Mongabay.co.id

Jatam: Batubara Masih jadi Lokomotif, Oligarki Terus Bayangi Sektor Tambang

Aktivitas pencarian jenazah almarhum Alif di lubang bekas tambang batubara pada 2018. Foto dok Jatam Kaltim

 

 

Pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menemukan sejumlah catatan penting soal paradigma pembangunan, terutama soal tambang dan energi, yang tertuang dalam kebijakan dan produk hukum.

“Pasca pemilu 2019, kebijakan beraroma ijon politik berikutnya Jatam prediksi muncul kembali melalui sejumlah agenda politik terdekat,” kata Ki Bagus Hadikusuma, Pengkampanye Jatam saat peluncuran catatan awal tahun Jatam 2020, di Jakarta, pekan lalu.

Mulai penyusunan menteri di kabinet jilid dua, pelantikan presiden dan wakil presiden, penyusunan RPJMN, hingga peresmian anggota parlemen baru terpilih, kata Bagus, sebenarnya wajah lama dan tak terpisahkan rekam jejak mereka dari industri ekstraktif.

Baca juga: Teror Tambang Batubara Hantui Warga Madiangin

Kebijakan beraroma ijon politik lain, katanya, juga ada dalam kebijakan keputusan pemindahan ibukota melalui skema mega proyek dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

Menurut Jatam, beberapa politisi dan oligarki yang terhubung dengan pemilu diuntungkan dari mega proyek ini.

Berbagai produk kebijakan memperkuat pandangan ini, antara lain, PP No 24/2018 tentang pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau dikenal dengan online single submission.

Juga, penghapusan kewajiban amdal lewat Permen LHK No P.24/2018 tentang pengecualian kewajiban menyusun amdal untuk usaha atau kegiatan yang berlokasi di daerah atau kabupaten/kota yang memiliki detail tata ruang. Kemudian, Permen LHK No. P.38/ 2019 tentang jenis rencana usaha dan atau kegiatan yang wajib memiliki amdal. Ada juga rencana omnibus law lewat parlemen.

 

Batubara masih lokomotif

Industri batubara, Bagus perkirakan, masih jadi lokomotif kebijakan energi dan ekonomi nasional pada 2020-2024.

“Dalam pidato kenegaraan kedua 16 Agustus lalu, Presiden Jokowi menyinggung tentang rencana hilirisasi batubara,” katanya, seraya bilang, hal ini mengindikasikan, presiden, kabinet, dan parlemen masih terus dikendalikan oligarki politik batubara.

Melky Nahar, pengkampanye Jatam, mengatakan, pemerintah mengundang investasi sampai ke kampung-kampung dengan alasan untuk membuka lapangan pekerjaan.

“Pertanyaannya, lapangan pekerjaan untuk siapa? Investasi yang sampai ke kampung adalan pertambangan batubara. Investasi yang sangat berbahaya bagi keselamatan rakyat dan keberlanjutan layanan fungsi alam,” katanya.

Baca juga: Cerita Warga Menanti Wawonii Terbebas dari Pertambangan

Di tengah tren global yang mulai meninggalkan batubara sebagai sumber energi, katanya, pemerintah dan sejumlah elite malah sibuk menyiapkan instrumen konsumsi batubara agar terserap pasar dan menyelamatkan industri ini. Mulai dari rencana hilirisasi, gasifikasi batubara hingga menghilangkan domestic market obligation (DMO) untuk memperlancar ekspor batubara.

“Inti kebijakan masih merayakan batubara sebagai sumber dana utama oligarki.”

Salah satu indikator, menurut Jatam, produksi batubara selalu melewati target—548 juta ton dari target 485 juta ton pada 2018—ditambah sejumlah regulasi dan peraturan perundang-undangan yang ‘ramah’ investasi batubara.

 

PLTU Teluk Sepang. Foto: Rusdi/Mongabay Indonesia

 

Dia sebutkan, mulai rancangan umum ketenagalistrikan hingga rancangan revisi RUU Minerba yang sedang dibahas di parlemen. Dalam beberapa pasal dan ayat dalam revisi RUU Minerba, katanya, memberi kemudahan, insentif fiskal dan non fiskal bagi rencana perpanjangan izin tujuh perjanjian karya pertambangan batubara (PKP2B) yang sudah dan akan habis masa kontraknya.

