Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Lahan Konsesi di Sekitar Ibu Kota Baru Indonesia [Bagian 1]

Laut, pantai, dan hutan yang indah di Pulau Maratua, Kalimantan Timur. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Presiden Joko Widodo menyambangi lokasi Ibu Kota Negara [IKN] di Sepaku, Penajam Paser Utara [PPU] dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Selasa [17 Desember 2019]. Pada kesempatan itu, Jokowi menunjukkan titik lokasi inti yang akan menjadi Pusat Pemerintahan Negara Indonesia. Jokowi menegaskan, pertengahan 2020, pembangunan mega proyek IKN akan mulai dilaksanakan.

“Sudah diputuskan, luasan yang akan dipakai dan dicadangkan untuk kawasan ibu kota sebesar 256 ribu hektar. Kawasan intinya 56 ribu hektar dan kawasan pemerintahnya 5.600 hektar. Istana ada di mana belum tahu, nanti arsitek yang menentukan setelah desain gagasan diputuskan. Kita perkirakan pertengahan 2020 pembangunan infrastruktur sudah dimulai,” terang Jokowi.

Presiden juga menuturkan, kondisi geografis ibu kota baru berupa bukit-bukit dan menghadap ke teluk, akan memiliki akses jalan tol ke kota-kota di sekitarnya. Kawasan ini juga akan sangat hijau.

“Saya sudah perintahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membuat kebun bibit pada lahan kurang lebih 100 hektar. Dengan begitu, kawasan tersebut akan sangat hijau, penuh oksigen, tak ada polusi, dan tak ada limbah. Di dalamnya banyak orang berjalan kaki, naik sepeda, atau naik transportasi umum yang bebas emisi,” terangnya.

Terkait desain Ibu Kota Negara, Presiden mengatakan, gagasan “Nagara Rimba Nusa” telah terpilih. “Gagasannya tidak hanya baik, tapi juga punya pembeda dengan negara-negara lain. Juga mempertimbangkan lingkungan sekitar, seperti habitat bekantan, satwa dilindungi, yang menghuni hutan sekitar Teluk Balikpapan.”

Baca: Kajian Sebut Lahan Ibu Kota Negara Banyak di Konsesi, Untungkan Siapa?

 

Konsep Ibu Kota Negara Indonesia: Nagara Rimba Nusa. Sumber: Kementerian PUPR

 

Meski digadang bakal menjadi kawasan ibu kota hijau, namun pembangunan proyek ini mendatangkan sejumlah wacana tidak sedap. Tersiar kabar, ada tukar guling pembangunan IKN dengan elite politik. Tidak hanya itu saja, pembangunan ibu kota juga dinilai akan mendatangkan sejumlah bencana dan kerusakan lingkungan, serta mengancam keberlangsungan nasib masyarakat adat.

Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil, yang terdiri Jatam, Jatam Kaltim, Walhi, Walhi Kaltim, Forest Watch Indonesia, Pokja 30, Pokja Pesisir dan Nelayan dan Trend Asia, mempublikasikan laporan hasil penelitian tentang bisnis elite politik yang meraup keuntungan dari mega proyek ibu kota baru itu.

Puluhan nama disebut dalam laporan tersebut. Ada Sukanto Tanoto, Hashim Djojohadikusumo, Luhut Binsar Pandjaitan, Yusril Ihza Mahendra, Lim Hariyanto Wijaya Sarwono bersama istrinya Rita Indriawati. Ada pula nama Rheza Herwindo yang merupakan anak Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI. Thomas Aquinas Muliatna Djiwandono, bendahara umum Partai Gerindra yang juga keponakan Prabowo Subianto, dan banyak lagi.

Temuan penting lain, terdapat nama-nama para purnawirawan jenderal kepolisian maupun militer di berbagai perusahaan yang berada di kawasan IKN. Seperti Irjen Pol [Purn] Dody Sumantyawan Hadidojo Soedaryo, Mayjen [Purn] A Ibrahim Saleh dan lain-lain.

