Mongabay.co.id

Ombudsman Rekomendasikan Beberapa Langkah Rencana Penghapusan Merkuri

Tukang nebeng adalah, penambang emas ilegal yang biasa hanya ikut-ikutan penambang lain, bukan pekerjaan pokok. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pemerintah Indonesia menandatangani Minamata Convention on Mercury (Konvensi Minamata mengenai merkuri) pada 10 Oktober 2013 di Kumamoto, Jepang,. Ia kemudian ditindaklanjuti dengan pengesahan Undang-undang Nomor 11/2017 tentang Pengesahan Konvensi Minamata. Presiden mengeluarkan Perpres Nomor 21/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN-PPM) dengan periode pelaksanaan 2018-2030. Ombudsman membuat kajian soal rencana aksi dan pelaksanaan RAN-PPM di lapangan serta merekomendasikan beberapa hal kepada pemerintah.

“Kami mengapresiasi RAN-PPM ini sebagai salah satu kebijakan bagus yang diharapkan direspon dengan baik oleh instansi terkait. Kami kemudian mengkaji sejauh mana pihak-pihak yang disebut oleh RAN-PPM ini melakukan tugas dan kegiatannya,” kata Adrianus Meliala, anggota Ombudsman di Jakarta, baru-baru ini.

RAN-PPM memuat strategi, kegiatan, dan target pengurangan dan penghapusan merkuri prioritas pada bidang manufaktur, energi, pertambangan emas skala kecil dan kesehatan.

Baca juga: Nestapa Anak-anak Cisitu dalam Cemaran Merkuri

Strategi yang termuat dalam RAN PPM, yakni penguatan komitmen, koordinasi, dan kerjasama antarkementerian lembaga pemerintah. Juga, penguatan koordinasi kerja sama antarpemerintah pusat dan daerah, pembentukan sistem informasi, penguatan keterlibatan masyarakat melalui komunikasi, informasi, dan edukasi. Lalu, penguatan komitmen dunia usaha dalam pengurangan merkuri, serta penerapan teknologi alternatif ramah lingkungan. Juga soal pengalihan mata pencaharian masyarakat lokal dan penguatan penegakan hukum.

Dalam kajian Ombudsman, seperti pertambangan dan peredaran merkuri di Gunung Botak, Maluku, potensi terjadi maladministrasi. Hal serupa juga kemungkinan terjadi di provinsi lain karena penambangan emas skala kecil banyak terdapat di penjuru negeri.

Bukan tidak mungkin penggunaan bahan merkuri sebagai zat pengikat emas masih terus digunakan.

Dia bilang, penggunaan dan peredaran merkuri adalah permasalahan sistemik yang harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat dan daerah.

Baca juga: Petaka Tambang Emas di Pulau Buru

Merkuri, katanya, merupakan bahan berbahaya dan beracun yang tahan urai dan dapat terakumulasi dalam makhluk hidup hingga perlu pengaturan agar tak timbul dampak negatif.

“Merkuri banyak digunakan dalam pertambangan emas skala kecil, manufaktur, energi, dan kesehatan yang dapat memberikan dampak serius bagi kesehatan dan lingkungan hidup,” katanya.

Sebelum terbit Perpres RAN-PPM, ada berbagai hambatan dalam pengawasan dan pengendalian merkuri, seperti belum ada alternatif untuk mantan penambang, belum ada regulasi mengatur peredaran merkuri dalam negeri, anggaran pemerintah minim, dan koordinasi antar lembaga kurang.

 

Batu cinnabar, bahan bikin merkuri dengan latar belakang rumah penambang liar di Gunung Botak. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Selain itu, ekspor merkuri masih bebas dan belum ada peraturan di Kementerian Perdagangan. Ada juga pasar gelap merkuri, banyak petugas kesehatan belum memahami gejala-gejala dampak merkuri, belum terdapat kajian masalah kesehatan di area penambangan emas skala kecil. “Jadi, sulit mengetahui daerah mana risiko tinggi terhadap pencemaran merkuri,” katanya.

Salam aspek pemulihan, katanya, koordinasi dengan pemerintah daerah kurang mendukung. Untuk aspek teknis dan sosial juga jadi kendala KLHK dalam pemulihan dampak merkuri.

Harapannya, dengan ada Perpres RAN-PPM, berbagai hambatan teratasi. Sayangnya, kata Adrianus, di lapangan masih terdapat banyak kendala meski regulasi sudah ada.

Dia bilang, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengadakan pengawasan terhadap wilayah hanya izin yang menteri keluarkan Kalau izin oleh gubernur, katanya, KESDM tak memiliki jangkauan langsung untuk pengawasan.

Kondisi ini, katanya, jadi hambatan dalam pelaksanaan RAN-PPM. Kalau proses pengawasan di daerah tak ketat, katanya, berpotensi penambangan emas tak sesuai norma, standar, prosedur dan kriteria bisa bertambah.

“Sebagian besar pertambangan emas rakyat adalah ilegal. Hanya sebagian kecil memiliki izin. Pemerintah tidak bisa memberi instruksi kepada penambang ilegal jadi sulit proses formalisasi dari tambang ilegal ke legal.”

Untuk itu, perlu sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengawasan IUP yang dikeluarkan gubernur. “Hal perlu [kalau tidak] membuka potensi penyalahgunaan wewenang di lingkup pejabat publik daerah dalam urusan penerbitan izin pertambangan, khusus pertambangan emas,” katanya.

 

 

Berbagai rekomendasi

Ombudsman meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan untuk pemulihan lahan-lahan yang terkontaminasi merkuri. Juga berkoordinasi dengan KESDM untuk formalisasi penambangan emas ilegal jadi legal berbasis non merkuri.

