Mongabay.co.id

Matinya Tradisi Bahari ‘Seke-Maneke’ di Kepulauan Sangihe [1]

 

Di wilayah Sulawesi Utara paling berjejer hamparan pulau-pulau kecil yang kaya akan tradisi dan kebudayaannya. Negeri bahari itu dianugerahi keindahan bawah laut dan biota-biotanya yang melimpah. Hamparan pulau itu oleh sejarawan Alex Ulaen disebut Nusa Utara, atau Kepulauan Sangihe-Talaud. Kepulauan itu kini terbagi tiga wilayah administratif daerah kabupaten, yaitu Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Talaud dan Kabupaten Siau Tagulandang Biaro.

Di Kepulauan yang berbatasan dengan Filipina ini terdapat tradisi bahari yang unik yaitu tradisi menjaring ikan menggunakan alat tangkap tradisional Seke di Pulau Para Kecamatan Tatoareng, Kabupaten Kepulauan Sangihe. Sebuah alat tangkap ikan yang terbuat dari bulu tui, (bambu kuning kecil), gomutu (ijuk), dan kayu nibong (batang nira) serta janur kelapa. Seke terbuat dari anyaman bambu halus berdiameter 2-3 cm yang dipotong sepanjang setengah depa atau sekitar 80-90 cm.

Kampung Para, secara geografis merupakan wilayah pulau dalam satu kawasan kepulauan di Kecamatan Tatoareng, Kabupaten Kepulauan Sangihe. Sebelah utara berbatasan dengan Kampung Para I, sebelah timur berbatasan dengan Laut Maluku, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Siau Tagulandang Biaro, dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Sulawesi.

baca : Ekspedisi Ini Temukan Peninggalan Budaya Maritim Sangihe

 

Kampung Para Induk, Kecamatan Tatoareng, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Foto : Agrendy Saselah/Mongabay Indonesia

 

Warga Pulau Para, sudah cukup lama mengenal tradisi menangkap ikan dengan menggunakan Seke. Bahkan dalam catatan yang terdapat di pulau tersebut, Seke pertama kali dibuat oleh dua orang Dotu yang bernama Dolongpaha dan Takapaha. Mereka berdua meminang dua orang gadis yang berasal dari Kampung Paseng, di pulau Siau, dan setelah mendapatkan keturunan, mereka menciptakan alat menangkap ikan yang dinamakan Seke.

Warga setempat yangjuga Tonaseng Seke, Albertus Sakendatu (66), yang ditemui Kamis (12/12/2019) mengatakan Seke dimulai di kisaran tahun 1713. Hingga tahun 1924 di Pulau Para, Seke genap menjadi enam organisasi, yaitu Seke Champiun, Seke Lumairo, Seke Lembo, Seke Lembe, Seke Rame, dan Seke Balaba.

Sebagai seorang Tonaseng, Albertus Sakendatu, harus mempunyai kemampuan mengetahui sifat-sifat ikan, dan pusaran arus ketika menebarkan alat tangkap Seke. Kemampuan itu menjadi syarat utama menjadi Tonaseng Seke, selain dari garis keturunan Tonaseng.

“Syarat orang diangkat menjadi Tonaseng adalah dia mengetahui hal-hal seputar Seke. Mulai dari membuat Seke dan kemampuannya tentang laut. Ada juga turun-temurun. Sebab Tonaseng mempunyai tugas utama ketika Maneke, seperti memberi komando mengatur posisi Seke. Jadi dia harus tahu melihat arus. Jangan sembarang melepas Seke,” ujarnya.

Sedangkan Elengkey Nesar yang telah menjadi aparat pemerintah desa sekitar 15 tahun ini menuturkan penggunaan alat tangkap Seke ditanam di kedalaman 10 hingga 15 meter, dan hanya khusus untuk menangkap ikan Malalugis.

