semua pekerja perikanan bisa menyampaikan aspirasinya dan sekaligus mendapatkan informasi yang selama ini dibutuhkan oleh masing-masing. Dalam keseharian, forum juga akan menggandeng organisasi lokal untuk menjalankan program kerja dan memetakan kondisi terkini para awak kapal perikanan di Bitung.

 

Pemetaan

Sementara, Fasilitator DFW Indonesia untuk Bitung, Laode Hardiani mengungkapkan, merupakan forum bersama yang berfungsi untuk mengurangi dan mencegah terjadinya praktik kerja paksa dan perdagangan orang pada bisnis perikanan. Praktik tersebut, bisa terjadi pada kapal ikan dalam ataupun luar negeri.

Adapun, dari hasil assesmen yang dilakukan bersama DFW Indonesia dan Yayasan Plan Internasional, diketahui kalau Bitung menjadi salah satu kota di Indonesia tempat munculnya kasus yang menimpa pekerja perikanan. Sebut saja, kasus penipuan, penahanan dokumen kerja, paspor, dan kartu tanda penduduk (KTP), kemudian dipindahkan ke tengah laut.

“Ini indikasi perdagangan orang yang perlu ditelusuri oleh aparat penegak hukum,” kata dia.

baca juga : Nelayan, Profesi Mulia yang Masih Terabaikan

 

Ilustrasi. Nelayan saat membongkar ikan tongkol di kapal. Disaat ikan tongkol banyak, harga yang awalnya Rp18 ribu/kg bisa turun hingga Rp13-14 ribu/kg. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pernah berjanji, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memberikan perlindungan kepada awak kapal perikanan yang bekerja di atas kapal perikanan. Untuk itu, Negara akan terus memperbarui standar keamanan awak kapal perikanan untuk lebih baik lagi.

Salah satu upaya untuk meningkatkan standar keamanan itu, adalah dengan mengesahkan dan memberlakukan Peraturan Presiden No.18/2019 tentang Pengesahan International Convention on Standards of Training Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel, 1995 (Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Dinas Jaga Bagi Awak Kapal Penangkap Ikan, 1995).

Lahirnya Perpres tersebut, menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk menjaga keselamatan awak kapal perikanan yang bekerja di atas kapal perikanan. Perlindungan itu dimulai dari proses persiapan awak kapal untuk memiliki kemampuan bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh industri sektor kelautan dan perikanan.

Standar tersebut, mencakup standar nasional dan internasional yang dibutuhkan para AKP, sehingga semua bisa mendapatkan posisi dan pekerjaannya dengan benar, baik, dan tidak ada perlakuan tidak benar yang akan diterima oleh mereka saat sedang bekerja di atas kapal.

“Agar awak kapal bisa bekerja dengan baik, maka perlu juga penerapan 3D, yakni dirty, dangerous dan difficult. Selain itu juga akan diberikan pelatihan, ada juga di sini, ada di mana-mana dan macam-macam ada berapa puluh tempat itu,” ungkapnya.

Selain diberikan pelatihan, Luhut memastikan bahwa Pemerintah Indonesia juga tengah berusaha memperbaiki regulasi untuk mewujudkan standar keamanan yang tinggi bagi para AKP di atas kapal perikanan. Saat ini, sudah ada dua pilar yang selesai dan disahkan, yaitu Port State Measures Agreement to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing; dan Konvensi Standard on Training, Sertification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel (STCW-F).

Sementara, dua pilar lainnya saat ini masih sedang diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Konvensi Cape Town Agreement on Safety of Fishing Vessel; dan Konvensi ILO Convention No. 188 on Work in Fishing. Kedua pilar tersebut, saat ini terus dikebut pembahasannya dan diharapkan paling lambat pada akhir 2020 sudah bisa disahkan dan diberlakukan.

“Saya minta lebih cepat, kalau bisa tengah tahun depan (selesai),” tegas dia.

 

Exit mobile version