Baca juga: Nyawa Warga Jambi Terenggut Angkutan Maut Batubara

Selain itu, katanya, hilirisasi industri batubara melalui PLTU mulut tambang yang terintegrasi dengan batubara. “Ijon politik dalam bentuk kebijakan dan peraturan melalui rencana revisi UU Minerba adalah wujud korupsi fungsi-fungsi negara. Fungsi negara melalui legislasi, peraturan mengenai pertambangan, telah dikorupsi oleh oligarki di parlemen,” katanya.

Dengan begitu, kata Melky, fungsi negara dalam memastikan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan menghargai keseimbangan ekosistem tak tercapai.

Sebaliknya, revisi UU ini justru melayani dan memperkaya korporasi serta oligarki pendukungnya. Dia bilang, setidaknya, tujuh perusahaan besar batubara seperti Adaro dan Kaltim Prima Coal (KPC) diuntungkan pasal ini.

“Apalagi, di belakang kedua perusahaan itu terdapat nama Aburizal Bakrie dan keluarga Thohir yang tak bisa dipisahkan dari kontestasi pilpres 2019.”

Dengan kata lain, revisi UU Minerba masih punya semangat ekspansi dan sarat rente serta celah korupsi. Hingga masih ingin membongkar batubara dan jadikan tumpuan energi meskipun terbukti sebagai sumber energi kotor dan mematikan.

“Ini membungkam pengalaman-pengalaman warga yang tinggal maupun yang diusir dari ruang hidup karena digerogoti daya rusak tambang.”

 

Konflik dan kriminalisasi

Hampir seluruh cerita tambang masuk Indonesia selalu diwarnai konflik baik antara masyarakat dan perusahaan, masyarakat dengan pemerintah maupun antar masyarakat sendiri.

Catatan Jatam, 44% wilayah Indonesia dikaveling tambang. Sepanjang 2014-2019, tata kelola tambang menyebabkan 200 orang dikriminalisasi dalam 33 ragam kasus, menggunakan 10 pasal utama dalam UU Minerba, KUHP, UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU Simbol Negara dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kebanyakan, katanya, konflik soal protes penolakan tambang batubara, emas dan batu gamping untuk kepentingan pabrik semen.

“Sebagian konflik ini tampak diciptakan sedemikian rupa untuk memecah kekuatan perlawanan rakyat, bahkan lebih ekstrem, mematikan daya resistensi warga,” kata Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jatam.

 

Rahmawati memegang foto anaknya, M Raihan korban ke sembilan lubang tambang batubara. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Tujuan konflik ciptaan, kata Merah, agar agenda bisnis perusahaan tambang dan kebijakan pemerintah berjalan mulus tanpa hambatan.

Catatan Jatam, antara 2014-2019, ada 71 konfllik antara masyarakat penolak tambang melawan pemerintah dan perusahaan tambang. Kasus-kasus itu, katanya, terjadi pada lahan seluas 925.748 hektar atau setara dua kali luas Brunei Darussalam seluas 576.500 hektar. Tahun lalu, Jatam mencatat delapan konflik baru di lahan seluas 192.203 hektar.

Tiga daerah dengan kasus tertinggi yakni Kalimantan Timur (14 kasus), Jawa Timur (8), dan Sulawesi Tengah (9) dan pesisir pulau kecil yakni Pulau Wawonii.

Jenis tambang penyebab konflik, tambang emas (23 kasus), batubara (23), dan pasir besi (11). Dari kasus-kasus itu, 12 penembakan oleh aparat, 15 bentrokan fisik, dan sembilan aksi blokir jalan tambang.

Sepanjang 2019, ada empat kasus kriminalisasi, dua diduga penyerangan yang menyebabkan kematian, dan empat kasus intimidasi oleh preman diduga suruhan pemilik perusahaan tambang.

“Total seluruhnya ada 10 kasus,” kata Merah.

Sebaran wilayah kriminalisasi, terbanyak di Kaltim dan Jawa Tengah (4 kasus), diikuti Bangka Belitung (2), Maluku (2), Jawa Timur (1), Sumatera Utara (1), Sumatera Barat (1), Kalimantan Selatan (1) dan beberapa wilayah lain.