“Jadi alat ini ditanam sekitar jam 6 sore. Begitu juga kalau ditanam pagi, ia harus sekitar jam 5. Karena bayangan dari alat ini sampai ke atas permukaan air, sehingga ikan Malalugis enggan keluar dari atas permukaan, karena ikan Malalugis juga takut terhadap daun kelapa,” jelas Elengkey.

baca juga : Mengenalkan Pengelolaan Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat di Kepulauan Sangihe

 

Nelayan dengan Kapal Pamo bantuan Pemerintah di Pelabuhan Dago, Kecamatan Tamako, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Foto : Agrendy Saselah/Mongabay Indonesia

 

Nilai Sosial

Di Pulau Para, dalam melakukan aktivitas Seke atau biasanya disebut Maneke, terdapat struktur yang mencakup pembagian kerja, yaitu (1) Tonaseng yang merupakan pemimpin kelompok yang turun menjaring ikan, (2) Matobo, ia bertugas menyelam untuk mengamati gerak-gerik ikan, (3) Mandor, sebagai pembagi hasil tangkapan,(4) Mata-Mata, memantau orang-orang yang terlibat aktif di lokasi Maneke, dan (5) Penasehat, adalah mantan Tonaseng. Namun lebih dari itu, ingatan masyarakat setempat dalam mengenang Seke-Maneke ialah tradisi kebersamaan, kerukunan yang terjaga antar sesama masyarakat dalam membagi hasil tangkapan Seke.

“Kalau jumlah ikan seperti dulu, hasil Seke itu bisa sampai 5 perahu, jadi bisa sampai 10 ton ikan Malalugis. Jadi diberikan pembagian setiap hari, dari hari Senin sampai hari Sabtu. Kalau mendapatkan hasil yang banyak, dibagi perorangan. Kalau sedikit, dibagi perkepala keluarga. Bahkan sampai anak yang paling kecil yang ikut Maneke harus mendapatkan bagiannya,” ungkap Albertus Sakendatu.

Elengkey Nesar juga menyebutkan alat Seke merupakan pencaharian yang mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi bagi mereka warga Para. Suasana kebersamaan dalam tatanan tradisi suku Sangihe sangat terjaga di masa-masa ketika aktivitas Seke-Maneke masih hidup.

“Bayangkan, semua, mulai dari kepala desa, guru-guru, pendatang, bidan kampung, semua mendapat bagian, walaupun tidak sama-sama mencari ikan,” ujar Nesar yang baru saja menyelesaikan masa jabatannya sebagai Kepala Desa Para.

Seiring berjalannya waktu, kematian tradisi Seke sekaligus juga mengikis nilai sosial yang tertanam lama dalam kehidupan masyarakat di Para. Hal demikian diakui Tarsan Effendi Barauntu (52), Sekretaris Desa Para, nilai-nilai kebersamaan mulai terkikis seiring dengen menghilangnya tradisi Seke di Pulau Para.

“Benar sekarang memang sudah jarang ada tradisi membagi-bagikan ikan seperti dulu itu, karena mungkin pengaruh Seke ini sudah mati,” ungkapnya.

perlu dibaca : Liputan Sangihe : Di Pusat Ikan, Tapi Jauh dari Pusat Perikanan, Nasib Nelayan Tidore (Bagian 3)

 

Opa Albertus Sakendatu, Tonaseng terakhir di salah satu kelompok organisasi Seke di Pulau Para, Kecamatan Tatoareng, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Foto : Agrendy Saselah/Mongabay Indonesia

 

Kelestarian Lingkungan

Hal lain yang bernilai dari tradisi Seke adalah kesadaran menjaga keberlangsungan lingkungan bawah laut. Seke tergolong alat penangkap ikan yang ramah lingkungan. Dalam pengalamannya selama menjadi Tonaseng, Opa Albertus mengungkapkan, tidak boleh mengangkat karang di lokasi Seke–Maneke. Tak hanya itu, kesadaran setiap organisasi Seke memang sudah terjaga, dengan aturan ada masa konservasi pengembangbiakan ikan selama 6 bulan.

