Mongabay.co.id

Penghentian Aktivitas Tambang Emas Ilegal di Sumbar Butuh Komitmen Penuh Para Pihak

 

Penambangan emas di Sumatera Barat pernah ditertibkan tapi berjalan kembali. Tahun 2014, tim gabungan TNI dan Polri pernah melakukan operasi besar-besaran untuk menghentikan aktivitas penambangan emas ilegal ini.  Saat itu, lima alat berat jenis ekskavator ditahan pihak Kepolisian dan Kejari.

Pasca operasi, penambangan pun berhenti hingga akhir tahun 2017. Namun di tahun 2018 para penambang mulai beroperasi kembali di daerah Binti Kayu, Kimbahan, Pamong Kecil, Pamong Besar dan masuk lagi menyusuri Sungai Batanghari.

“Hingga akhir tahun 2019, tambang emas liar kembali marak,” ungkap Abdul Aziz, Ketua Kelompok Pecinta Alam Winalsa.

Dia menyebut absennya penegakan hukum dan patroli rutin menyebabkan para penambang ilegal berani untuk melakukan aksinya. “Masyarakat pastinya tidak akan berani kalau aparat rutin patroli. Terlalu tinggi risikonya kalau mereka tetap nekat menambang,” tegasnya.

Baca juga: Tambang Emas Ilegal Menggila, Warga Solok Minta Aparat Bertindak Tegas

Dalam perjalanan yang dilakukan penulis pada November 2019 saat menyusuri Sungai Batanghari sepanjang 15 kilometer di kawasan hutan lindungnya, kami menjumpai sekitar delapan ekskavator yang digunakan penambang untuk mengeruk tanah dan bebatuan yang ada di sempadan dan badan Sungai Batanghari.

Kerusakan yang terjadi di sepanjang sungai tersebut akibat aktivitas penambangan emas pun terlihat kasat mata.

Seorang warga yang kami jumpai, Mahyulita (41) mengaku memiliki tanah ulayat di salah satu lokasi tambang. Dia menyebut sudah tiga kali mereka menambang di lokasi yang sekarang.

Setelah diperkirakan tidak ada emasnya, mereka akan pindah ke lokasi lain. Para penambang akan kembali lagi ke lokasi tersebut 2-3 tahun kemudian.

“Walaupun sudah tiga kali menambang di sini, masih banyak emas yang bisa kami dapatkan. Satu bulan ini kami dapat sekitar lima kilogram,” katanya.

Perempuan yang biasa disapa Ita ini juga menyampaikan, kandungan emas di lokasi tersebut tentunya tidak sebanyak pertama kali dibuka. Selain itu juga ada faktor keberuntungan, jika beruntung dapat lokasi yang bagus tentunya akan banyak mendapatkan emas.

Untuk bisa melakukan aktivitas penambangan Ita berkongsi dengan pemilik ekskavator. Seorang operator ekskavator, Suprapto (40), menyampaikan mereka bekerja dengan sistem bagi hasil.

Pemilik lahan 5-10 persen, operator ekskavator 5 persen, pendulang 5 persen. Sisanya untuk pemodal. Dalam menambang mereka biasanya terdiri dari 2 operator ekskavator, 1 kernet, 3-4 pendulang, 1 tukang masak dan 1 manajer lapangan. Pemilik lahan seperti Ita juga sering berada di lokasi.

Awalnya petambang memulai aksinya di anak-anak sungai dan di dalam kawasan hutan lindung. Perjalanan ke lokasi bisa 1-2 hari. Dikarenakan biaya yang dikeluarkan lebih besar, banyak petambang akhirnya kembali ke Sungai Batanghari.

“Karena bos sudah punya jaringan dengan aparat, jadi kami bisa aman menambang,” kata Suprapto.

Ita yang saat itu sedang berada di lapangan menyebut nama anggota DPRD Solok Selatan Syafril dan satu oknum pensiunan polisi sebagai pemilik ekskavator di tambangnya. Selain itu, dia juga menyebut anggota DPRD Sumatera Barat Khairunas sebagai koordinator yang menghubungkan dengan kepolisian. Ita mengaku menyetor Rp10 juta per ekskavator per bulan ke oknum di Kepolisian Resor Solok Selatan.

Namun, seperti yang dikutip Harian Kompas (27/11/2019), Syafril, Khairunas, dan Kepala Polres Solok Selatan AKBP Imam Yulisdianto membantah tudingan tersebut.

Menurut Syafril bisa jadi namanya dicatut sanak saudara yang ikut membuka usaha tambang. Khairunas juga menyatakan, ada orang yang menjual namanya terkait tambang. Sementara Imam menegaskan, tidak pernah menerima setoran. Imam menyatakan, sejak menjabat sebagai Kapolres Solok Selatan, April 2018, pihaknya menyita setidaknya 14 ekskavator. Tujuh kasus kini sedang disidangkan.

