Mongabay.co.id

Kemampuan Identifikasi Jadi Kunci Penyelamatan Hiu dan Pari di Alam

Dua orang buruh angkut membawa hiu dari kapal ke tempat lelang. Latar belakang tampak poster jenis hiu dan pari yang dilarang ditangkap dan diperdagangkan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Dalam beberapa dekade terakhir ini, eksploitasi ikan hiu dan pari semakin tidak bisa dibendung di seluruh dunia. Di Indonesia, eksploitasi juga tak bisa dihindarkan sejak lama dan intensitasnya terus meningkat hingga sekarang. Salah satu sebab terus meningkatnya eksploitasi, karena ada permintaan dari masyarakat yang berperan sebagai konsumen.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (PRL KKP) Aryo Hanggono mengatakan, fakta penurunan jumlah populasi Hiu dan Pari di seluruh dunia menjadi pertimbangan utama Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Spesies Terancam (CITES) untuk menetapkan keduanya dalam daftar Appendiks.

“Sejumlah ketentuan pun diatur, seperti pengelolaan sumber daya ikan harus mengedepankan aspek keberlanjutan atau sustainability, sesuai aturan atau legality, dan ketertelusuran atau traceability,” ungkapnya di Jakarta, Senin (6/1/20120).

baca : Perdagangan Hiu : Ambiguitas Perlindungan di Indonesia (1)

 

Para buruh mengangkut hiu yang baru tiba di TPI Tanjung Luar. Puluhan buruh terlibat dalam rantai bisnis hiu di Tanjung Luar. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Aryo mengatakan, untuk bisa melestarikan populasi Hiu dan Pari, perlu beragam langkah dan upaya yang harus dilakukan oleh Pemerintah dan banyak pihak. Salah satunya, adalah mengasah kemampuan untuk melaksanakan identifikasi jenis Hiu dan Pari yang ada saat ini.

Kemampuan tersebut, harus dimiliki oleh petugas yang ada di lapangan, baik itu petugas dari Pemerintah ataupun instansi swasta. Untuk itu, penting sekali membekali petugas dengan pengetahuan yang komplet dari aspek regulasi, biologi, ekologi, proses identifikasi, dan pelaporan pemanfaatan.

Fakta bahwa CITES sudah memasukkan Hiu dan Pari dalam kelompok Appendiks, menurut Aryo, menegaskan bahwa kedua biota laut itu memang sudah saatnya mendapatkan perlindungan penuh dari seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Perlindungan penuh bakal menyelamatkan kedua biota laut tersebut.

Aryo menyebutkan pada Konferensi Penandatangan (COP) CITES ke-18 yang digelar di Jenewa, Swiss, beberapa jenis Hiu dan Pari resmi masuk daftar Appendiks II. Status tersebut menjelaskan bahwa Hiu dan Pari adalah spesies tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin terancam punah bila tidak dimasukkan ke dalam daftar perlindungan dan perdagangannya terus berlanjut.

“Ada Hiu Mako, Pari Gitar, dan Pari Liong Bun yang masuk daftar Appendiks II CITES,” ucapnya.

Mengingat pentingnya peran petugas di lapangan, KKP berkomitmen untuk bisa menghadirkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dalam melaksanakan konservasi Hiu dan Pari. Untuk itu, para petugas lapangan akan diberikan pelatihan secara khusus melalui kegiatan Training of Trainers (ToT) indentifikasi Hiu dan Pari yang digelar di Jakarta mulai Senin hingga Jumat (6-10/1/2020).

baca juga : Perdagangan Hiu : Pasar Memicu Kepunahan (3)

 

Peserta pelatihan bagi pelatih indentifikasi Hiu dan Pari yang diselenggarakan KKP di Jakarta, awal Januari 2020. Kemampuan identifikasi jenis hiu dan pari yang dilindungi merupakan kunci penyelamatan dua satwa laut itu. Foto : Humas KKP

 

Target Utama

Aryo menambahkan, sebagai negara yang diberi anugerah kekayaan laut, Indonesia memiliki potensi dan keragaman sumber daya ikan yang sangat tinggi. Di antara kekayaan itu, adalah Hiu dan Pari yang jumlah jenisnya sangat banyak di dunia.

Saat ini, diketahui terdapat 218 jenis Hiu dan Pari yang bisa ditemukan di seluruh perairan di Indonesia. Jumlah tersebut mencakup 114 jenis Hiu, 101 jeni Pari, dan tiga jenis ikan Hiu Hantu yang termasuk ke dalam 44 suku.

Aryo menyebutkan, Hiu dan Pari adalah ikan yang bernilai ekonomi tinggi untuk konsumsi dan sekaligus sebagai objek wisata. Kedua manfaat itu, menjadi alasan kenapa dari waktu ke waktu semakin tinggi kegiatan eksploitasi Hiu dan Pari dengan menjadikan keduanya sebagai target tangkapan utama ataupun tangkapan samping.

Di sisi lain, upaya KKP lainnya dalam pelestarian Hiu dan Pari dengan memberikan rekomendasi pada setiap produk kedua biota laut tersebut yang akan diekspor, sebelum Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) KKP menerbitkan sertifikat kesehatan (health certificate/HC).