Baca: Resmi, Ibu Kota Indonesia Pindah ke Kalimantan Timur

 

Laut, karang, dan hutan yang indah di Pulau Maratua, Kalimantan Timur. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang, mengatakan proyek IKN adalah bukti penindasan, tidak ada kajian komprehensif dan referendum yang melibatkan masyarakat lokal. Namun, lebih pada pemanfaatan mencari keuntungan untuk elite politik dan pengusaha sebagai tukar guling dan kompensasi. “Tiga bulan kami melakukan riset, hasilnya IKN ini untuk siapa. Dugaan kami, IKN akan memberi keuntungan besar untuk pebisnis dan tokoh politik,” katanya.

Luas keseluruhan IKN mencapai 256 ribu hektar. Pada kajian laporan disebutkan luas IKN dapat dikategorikan melalui tiga ring: ring satu pusat pemerintahan, ring dua lokasi inti, dan ring tiga seluruh cakupan IKN dan cadangan.

Terdapat 26 [dua puluh enam] desa dan kelurahan di Kecamatan Sepaku, 23 [dua puluh tiga] desa dan kelurahan di Kecamatan Samboja, 15 [lima belas] desa dan kelurahan di Kecamatan Loa Kulu, serta 8 [delapan] desa dan kelurahan di Kecamatan Muara Jawa

Dari penelusuran Koalisi, kawasan yang akan diproyeksikan sebagai IKN tersebut, bukanlah ruang kosong. Terdapat 162 konsesi tambang, kehutanan, perkebunan sawit dan PLTU batubara di wilayah IKN, seluas 180.000 hektar, yang setara tiga kali luas DKI Jakarta. Itu juga belum termasuk 7 proyek properti di Kota Balikpapan.

“Kebijakan ini sangat menguntungkan para oligarki ekstraktif tambang dan pemilik lahan skala luas. Selain tukar guling dan kompensasi politik, biaya pembangunan yang digelontorkan negara mencapai 446 triliun Rupiah. Sumber pembiayaan tidak hanya dari pihak swasta tapi juga penjualan aset negara,” ungkap Rupang.

Baca: Korban Jiwa di Lubang Tambang, Masalah Besar Ibu Kota Baru Indonesia

 

Tambang batubara di Kalimantan Timur yang menyisakan berbagai persoalan lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Proyek

Selain elite politik nasional, muncul beberapa nama politisi lokal yang diduga menjadi bagian proyek IKN. Ada nama Redy Asmara, pemegang saham di PT. Kutai Permata Nusantara yang juga Ketua Nasdem Balikpapan. Ada pula Direktur PT. Adas Abadi, Quraish Ismail, kader PKB Kutai Kartanegara dan Direktur PT. Payogan Kutai Sejahtera [PKS], Ahmad Muabarak.

Dikonfirmasi melalui telepon, Ahmad Mubarak yang pernah tercatat sebagai politisi PAN Kaltim membantah adanya kedekatan khusus dengan Presiden Jokowi. Menurutnya, PT. PKS murni bisnis batubara yang berada pada koordinat inti IKN. “Tidak ada istilah tukar guling atau kompensasi politik, ini murni bisnis. Saham perusahaan diperjualbelikan, kami tangan keempat yang membeli dan kebetulan berada di wilayah IKN,” katanya, Senin [23/12/2019].

Dijelaskan Mubarak, PT. PKS hingga saat ini belum mendapat persetujuan pemanfaatan lahan bersama [PPLB] di titik koordinat yang akan ditambang. Sehingga, pihaknya belum mendapat keuntungan apapun. “Masih mengurus PPLB, jika terbit segera beroperasi,” sebutnya.

Politisi yang kini bergabung bersama Pastai Nasdem Kukar dan menjabat sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu itu mengungkapkan, sejak dulu nasib PT. PKS tidak pernah berada dalam kepemilikan tetap. Mubarak mengatakan, saham dibeli take over dari pemilik perusahaan lama, tanpa menyadari lokasinya di wilayah IKN. Namun, dia membenarkan jika lokasinya di Kabupaten PPU.

