Mongabay.co.id

BMKG : Curah Hujan Paling Ekstrem Dalam Sejarah Jadi Pemicu Banjir Jakarta

Warga menonton luapan air di Bendung Katulampa, Bogor pada Rabu (1/1/2020) sore. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat curah hujan ekstrem dengan intensitas lebih dari 150 mm/hari dengan durasi panjang dari Selasa (31/12/2019) sore hingga Rabu (1/1/2020) yang turun cukup merata di wilayah DKI Jakarta menyebabkan banjir besar.

Curah hujan tertinggi tercatat di Bandara Halim Perdana Kusuma yaitu 377 mm/hari, di TMII: 335 mm/hari, Kembangan: 265 mm/hari; Pulo Gadung: 260 mm/hari, Jatiasih: 260 mm/hari, Cikeas: 246 mm/hari, dan di Tomang: 226 mm/hari.

Herizal Deputi Bidang Klimatologi BMKG mengatakan sebaran curah hujan ekstrem tersebut lebih tinggi dan lebih luas daripada kejadian banjir Jakarta tahun 2007 dan 2015.

“Curah hujan 377 mm/hari di Halim PK merupakan rekor baru curah hujan tertinggi sepanjang ada pengukuran dan pencatatan curah hujan di Jakarta dan sekitarnya sejak pengukuran pertama kali dilakukan tahun 1866 pada zaman kolonial Belanda,” kata Herizal dalam siaran tertulis yang diterima Mongabay, Jumat (3/1/2020).

baca : BMKG : Waspadai Potensi Cuaca Ekstrim Hujan Lebat Pasca Banjir Jakarta

 

Peta prakiraan cuaca ekstrim yang terjadi pada 1 -7 Januari 2020. Sumber : BMKG

 

BMKG  mencatat intensitas curah hujan ketika beberapa kali Jakarta dilanda banjir besar yaitu 216 mm/hari pada tahun 1996, 168 mm/hari pada 2002, 340mm/hari pada 2007, 250mm/hari pada 2008, 100mm/hari pada 2003, dan 277mm/hari pada 2015 dan serta 100 – 150 mm/hari pada 2016.

Herizal mengatakan dari pengkajian data historis curah hujan harian BMKG selama 150 tahun (1866 – 2015), terdapat tren semakin seringnya kejadian banjir signifikan di Jakarta dengan peningkatan intensitas curah hujan ekstrem tahunan.

Sedangkan di wilayah Jabodetabek, curah hujan harian tertinggi per tahun mengindikasikan tren kenaikan intensitas 10 – 20 mm per 10 tahun dari data 43 tahun terakhir.

Analisis statistik data series 150 tahun Stasiun Jakarta Observatory BMKG untuk peluang terjadinya curah hujan ekstrem penyebab kejadian banjir dengan perulangan seperti periode ulang kejadian 2014, 2015 dan awal tahun 2020 di Jakarta menunjukkan peningkatan 2-3% bila dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun lalu.

“Hal ini menandakan hujan-hujan besar yang dulu jarang, kini lebih berpeluang kerap hadir pada kondisi iklim saat ini,” jelasnya.

Kejadian banjir dan curah hujan ekstrem juga terjadi di beberapa wilayah di Bekasi, Kota/Kabupaten Bogor dan Kabupaten Lebak, Jabar. Pantauan radar cuaca menunjukkan awan potensi hujan cukup tebal terjadi di sebagian wilayah Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta.

baca : Catatan Akhir Tahun: Negeri Ini Makin Rawan Bencana

 

Luapan air yang sangat deras di Bendung Katulampa, Bogor pada Rabu (1/1/2020) sore. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Meski terjadi curah hujan ekstrem dan fenomena meteorologis, Herizal mengatakan ada beberapa faktor lain penyebab banjir di Jakarta, seperti besarnya limpasan air dari daerah hulu, berkurangnya waduk dan danau tempat penyimpanan air banjir, permasalahan menyempit dan mendangkalnya sungai akibat sedimentasi dan penuhnya sampah di badan dan saluran air.

Juga adanya faktor rendaman rob akibat permukaan laut pasang serta faktor penurunan tanah (ground subsidence) yang meningkatkan risiko genangan air. “Akan tetapi curah hujan ekstrem paling dominan sebagai penyebab banjir di Jakarta,” katanya.

Oleh karena itu, BMKG menghimbau kepada semua pihak untuk selalu waspada terhadap peluang curah hujan tinggi yang mungkin terjadi dikarenakan musim hujan diprakirakan akan terjadi pada bulan Februari hingga Maret.

 

Perubahan Iklim

Perdinan, Dosen Departemen Meteorologi dan Geofisika IPB mengatakan fenomena cuaca dengan curah hujan relatif tinggi di wilayah Jawa biasanya memang terjadi pada akhir tahun sampai awal tahun yaitu pada bulan Desember sampai Februari, yang sering disebut musim hujan.