Juga rekomendasi kepada Menteri Kesehatan, antara lain, pemantauan dan evaluasi kepada seluruh rumah sakit umum daerah (RSUD) dan Puskesmas tentang upaya pengendalian dampak penanganan merkuri disertai hasil kajian. Hal ini dilakukan, katanya, untuk menemukan obat dan standar medis dalam menangani korban terpapar merkuri.

“Kami juga meminta Menteri Kesehatan pemetaan kelompok kerja penambang emas rakyat dan masyarakat yang terpapar merkuri berdasarkan data wilayah kerja Puskesmas,” katanya.

Ombudsman, katanya, juga merekomendasikan kepada Menteri ESDM, KLHK berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri untuk pengawasan perizinan usaha pertambangan emas dengan izin dari pemerintah daerah.

Untuk Menteri Perdagangan, Ombudsman merekomendasikan, menyusun regulasi tentang ekspor yang mengatur larangan tata niaga penggunaan dan peredaran merkuri.

 

Kombes Pol. Sulistiyo mengecek rendaman di kawasan tambang Gunung Botak, Pulau Buru. Foto: Humas Polda Maluku

 

Menurut Adrianus, rekomendasi Ombudsman hanya kepada empat pihak walau pihak lain juga terlibat dalam RAN-PPM. Dia bilang, keempat kementerian ini dalam posisi sebagai pembuat kebijakan utama yang diikuti pihak lain.

“Kami tidak beri saran khusus kepada kepolisian, misal. Karena kepolisian dalam posisi yang mengawasi dan mengamankan terkait penegakan hukum dari kebijakan yang dibuat empat pihak ini. Maka kami memberikan saran khusus kepada empat kementerian ini agar RAN-PPM betul-betul berjalan.”

Rosa Vivien Ratnawati, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK mengapresiasi rekomendasi Ombudsman. Dia bilang, rekomendasi itu ibarat wake up call.

Target dalam RAN PPM, penggunaan merkuri untuk sektor manufaktur berkurang 50% dan energi berkurang 33,2% pada 2030. Untuk sektor pertambangan emas skala kecil berkurang 100% pada 2025. Sektor kesehatan berkurang 100% pada 2020.

“Kami berterimakasih kepada Ombudsman yang sudah mengingatkan tugas-tugas yang harus kami lakukan,” katanya.

Mengenai tindak lanjut Perpres RAN-PPM, memang punya mandat untuk gubernur, bupati dan walikota dalam mengusung rencana aksi daerah yang hingga kontribusi pada pengurangan dan penghapusan merkuri tingkat nasional.

Saat ini, KLHK dibantu BPPT mengembangkan proyek percontohan di Lebak, Banten. Di wilayah ini, banyak penambang emas tradisional pakai merkuri. Sekarang, sudah mulai beralih tidak lagi pakai merkuri.

Soal pemulihan lahan yang terkontaminasi merkuri, kata Vivien, juga tak mudah. Meskipun penegakan hukum sudah berjalan, penertiban penambang emas skala kecil pakai merkuri, tanah tetap tercemar.

“Pemulihan lahan itu perlu tapi tidak mudah. Untuk memulihkan lahan jadi non merkuri, ini yang sekarang kita kerjakan. Teknologi sedang kita cari dan kerjasama dengan BPPT.”

Merry Maryati, Direktur Ekspor Industri dan Pertambangan Kementerian Perdagangan, tak menampik selama ini aturan baru sebatas soal impor merkuri. Aturan ekspor merkuri, belum ada.

“Kami sedang sedang memproses aturan tata niaga ekspor merkuri. Kami terus berkoordinasi dengan pihak terkait. Saat ini ditelaah Biro Hukum. Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa selesai.”

Jelsi Natalia Marampa, Kasubdit Pengamanan Limbah dan Radiasi Kementerian Kesehatan mengatakan, sesuai amanat dalam Perpres 21/2019, Kemenkes diberi tugas untuk pencegahan dan pengendalian dampak kesehatan karena merkuri pada kesehatan. Terutama, katanya, menyasar penambang emas skala kecil dan penghapusan alat kesehatan bermerkuri.

“Soal penghapusan alat kesehatan mengandung merkuri, Menkes telah menerbitkan Permenkes 41/2019 tentang penghapusan dan pengendalian alat kesehatan yang mengandung merkuri.

Setelah terbit permenkes ini, katanya, Kemenkes terus sosialsiasi kepada seluruh fasilitas layanan kesehatan di Indonesia untuk mempercepat penghapusan alat kesehatan bermerkuri.

Sulistyo Ariyanto, staf ahli Menteri ESDM mengatakan, akan menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman untuk memperkecil pencemaran merkuri. Sosialisasi tentang teknologi pertambangan lebih ramah lingkungan, katanya, akan lebih intens.

KESDM, katanya, juga akan berkoordiansi dengan Kemendagri untuk pengawasan perizinan pertambangan emas yang dikeluarkan pemda.

“Tentu akan kami laksanakan lebih intens lagi. Karena memang ESDM lebih banyak mengatur yang di atas. Untuk daerah memang kuasa pemda untuk memantau, ke depan kami akan coba lebih dalam lagi untuk mengatur pemberian izin khusus pertambangan emas rakyat.”

 

Keterangan foto utama: Tukang nebeng adalah, penambang emas ilegal yang biasa hanya ikut-ikutan penambang lain, bukan pekerjaan pokok. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

Sungai di Geumpang yang rusak akibat pertambangan emas ilegal. Foto: Dok. WALHI ACEH
Exit mobile version