Mongabay.co.id

Ini Buah Manis Penerapan Prinsip Berkelanjutan pada Perikanan Tuna

 

Komitmen untuk menerapkan prinsip bertanggung jawab dan berkelanjutan dalam perikanan tuna terus dilakukan oleh sejumlah nelayan dan pelaku usaha. Seperti yang dilakukan oleh delapan pelaku usaha perikanan tuna yang fokus pada penangkapan dengan cara satu demi satu (one by one).

Buah kerja keras tersebut, kemudian mengantarkan delapan perikanan tuna itu dimasukkan ke dalam proses sertifikasi dari Marine Stewardship Council (MSC). Sertifikasi tersebut, menjadi rujukan bisnis perikanan tuna dunia dalam melakukan transaksi bisnis dan menjadi penanda bahwa produk tuna yang dihasilkan sudah memenuhi prinsip keberlanjutan (sustainable fisheries).

baca : Catatan Akhir Tahun : Perikanan Berkelanjutan, Bukan Lagi Syarat, Tapi Kebutuhan untuk Industri Perikanan

Adalah Asosiasi Perikanan Pole & Line and Handline Indonesia (AP2HI) yang menginisiasi proses itu dengan menggandeng International Pole & Line Foundation (IPNLF) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). AP2HI mengawal delapan perikanan tuna itu, karena mereka bernaung di bawah sembilan perusahan berstatus anggota AP2HI.

Masuknya delapan kelompok perikanan tuna itu, juga menjadi sejarah baru bagi Indonesia, karena itulah jumlah terbesar yang pernah dilaksanakan untuk ikut proses sertifikasi. Adapun, kedelapan perikanan tuna itu tersebar di seluruh kepulauan Indonesia, mulai dari Sulawesi Utara, Maluku Utara, Laut Banda, hingga ke Flores di selatan Indonesia.

Ketua Umum AP2HI Janti Djuari mengatakan, masuknya delapan perikanan tuna dalam proses sertifikasi MSC, menjadi bukti bahwa upaya kolaboratif pemangku kepentingan di Indonesia membuahkan hasil positif. Capaian itu, juga menjadi tonggak penting bagi perjalanan perikanan tuna di Indonesia.

baca juga : Perikanan Tuna Bertanggung jawab dan Berkelanjutan Diterapkan di Indonesia, Bagaimana Itu?

 

Sekelompok ikan tuna sirip kuning (yellow fine tuna). Foto : fisheries.noaa.gov/Mongabay Indonesia

 

Dalam melaksanakan proses sertifikasi MSC untuk delapan perikaan tuna one by one tersebut, total ada sembilan perusahaan anggota AP2HI yang ikut terlibat di dalamnya. Selain itu, ada juga 471 kapal ikan yang 70 persen lebih berukuran di bawah 10 gros ton (GT) dan terlibat aktif pada tahap awal dengan selektif melakukan penangkapan tuna.

“Dengan dampak yang sangat rendah pada lingkungan dan spesies laut lainnya,” ucap Janti dalam keterangan resmi yang dikirim kepada Mongabay, Senin (30/12/2019).

Adapun, sembilan perusahaan yang dimaksud, adalah PT Chen Woo Fishery, PT Jaya Bitung Mandiri, PT Karya Cipta Buana Sentosa, PT Marina Nusantara Selaras, PT Nutrindo Fresfood Internasional, PT Primo Indo Ikan, PT Sari Tuna Makmur, dan PT Sari Usaha Mandiri.

Menurut Janti Djuari, proses sertifikasi MSC menjadi program perbaikan untuk perikanan tuna secara nasional yang mencakup pengumpulan dan pemantauan data. Prosesnya dilakukan oleh pengamat lokal (observer) dari Pemerintah yang memantau dan mengumpulkan informasi penting, baik yang ada di laut maupun yang ada di beberapa pelabuhan.

 

Data Perikanan

Saat berada di laut, observer mengumpulkan informasi tentang kapal dan awak kapal, juga data terkait hasil tangkapan sampingan, komposisi umpan, dan berapa banyak umpan yang sudah digunakan. Kemudian, saat berada di darat, pengumpulan informasi mencakup pencatatan hasil tangkapan utama (tuna), hasil tangkapan sampingan, dan informasi operasional lainnya.

“Seperti durasi perjalanan, jumlah awak kapal di atas kapal, dan karakteristik kapal. Perbaikan data ini dapat mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik, yang pada akhirnya mengarah pada pengelolaan perikanan yang lebih efektif,” papar dia.

menarik dibaca : Ekspor Tuna dari Indonesia, Amerika Serikat Tekankan Perikanan Berkelanjutan

 

Ilustrasi. Nelayan menangkap ikan tuna dengan pancing huhate (pool and line). Foto : PT PBN/Mongabay Indonesia

 

Bagi AP2HI, mengarahkan delapan perikanan hingga sampai kepada titik yang krusial seperti sekarang, membutuhkan upaya kolektif yang besar dalam prosesnya. Untuk itu, diharapkan mereka bisa segera memasok kebutuhan tuna one by one yang berkelanjutan kepada konsumen.