“Berbasis skenario perubahan iklim, hasil simulasi pemodelan iklim menjelaskan intensitas cuaca ekstrim diproyeksikan semakin tinggi, karena curahan hujan yang besar dengan periode waktu yang pendek. Musim kemarau juga diproyeksikan dapat lebih panjang,” kata Sekretaris Pusat Studi Bencana IPB itu.

 

Foto udara kali Ciliwung yang meluap di seputar Jakarta Pusat Rabu (1/1/2020). Foto : BNPB/Mongabay Indonesia

 

Khusus untuk intensitas curah hujan pada Selasa (31/12/2019) sampai Rabu (1/1/2020), lanjutnya, dimungkinkan sebagai curah hujan ekstrim yang muncul dengan periode ulang tertentu yaitu periode waktu relatif jarang, misalnya 50 sampai 100 tahunan.

“Ada periode ulang dalam fenomena iklim yang dapat mempengaruhi pola dan intensitas curah hujan di bumi. Curah hujan ekstrim yang terjadi kemarin disinyalir berulang setiap puluhan tahun sekali,” katanya. Periode catatan sejarah curah hujan dapat dipergunakan untuk analisis lebih lanjut.

Walaupun demikian, masih perlu hati-hati mengaitkan cuaca ekstrim dengan perubahan iklim. “Curah hujan sangat tinggi pada tahun baru 2020 belum tentu disebabkan perubahan iklim, karena tahun kemarin (2018) tidak terjadi cuaca ekstrim,” lanjutnya.

Perdinan mengatakan indikator perubahan iklim adalah peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Sementara, proses pembentukan curah hujan merupakan mekanisme kompleks akibat penguapan permukaan dan prosesnya dipengaruhi berbagai faktor, seperti keberadaan ITCZ (inter tropical convergen zone), periode monsun, dan fenomena lautan.

Namun, fenomena perubahan iklim yang identik dengan perubahan keseimbangan energi dapat saja memicu perubahan frekuensi kejadian iklim atau cuaca ekstrim. “Perlu telaah lebih lanjut mengenai proses fisik dinamika atmosfer saat kejadian curah hujan ekstrim kemarin,” katanya. Akan menarik untuk mengevaluasi fenomena tersebut dan interaksinya dengan perubahan permukaan dalam konteksi interaksi iklim dan lahan.

Periode cuaca ekstrim memang terjadi dengan periode waktu tertentu. “Tetapi dengan adanya fenomena perubahan iklim, kejadian cuaca ekstrim diproyeksikan dapat terjadi lebih cepat periodenya, dengan kata lain intensitas dan frekuensi bertambah tinggi dan bertambah cepat” tambahnya.

Walaupun demikian, masyarakat sebaiknya tidak serta merta menyalahkan kejadian cuaca ekstrim penyebab banjir sebagai dampak perubahan iklim karena berbagai faktor lain yang perlu diperhatikan seperti infrastruktur, kondisi sungai dan saluran drainase, kondisi daerah hulu, faktor permukaan laut, dan faktor penurunan tanah (ground subsidence).

“Kita perlu membedakan antara kejadian cuaca ekstrim alami dengan dampak akibat kejadian ekstrim tersebut. Kejadian alam yang terjadi alami merupakan fenomena alam, namun dampaknya khususnya dampak negatif perlu diantisipasi melalui berbagai langkah adaptasi,” pungkasnya. Perlu kerjasama dengan berbagai pihak secara menyeluruh mengingat kompleksitas masalah yang dihadapi.

 

Banjir yang menggenangi pemukiman di Jakarta Pusat , Rabu (1/1/2020). Foto : BNPB/Mongabay Indonesia

Laporan WMO

Lembaga Metorologi Dunia (WMO) dalam laporannya berjudul ‘WMO provisional statement on the State of the Global Climate’ menyebutkan satu dekade terakhir terjadi pemanasan global yang luar biasa, daratan es di kutub yang mencair lebih luas dan cepat, serta kenaikan permukaan laut yang didorong oleh gas rumah kaca dari aktivitas manusia.

Suhu rata-rata periode lima tahun (2015-2019) dan sepuluh tahun (2010-2019) hampir pasti akan menjadi rekor tertinggi. Konsentrasi karbon dioksida di atmosfer mencapai rekor 407,8 ppm pada 2018 dan terus meningkat pada 2019.

Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas seperti dikutip dari laman WMO mengatakan dari hari ke hari, dampak perubahan iklim berpengaruh pada cuaca ekstrem dan ‘tidak normal’. “Gelombang panas dan banjir yang dulunya merupakan peristiwa ‘sekali dalam seabad’ menjadi peristiwa yang terjadi lebih sering terjadi, ” katanya.

“Salah satu dampak utama dari perubahan iklim adalah pola curah hujan yang tidak menentu. Ini menimbulkan ancaman bagi hasil panen dan, ditambah dengan peningkatan populasi, akan berarti tantangan ketahanan pangan yang cukup besar bagi negara-negara yang rentan di masa depan,” tambahnya.

***

 

Keterangan foto utama : Warga menonton luapan air di Bendung Katulampa, Bogor pada Rabu (1/1/2020) sore. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version