 

Kondisi Sungai Batanghari di kawasan Hutan Lindung Batanghari, Solok Selatan, Sumatera Barat, yang rusak akibat aktivitas tambang emas ilegal (23/11/2019). Tambang menggunakan eskavator untuk mengeruk sempadan sungai selebar hingga seratusan meter dengan kedalaman belasan meter. Aktivitas itu mengubah topografi dan bentuk sungai serta meningkatkan sedimentasi sungai yang memicu pendangkalan. Di sejumlah titik tambang, hutan lindung juga dirambah untuk dijadikan areal perladangan. Foto: Dok Tim BNPB

 

Semakin Masif

Aktivitas penambangan emas ilegal di Solok Selatan tidak hanya terjadi di Hutan Lindung Batanghari, tetapi juga secara masif terjadi di sepanjang 13 kilometer ke arah hilir di Pelabuhan Sungai Penuh.

Mereka menggunakan ekskavator dan mesin pompa air. Pengerukan tanah untuk mengambil material tambang dilakukan di dekat perkampungan dan di kebun-kebun karet warga. Air Sungai Batanghari disedot untuk mempermudah proses penggalian tanah.

Seperti yang terjadi di Jorong Gasing dan Jorong Talantam, Lubuk Ulang Aling Selatan, Sangir Batanghari (24/11/2019), ada puluhan titik tambang ilegal dan terpantau enam ekskavator. Aktivitas para petambang ini menambah keruhnya air Sungai Batanghari karena buangan air bercampur lumpur dari lubang-lubang galian.

Masih di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, di Nagari Lubuk Gadang, Sangir (26/11/2019), aktivitas tambang emas juga masif. Terdapat dua tambang di sekitar Sungai Pamong Besar dan satu di Sungai Pamong Kecil yang berbatasan langsung dengan Hutan Lindung Batanghari. Terpantau 14 ekskavator dan puluhan mesin pompa air yang digunakan para petambang.

 

Video: Mendulang Bencana di Sumatera Barat (INFIS)

 

Dari penelusuran Walhi Sumbar, tambang emas ilegal juga juga terdapat di Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh, Kecamatan Sungai Pagu, Kecamatan Sangir, Kecamatan Sangir Batanghari. Di Koto Parik Gadang Diateh, aktivitas tambang emas ilegal berada di aliran Sungai Batang Bangko.

“Di wilayah itu, terdapat 6 titik tambang aktif dan 22 titik tambang yang ditinggalkan tanpa reklamasi. Setidaknya ada 33 ekskavator tambang emas yang beraktivitas di areal Hutan Lindung Batanghari, hutan produksi terbatas, dan Hutan Nagari Pakan Rabaa,” ungkap Zulpriadi, staf Advokasi dan Penegakan Hukum Walhi Sumbar dalam siaran pers (4/12/2019).

Di Kecamatan Sungai Pagu, terdapat tiga titik aktivitas tambang aktif di Jorong Bangko dan Jorong Kandi dengan 3 ekskavator. Sementara itu, di Kecamatan Sangir terdapat 3 titik tambang aktif dan 9 yang ditinggalkan tanpa reklamasi di wilayah hutan produksi terbatas. Terdapat 9 ekskavator tambang emas yang beroperasi di lokasi tersebut.

Sedangkan di Kecamatan Sangir Batanghari, tambang emas tersebar di Jorong Kimbahan, Batang Gajah, Koto Ranah, Sungai Penuh, Pulau Panjang, Pulau Punjung dan Limau Sundal, serta Sub-DAS Batanghari. Setidaknya ada 8 titik tambang masih aktif dan 4 titik yang ditinggalkan tanpa reklamasi di wilayah hutan produksi terbatas itu. Jumlah ekskavator yang beroperasi sekitar 30 unit.

Kunjungan Tim BNPB di Kabupaten Dhamasraya (27/11/2019) pun menjumpai aktivitas pertambangan emas ilegal yang menggunakan merkuri di sekitar Sungai Baye, Kecamatan Koto Baru.

Emas ditambang dengan menggunakan mesin pompa air yang terpasang pada rakit yang terbuat dari kayu dan di bagian bawahnya dipasang beberapa buah drum agar mengapung.

Mesin pompa menyedot material pasir dan tanah yang mengandung emas di dasar sungai, lalu dialirkan ke karpet yang telah dipasang di bagian atasnya. Material halus yang tersaring karpet ini lalu dimurnikan dan diikat dengan menggunakan merkuri agar butiran-butiran emas terkumpul.

 

Bentuk merkuri atau air raksa yang digunakan penambang emas ilegal di Sungai Baye, sub-DAS Batanghari, di Kecamatan Koto Baru, Dharmasraya, Sumatera Barat, (27/11/2019). Para penambang menggunakan merkuri untuk mengikat emas karena ukuran emas di sekitar sungai itu berupa butiran-butiran halus. Foto: Een Irawan Putra

 

Heru (28) salah satu penambang emas di Sungai Baye, mengaku jika para penambang emas yang menggunakan mesin pompa seperti mereka, juga menggunakan merkuri atau air raksa.