Nuraini Wilinsen, periset pusat data Jatam menambahkan, setidaknya ada 10 pasal kerap untuk kriminalisasi warga dan aktivis penolak tambang. Ada Pasal 162 UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tentang gangguan terhadap aktivitas pemegang IUP dan IUPK. Juga Pasal dalam UU KUHP. Selain itu, ada warga kena Pasal 107a UU No 27/1999 tentang perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.

UU No 18/2013 tentang P3H juga menjerat dua petani Surokonto Wetan yang mempertahankan lahan dari tukar guling antara Perhutani dan PT Semen Indonesia, di Rembang.

Beberapa pasal baru kena ke warga penolak tambang yakni Pasal 24 huruf a UU No 24/2009 tentang bendera, bahasa dan lambang negara serta lagu kebangsaan. Juga beberapa pasal dalam UU ITE.

“Prediksi Jatam, kriminalisasi terhadap warga dan aktivis penolak tambang akan makin meningkat setelah pengesahan revisi UU Minerba yang sekarang ditunda dan lanjut dalam waktu dekat,” kata Merah.

 

Masri memeluk pohon mete. Dari mete kata Masri sudah bisa hidup sejahtera. Dia terus menolak kehadiran perusahaan tambang yang bisa merusak kehidupan mereka. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Mengundang bencana

Dalam laporan awal tahun ini, Jatam juga menyoroti kehadiran tambang yang, ikut mengundang bencana. “Sayangnya, bencana industri pertambangan ini kerap kali tidak diakui oleh pelaku pertambangan, bahkan juga penyelenggara negara,” kata Merah.

Sepanjang 2019, wilayah ‘kaya’ konsesi tambang dengan banjir terparah terjadi di Bengkulu, Konawe Utara dan berbagai titik di Kalimantan Timur. Di Konawe Utara, ada 71 IUP, 68 tambang nikel. Di Kaltim, disebut Jatam sebagai ibukota tambang batubara, punya konsesi seluas 1.006.139,63 hektar dan Bengkulu 34 IUP luas konsesi 146.850,49 hektar.

Di Bengkulu, banjir bandang hampir di semua kabupaten dan kota. Di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengkulu ada delapan konsesi perusahaan tambang batubara dengan luasan 19.000-an hektar.

Di hilir, Kepahiang juga banjir karena hutan lindung Bukit Daun rusak karena tambang yang berdampak pada daerah resapan air.

DAS Ketahun di bagian utara Bengkulu juga sudah jadi tambang. Saat hujan deras, banjir bandang menelan 24 korban jiwa dan hilang serta lebih 12.000 warga mengungsi.

Di Samarinda, Kaltim, 17% kota sudah jadi tambang batubara, banjir bukan fenomena baru. Pada 2011, ada 29 titik banjir di Samarinda, naik jadi 40 titik banjir pada 2015 dan 48 titik pada 2019.

Pada Juni 2019, air menggenangi kurang lebih satu pekan, 47.044 warga Samarinda terdampak, 17.485 rumah sempat terendam air.

Banjir juga terjadi di Bontang dan Kutai Kartanegara. Bontang punya tujuh izin tambang, dan Juni tahun lalu pertama kali banjir di kota itu. Pertambangan merambah wilayah muara Bontang dan Taman Nasional Kutai, merupakan wilayah konservasi hingga menyebabkan banjir bandang di Kota Bontang.

Di Kutai Kartanegara, punya 625 izin tambang dengan luas 2 juta hektar dan jadi salah satu wilayah dengan daya rusak tambang terparah dibanding wilayah lain di Kaltim. Saat banjir bandang di Kukar, BNPB mencatat 16.385 jiwa terdampak banjir pada Juni 2019.

Di Konawe Utara, banjir Juni 2019 menyebabkan 5.600 warga terpaksa mengungsi. Banjir besar pada Juni 2019 mengakibatkan 9.609 jiwa mengungsi, 370 rumah hanyut, 1.962 terendam, dan 970,3 sawah, 83,5 hektar kebun jagung, 11 hektar kebun warga terdampak dan gagal panen.