“Kami mendapatkan perusahaan awal 2018, waktu itu belum ditetapkan pemindahan ibu kota,” jelasnya.

Selain tiga nama di atas, ada pula Dayang Kartini, pemilik saham PT. Lembuswana Perkasa. Dayang Kartini merupakan ibunda mantan Bupati Kukar, Rita Widyasari yang harus berurusan dengan KPK lantaran terbukti bersalah menerima suap dan gratifikasi.

 

Banjir yang merendam Samarinda pertengahan Juni 2019, terjadi akibat rusaknya lingkungan. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Kaltim punya masalah besar

Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik [Fisipol] Universitas Mulawarman, Sri Murlianti, mengatakan pembangunan IKN merupakan mega proyek yang dibagi-bagi. Logika bisnis sangat terlihat jelas dalam penentuan Kalimantan Timur [Kaltim] sebagai IKN. “Presiden sendiri sudah menyatakan bagi-bagi proyek tak terelakkan. Istilahnya bisa apa saja, tetapi aroma bisnis sangat kental ketimbang logika sebagai simbol nation,” katanya.

Pada laporan Koalisi, lanjut dia, penyajian data sangat jelas dan akurat. Data investigasi itu menunjukkan jelas ada bagian dari politik akomodasi pasca-pemilu. “Tidak ada yang sepenuhnya baru dari proyek IKN ini, laporan itu menunjukkan dengan jelas pihak yang diuntungkan adalah lingkar elit di sekitar Jokowi. Ditambah eks-rival yang sebenarnya juga menjalin hubungan dengan oligarki Jakarta yang sama,” ungkapnya.

Bahkan, kata dia, Prabowo dan Hasyim menjadi kubu terkuat lantaran perusahaan mereka berada di wilayah inti IKN. Sri juga menyinggung perusahaan tambang milik ibunda mantan Bupati Kukar di wilayah IKN. Menurutnya, masuknya nama Dayang Kartini merupakan bagian dari lingkar elite lama. “Kaltim belum terbebas dari lingkar elite raja-raja daerah. Tapi berapa persentasenya, tidak bisa dibanding dengan oligarki raksasa dari Jakarta,” jelasnya.

Menurut pandangan Sri, IKN merupakan kebijakan yang sangat tergesa. Tidak mempertimbangkan rinci pokok-pokok undang-undang kebijakan publik. Mulai dari partisipasi masyarakat lokal [Kaltim] ataupun nasional, juga daya dukung lingkungan yang krisis sebelum ditetapkan sebagai ibu kota.

 

Kebakaran di hutan wilayah Samboja. Api merambat di sisi kiri dan hampir menyentuh Jalan Poros Balikpapan-Samarinda, awal September 2019. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Dari sisi UU No 12 Tahun 2011, jelas disebutkan bahwa kebijakan publik wajib menyertakan partisipasi masyarakat di setiap tahapan. Ada 4 tahapan yang harus dilewati, mulai dari prolegnas, naskan akademik, RUU, hingga ditetapkan menjadi UU [dalam hal ini UU Ibu Kota Negara].

“Saat ini, penentuan ibu kota baru melalui Penetapan Presiden dengan hanya meminta izin lisan ke DPR. Dari sini belum sah dipandang sebagai kebijakan publik. Apalagi IKN akan menjadi simbol bangsa, milik segenap masyarakat Indonesia,” katanya.

Sri menegaskan, seharusnya ada mekanisme penggalangan partisipasi masyarakat. Tujuannya, untuk mengetahui apakan IKN disetujui sebagian besar masyarakat Indonesia atau tidak. Di atas itu semua, masyarakat lokal yang akan menjadi penyangga utama, menanggung dampak terbesar.

Penyangga utama wajib dimintai pendapat, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi transparan akan nasib mereka kedepan. Termasuk, apapun dampak yang akan mereka tanggung.

“Masyarakat di wilayah IKN, belum apa-apa sudah kebingungan akan nasibnya, tanpa mereka mendapatkan kejelasan informasi apa-apa yang akan mereka hadapi ketika tempat tinggalnya menjadi Ibu Kota Negara Indonesia,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version