“Kami membeli merkuri di toko emas di Pasar Koto Baru. Harga Rp300.000 per 0,25 kilogram,” katanya. Merkuri yang ia beli tersebut biasa digunakan berkali-kali selama seminggu.

Ketika mengunjungi Kabupaten Sijunjung (29/11/2019), Tim BNPB juga menjumpai aktivitas penambangan emas ilegal di Sungai Batang Kuantan yang juga merupakan kawasan Taman Bumi Nasional Silokek. Para penambang menggunakan ekskavator dan mesin pompa penyedot air. Aktivitas penambangan emas ilegal ini meningkatkan resiko bencana longsor dan mengancam status taman bumi nasional.

Salah satu titik tambang berada sekitar 300 meter dari Kantor Wali Nagari Silokek, yang menurut para penambang, ekskavator itu baru masuk seminggu sebelumnya. Mardison, Wali Nagari Silokek mengaku mengetahui aktivitas tambang emas ilegal itu, tapi mengaku tak kuasa menghentikannya,  jika pemilik lahan telah mengizinkan pemodal dan pemilik ekskavator menambang di sana.

“Ada banyak pihak dan keterlibatan orang dari luar nagari di sana. Saya tidak mampu menghentikan mereka,” katanya.

 

Para penambang beraktivitas dengan menggunakan mesin pompa air diesel di salah satu kebun karet pinggir Sungai Batanghari di Jorong Talantam, Nagari Lubuk Ulang Aling Selatan, Sangir Batanghari, Solok Selatan, Sumatera Barat (24/11/2019). Air bercampur lumpur sisa aktivitas itu dialirkan ke Sungai Batanghari. Foto: Een Irawan Putra

 

Upaya Penegakan Hukum

Upaya menghentikan aktivitas penambangan emas ilegal kembali muncul pasca kunjungan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo ke Kabupaten Sijunjung dan Kabupaten Dhamasraya (6-7/11/2019).

“Kami membantu mencarikan solusi agar ke depan masalah yang kita lihat sangat berbahaya bagi kelangsungan bangsa kita dan kelangsungan generasi yang akan datang serta bagi kelestarian sumber daya alam kita. Pemerintah daerah tidak bisa bekerja sendiri tanpa bantuan  pemerintah pusat,” jelasnya.

Dia sebut, bencana banjir dan longsor di Solok Selatan akan terus berulang, jika aktivitas tambang ilegal dan penebangan liar dibiarkan.

Lima hari setelah kunjungan, Doni mengundang seluruh perangkat daerah Provinsi Sumbar dan Provinsi Jambi ke Graha BNPB. Hadir diantaranya, Gubernur Jambi Fachrori Umar, Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit, Dirjen Pengelolaan Sampah dan B3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati, Danrem 042/Gapu Jambi Kolonel Arh. Elphis Rudi, Kasrem 032/ Wirabraja Sumbar Kolonel Inf. Edi Nurhabad, dan Karoops Polda Sumbar Kombes Pol. Firly R. Samosir.

Juga Bupati Sijujung Yuswir Arifin, Bupati Solok Selatan Muzni Zakaria, Bupati Dhamasraya Sutan Riska Tuanku Kerjaan, dan perwakilan dari kementerian dan lembaga lainnya.

Menurut Doni, BNPB sesuai UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, memiliki tanggung jawab dan kewenangan untuk melakukan upaya-upaya yang berhubungan dengan kebencanaan, mulai dari pencegahan, tanggap darurat sampai dengan rehabilitasi dan rekonstruksi.

“Infrastruktur yang sudah dibangun pemerintah dengan harga ratusan miliar dan puluhan triliun akan sia-sia. Akhirnya nanti jalan kembali terputus dan aktivitas masyarakat akan terganggu” tegasnya (13/12/2019).

Dalam akhir bulan Desember lalu, Kapolda Sumbar Irjen Pol Toni Hermanto pun melakukan rapat koordinasi dengan para pihak untuk memutus rantai kegiatan ilegal yang terjadi. Adapun hasil rapat, mengungkap memang betul sudah terjadi illegal logging dan illegal mining diantaranya di kabupaten Solok Selatan, Pesisir Selatan, Dharmasraya, dan Sijunjung.

Dalam rapat yang dihadiri oleh Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno, para pihak akan mengambil tindakan untuk memutus aktivitas penambangan ilegal yang terjadi.

Diantaranya memutus pasokan BBM ke lokasi-lokasi tambang ilegal, penindakan terhadap perdagangan merkuri dan melakukan penindakan atau penangkapan terhadap pemilik ekskavator, pemodal dan penadah. Hasil itu akan dipantau secara berkala dan dievaluasi pada bulan akhir Januari 2020.

 

* Een Irawan Putra, penulis adalah Direktur Indonesia Nature Film Society (INFIS), praktisi dokumentasi audio visual, sering beraktivitas di alam bebas.

 

 

Exit mobile version