Tak hanya banjir, longsor juga jadi bencana yang erat kaitan dengan kehadiran tambang. Menurut data Jatam, terjadi banjir dan longsor di tujuh DAS besar, yakni, Bengkulu, Samarinda, Bontang, Kukar, Konawe Utara, Tanah Bumbu dan Mimika. Banjir dan longsor di sekitar DAS ini melibatkan 783 izin perusahaan.

Tiga perusahaan terbesar yakni PT Freeport Indonesia, Mimika luas 202.950 hektar, PT Antam,Konawe Utara 23.133 hektar dan PT Indomico Mandiri 25.121 hektar di Bontang dan Kukar.

Lima operasi pertambangan besar di wilayah rawan bencana, menurut Jatam berpotensi besar menyumbang bencana adalah PT Dairi Prima Mineral (DPM), Citra Palu Mineral (CPM), Bumi Suksesindo (BSI), Damai Suksesindo (DSI) serta Nusa Halmahera Mineral (NHM). Konsesi DPM di wilayah rawan longsor dan patahan gempa renun seluas 24. 636 hektar.

CPM, tambang emas di pesisir Palu, baru saja dihantam gempa dam tsunami pada 2018 dengan lokasi dalam Taman Hutan Raya Poboya, hanya tujuh kilometer dari Palu.

BSI di Banyuwangi, mengeruk Gunung Tumpang Pitu dan Gunung Salakan yang merupakan tameng tsunami. NHM di Halmahera menambang sejak 1979, beberapa tahun terakhir nambang bawah tanah yang makin memperbesar potensi gempa dan longsor.

Jatam juga menemukan 165 konsesi tambang di atas 55 pulau kecil dengan luas 734.000 hektar atau setara 111 kali luas Jakarta dengan sebagian besar tambang nikel.

Tambang di pulau kecil menyebabkan krisis air bersih, pencemaran sumber air, hilang kawasan pangan, nelayan kehilangan pekerjaan dan petani harus beralih dari bertani atau minat bertani berkurang.

“Akumulasi dari oligarki, ijon politik pertambangan, tambang di kawasan rawan bencana, dan tambang di pulau kecil dan pesisir adalah krisis sosial dan infrastruktur ekologis, hingga menciptakan pembesaran pengungsian sosial ekologis,” kata Merah.

Menurut Melky, ada tren baru, 64 wilayah kerja penambangan panas bumi atau geothermal mayoritas berada di hutan lindung atau wilayah konservasi, juga mengancam keselamatan dan ruang hidup warga. Antara lain di Gunung Talang, Sumatera Barat, Padarincang-Banten, serta Mataloko dan Wae Sano di NTT.

Keselamatan rakyat terancam juga terlihat dari makin banyak lubang tambang. Ada 3.033 lubang bekas tambang dibiarkan tanpa reklamasi. Setidaknya pada 2018, memakan sekitar 115 korban baik tambang batubara, timah, atau batu gamping.

 

Awas obral izin jelang pilkada

Dengan kondisi ini, dia mengingatkan, ada 270 pilkada pada September 2020. Jatam meyakini masih jadi ajang ijon politik berkaitan dengan industri ekstraktif terutama tambang.

Jatam merekomendasikan, masyarakat menolak ikut berpartisipasi dalam pilkada kalau tak ada jaminan perlindungan hukum yang adil terhadap penggusuran ruang hidup. Juga, tak ada jaminan langkah hukum adil untuk pemulihan hak rakyat tergusur dan tak ada niat membongkar maupun menuntaskan kasus korupsi dan pelanggaran HAM berkaitan dengan tambang.

“Jatam juga merekomendasi membekukan Kementerian ESDM dan parlemen untuk evaluasi menyeluruh mulai dari perencanaan penetapan wilayah tambang hingga pengawasan dan penegakan hukum, di kawasan dan terhadap korporasi tambang.”

 

 

Keterangan foto utama: Aktivitas pencarian jenazah almarhum Alif di lubang bekas tambang batubara pada 2018. Foto dok Jatam Kaltim

Polisi memberi tanda truk pengangkut batubara yang mengalami kecelakaan di Jalan Lintas Sumatera, Muarojambi, Jambi. Di Jambi, puluhan nyawa mlelayang jadi korban yang berkaitan dengan pengangkutan batubara. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version