Adapun, tugas untuk memberikan rekomendasi tersebut dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal PRL melalui Balai/Loka Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut (BPSPL/LPSPL) yang tersebar di seluruh Indonesia.

“Lembaga-lembaga tersebut, sejauh ini telah bergerak aktif untuk memberikan rekomendasi Hiu dan Pari,” ungkap Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL) KKP Andi Rusandi.

Andi menyebutkan, pemberian rekomendasi juga dilakukan untuk mencegah terjadinya aktivitas perdagangan ilegal Hiu dan Pari yang statusnya dilindungi dan dilarang untuk diekspor. Untuk itu, petugas verifikasi yang ada di BPSPL/LPSPL melakukan identifikasi produk terlebih dahulu sebelum kemudian dilaulilntaskan.

“Akan tetapi pada pelaksanaannya sangat sulit untuk mengetahui asal produk karena minimnya informasi, catatan dan dokumentasi produk saat penangkapan,” tuturnya.

Untuk memudahkan para petugas di lapangan, Andi menyebutkan kalau KKP akan menyusun modul pelatihan dan pedoman bagi calon pelatih identifikasi Hiu dan Pari. Penyusunan tersebut melibatkan LSM Wildlife Conservation Society (WCS) dan lembaga konservasi asal Inggris, Centre for Environment, Fisheries & Aquaculture Science (CEFAS).

perlu dibaca : Bagaimana Cara Hentikan Eksploitasi Hiu dan Pari di Indonesia?

 

Hiu Macan berukuran 3,2 meter, tangkapan nelayan Pulau Ambo, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Keberlanjutan

Program Manager WCS Indonesia Marine Program Irfan Yulianto menjelaskan, kegiatan TOT identifikasi Hiu dan Pari menjadi langkah awal untuk mewujudkan pengelolaan perikanan Hiu dan Pari yang berkelanjutan di Indonesia. Dengan bekal pengetahuan yang cukup, maka upaya untuk mencegah perdagangan ilegal Hiu dan Pari juga akan bisa dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.

“Mengingat populasi beberapa spesies Hiu dan Pari ini terancam mengalami kepunahan,” ucap dia.

baca : Masyarakat Harus Jadi Aktor Utama Kendalikan Eksploitasi Hiu dan Pari

Sebelumnya, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP M Zulficar Mochtar mengatakan bahwa praktik eksploitasi Hiu dan Pari memang masih terjadi di seluruh Indonesia. Praktik tersebut akan mengancam populasi Hiu dan Pari dengan proses yang sangat cepat. Sementara, untuk pemulihannya justru akan berlangsung sangat lama.

Menurut dia, karakteristik biologi ikan Hiu dan Pari memiliki laju reproduksi relatif rendah, usia matang seksual yang lama, dan pertumbuhannya yang lambat. Karakter seperti itu yang menyebabkan Hiu dan Pari masuk dalam kelompok Appendiks II CITES, mengingat eksploitasi yang dilakukan bisa mengancam keberlangsungan populasi di alam.

“Kelompok yang masuk dalam daftar Apendiks II, biasanya adalah hewan yang akan terancam punah jika perdagangannnya tidak dikontrol,” sebutnya.

Menurut Zulficar, pendekatan pengelolaan yang lestari merupakan pilihan yang direkomendasikan untuk menjaga populasi Hiu dan Pari. Cara yang dipilih, adalah dengan melakukan upaya konservasi dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya sehingga dapat memberikan manfaat secara berkesinambungan.

 

Hiu hasil tangkapan nelayan di pelabuhan Lampulo, Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Upaya untuk mengendalikan populasi terus dilakukan, karena praktik perdagangan biota laut tersebut terbilang besar. Pada 2017, KKP mencatat bahwa hiu menjadi salah satu produk perikanan yang menyumbang nilai ekspor cukup tinggi dengan total Rp1,4 triliun.

Biasanya, hiu-hiu yang diperdagangkan melalui jalur ekspor, adalah dalam bentuk daging, sirip dan tulang, serta hiu dalam kondisi hidup. Produk-produk tersebut, selalu laris manis dijual di negara tujuan seperti Tiongkok yang selama ini selalu menjadi negara utama tujuan ekspor. Pada 2017, Tiongkok menyumbang nilai ekspor hiu hingga Rp626 miliar.

Sementara, untuk ekspor hiu hidup, pada 2017 Indonesia menasbihkan Hong Kong sebagai negara tujuan dengan pengiriman terbanyak hingga 1.098 ekor. Hiu-hiu yang dikirim itu, menurut KKP, adalah hiu yang masuk kategori Appendix II atau boleh diperdagangkan tetapi harus mendapat pantauan ketat. Sedangkan, untuk hiu jenis martil dan koboi, hingga saat ini sudah resmi dilarang diperjualbelikan di Indonesia.

***

Keterangan foto utama : Dua orang buruh angkut membawa hiu dari kapal ke tempat lelang. Latar belakang tampak poster jenis hiu dan pari yang dilarang ditangkap dan diperdagangkan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version