Janti Djuari berkeyakinan, usaha untuk melakukan perbaikan itu tidak hanya akan meningkatkan kehidupan nelayan tradisional yang menjadi anggota AP2HI saja, namun juga ikut memastikan usaha perikanan tuna yang berkelanjutan bisa terus berjalan di Indonesia.

“Saya sangat bangga di mana semua pihak yang terlibat terus bersatu dalam membangun perikanan dan laut yang lebih sehat, baik untuk generasi sekarang dan generasi mendatang,” tutur dia.

Diketahui, standar perikanan MSC menggunakan tiga prinsip utama dalam menilai perikanan. Ketiga prinsip itu, adalah stok ikan berkelanjutan, meminimalkan dampak lingkungan sehingga spesies dan ekosistem tetap sehat, serta pengelolaan perikanan yang efektif.

Selain perbaikan operasional, perikanan Indonesia ini juga menerapkan perbaikan sosial yang nyata, seperti kode etik dan standar tenaga kerja yang diterima secara internasional. Saat ini sektor tuna one-by-one di Indonesia masih menjadi bisnis keluarga atau komunitas dan menjadi kontributor utama untuk ekonomi lokal dan ketahanan pangan nasional.

Sedangkan anggota AP2HI yang aktif saat ini terdiri dari 39 perusahaan dan 2.482 kapal ikan yang tersebar di dalam rantai pasok. Anggota AP2HI mencakup nelayan, perusahaan pemancingan dan industri pengolahan. Dalam beberapa tahun terakhir, AP2HI terus berupaya untuk membantu melestarikan warisan ekonomi dan budaya yang penting dengan mendukung inisiatif pengembangan kapasitas lokal.

baca juga : Ini Contoh Sukses Perikanan Berkelanjutan dari Nelayan Skala Kecil

 

Nelayan dari Flores Timur memancing ikan tuna dan cakalang menggunakan huhate di perairan Laut Flores dan Laut Sawu. Foto : Fitrianjayani/WWF Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Berkelanjutan

Direktur IPNLF untuk Asia Tenggara Jeremy Crawford memberikan pujianya atas upaya keras yang sudah dilakukan oleh AP2HI dan pemangku kepentingan di Indonesia dalam mewujudkan perikanan tuna yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Bagi dia, semua pihak yang terlibat dalam upaya menuju penilaian penuh untuk sertifikasi MSC sangatlah luar biasa.

“Kami senang menjadi bagian dari proses penting ini dalam membangun nilai rantai pasok tuna one by one di Indonesia,” tegas dia.

Menurut Jeremy, saat ini tren permintaan terhadap produk tuna berkelanjutan dengan manfaat sosial dan ekonomi sedang meningkat signifikan. Pasar internasional secara tegas sudah menyatakan minat komersialnya terhadap produk perikanan tuna berkelanjutan.

Hal itu bisa dilihat dari semakin banyaknya pembeli (buyer) yang menyatakan ketertarikannya untuk bekerja sama dengan IPNLF. Pada Juni 2018 saja, dilaksanakan penandatanganan antara MMAF dan IPNLF yang di dalamnya ada anggota IPNLF yang terdiri dari 14 buyers, brands dan retailer.

“Semuanya berkomitmen untuk lebih mengutamakan perikanan one by one yang telah memiliki sertifikat MSC dibandingkan dengan yang belum bersertifikat MSC,” ujarnya.

menarik dibaca : Perikanan Berkelanjutan untuk Masa Depan Laut Dunia

 

 

Ilustrasi. Nelayan melakukan bongkar muat ikan hasil tangkapan, termasuk ikan tuna di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada akhir November 2015. Foto : Jay Fajar/Mongabay Indonesia

 

Jeremy menambahkan, apa yang muncul dari pasar internasional tersebut, menegaskan bahwa validasi produk perikanan memiliki peranan yang penting untuk perikanan yang berkelanjutan. Untuk itu, tiga pilar keberlanjutan yang mencakup manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi harus senantiasa digunakan sebagai dasar dari kegiatan penangkapan ikan di atas laut.

“Penerapan tiga pilar ini adalah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa komunitas-komunitas nelayan skala kecil yang rentan ini dapat terus menjaga tingkat ketahanan pangan dan kesejahteraan ekonomi dalam jangka panjang,” tegasnya.

Sementara, Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Trian Yunanda menyebutkan peran penting perikanan berkelanjutan harus bisa dikenali oleh semua pihak. Karena perikanan berkelanjutan bisa berkontribusi pada perbaikan lingkungan, sosial, dan ekonomi. Pada akhirnya berdampak positif pada pendapatan nelayan tradisional dan menjaga kelangsungan bisnis secara bersamaan.

“Tindakan-tindakan ini menghasilkan lautan yang lebih sehat bagi kita dan bagi generasi mendatang,” tambahnya.

 

Exit mobile version