“Seke tidak merusak karang, sebab dia hanya dipermukaan. Justru dengan Maneke, karang ini bisa terjaga. Dan ikannya pun hanya Malalugis yang bisa diambil. Saya masih ingat, dulu tidak diperbolehkan mengangkat karang di lokasi Seke. Namun begitu seringkali ada yang datang diam-diam dari kampung sebelah menangkap ikan menggunakan Jubi dengan bius. Itulah yang merusak karang. Soal kelestarian, di Sanggaluhang dulu kami cuma 6 bulan mencari ikan di sana. 6 bulan berikutnya adalah masa konservasi. Bulan September harus pulang,” jelas Sakendatu.

Warga lainnya, John A. Hatinaung (49) mengenang masa remajanya yang sempat menyaksikan pelaksanaan Seke-Maneke di Pulau Para. Dia membenarkan orang-orang tua zaman dahulu mempunyai kesadaran menjaga lingkungan hidup di lokasi Seke-Maneke. Dia melihat tradisi Seke tradisi Seke jauh lebih baik dalam menjaga lingkungan daripada penggunaan jaring tangkap yang digunakan kelompok-kelompok nelayan saat ini.

“Dulu waktu masih zaman Seke, kami punya masa panen enam bulan, dan enam bulan sisahnya itu masa konservasi. Untuk kelestarian karang, masih tradisi Seke lebih baik dibanding alat tangkap jaring. Kalau jaring itu menggunakan pemberat batu yang cukup besar, jadi kadang-kadang terkena karang bisa rusak,” ungkap Hatinaung.

Elengkey Nesar mengungkapkan perwakilan dari Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan pernah datang dan mengatakan siap membiayai bila ada masyarakat yang ingin melaksanakan Seke, “Namun begitu hingga sekarang belum ada tindaklanjutnya” katanya.

baca juga : Liputan Sangihe: Tepatkan Dagho Jadi Sentra Perikanan? (Bagian 2)

 

Dua orang warga Pulau Para memegang sisah peninggaan alat Seke. Foto : Agrendy Saselah/Mongabay Indonesia

 

Tantangan Pelestarian Seke-Maneke

Dalam ingatan sebagian besar masyarakat, Seke mulai ditinggalkan pada tahun 1999. Secara menyeluruh di Pulau Para, akhir eksistensi Seke pada tahun 2003 ditandai dengan pergolakan antara nelayan Pulau Mahengetang dan Pulau Para memperebutkan lokasi pencarian ikan di Sanggeluhang. Peristiwa itu, menyisahkan cerita sedih bagi warga Para, pasalnya 5 warga dan 1 orang anak kecil terbunuh di Pulau Sanggeluhang.

Sejak peristiwa itu diterbitkan Surat Keputusan Bupati Nomor 65 berisi pembagian waktu menangkap ikan di Sanggeluhang. Jadwal penangkapan ikan yang diatur dalam SK 65 itu adalah dimana nelayan Pulau Para mendapatkan waktu 3 bulan menangkap ikan dan Pulau nelayan Mahengetang juga mendapat waktu 3 bulan, dan 6 bulan berikutnya adalah masa konservasi. Namun begitu menurut warga Pulau Para, ada ketidakadilan dalam penerbitan SK 65 itu.

“Di SK 65 itu, nelayan Para rugi besar, karena wilayah sebenarnya Sanggeluhang itu masuk di wilayah Para. Surat Keputusan itu bisa saja dicabut, akan tetapi harus ada pembicaraan sama-sama di depan pemerintah. Kerugian kami karena posisi Pulau Sanggeluhang ini tidak berbatasan dengan Pulau Mahengetang, melainkan sangat jauh dari Pulau Mahengetang,” ungkap Elengkey Nesar yang sempat menjadi penengah pada persoalan itu.

Selepas tradisi Seke–Maneke ditinggalkan, upaya melestarikan kembali Seke pun terkendala dengan beragam tantangan. Di antara adalah sudah hancurnya peralatan Seke-Maneke, dan juga orang-orang yang mampu membuat anyaman Seke mulai berangsur tua. Sehingga butuh sumber daya yang cukup banyak untuk mengangkatnya kembali.

***

*Agrendy Saselah, jurnalis website berita Barta1.com. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version