Mongabay.co.id

Masalah Banjir, Peneliti: Jakarta Harus Benahi Kebijakan dan Perilaku Masyarakat

Luapan air yang sangat deras di Bendung Katulampa, Bogor pada Rabu (1/1/2020) sore. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

 

Ahli Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], Muhammad Fakhrudin menegaskan, banjir yang melanda Jakarta dan sekitar, 1 Januari 2020, bukan merupakan banjir kiriman dari Bogor. Menurutya, banjir yang terjadi ini merupakan banjir di wilayah   Jakarta sendiri, daerah hilir. Selain karena curah hujan yang tinggi, kondisi tanah di Jakarta menjelang tahun baru 2020 sudah jenuh, tak bisa lagi menyerap air.

“Hujan ekstrim di hilir merupakan faktor utama terjadinya banjir di Jakarta, bukan lagi kiriman dari Bogor,” kata Fakhrudin kepada awak media pada acara bertajuk Banjir Ibu Kota: Potret Aspek Hidrologi dan Ekologi Manusia di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa [7/1/2020].
Dia mengatakan, periode 31 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020, curah hujan kategori ekstrim [>150 mm/hari] dominan di wilayah DKI Jakarta yang belum pernah terjadi sebelumnya, sejak 1990-an.

Fakhrudin juga memaparkan faktor yang mempengaruhi terjadinya banjir, yakni aspek curah hujan, tutupan lahan, dan sistem drainase. Menurut dia, 30-40 persen wilayah Jakarta saat ini berada di bawah permukaan laut. “Dan prosentasenya bertambah,” ujarnya. Disusul curah hujan di Depok mencari 92 mm/hari.

“Kecenderungan hujan deras meningkat di Jabotabek setiap tahun, terjadi akibat krisi iklim. Hujan ekstrim ini, seharusnya menjadi acuan dalam membangun drainase,” terangnya.

Sistem drainase di Jakarta juga masih mengandalkan pompa. Hal ini menyebabkan proporsi jumlah air hujan yang dikonversi langsung menjadi aliran permukaan atau direct run-off meningkat. Selama ini masyarakat Jakarta juga belum mendapatkan asesmen cukup memadai untuk peringatan banjir. Biasanya, masyarakat mendapatkan peringatan berdasarkan level ketinggian air di hulu.

“Peringatan BMKG, curah hujan selama ini belum dimasukkan dalam peringatan kepada masyarakat. Saya kira sudah saatnya masyarakat diingatkan dengan aspek ini. Selain itu, pengelolaan tangkapan air di hulu, resapan di tengah dan hilir harus serius dilakukan,” jelasnya.

Baca: BMKG : Waspadai Potensi Cuaca Ekstrim Hujan Lebat Pasca Banjir Jakarta

 

Luapan air yang sangat deras di Bendung Katulampa, Bogor pada Rabu [1/1/2020] sore. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Iptek dan Inovasi LIPI, Galuh Syahbana Indrapahasta, menjelaskan banjir DKI Jakarta baru-baru ini membuktikan buruknya pengelolaan lingkungan dengan tiga aspeknya yang saling berkaitan. Aspek teknis, ekologi, dan sosial, perlu diintervensi sehingga menghasilkan sistem ruang yang mempunyai resiliensi lebih baik terhadap banjir.

Ia menyebutkan, infrastruktur menjadi salah satu bagian penting dari upaya mitigasi. Galuh juga menyoroti optimalisasi sistem dan manajemen pengelolaan air Banjir Kanal Barat [BKB], Banjir Kanal Timur [BKT], sistem drainase, pompa atau polder.

Pembangunan BKB dan BKT sudah direncanakan sejak zaman kolonial yang menunjukkan masalah banjir sudah menjadi kekhawatiran sejak lama. “Apalagi, sistem drainase di perumahan, kantor-kantor, ataupun jalanan tidak terlalu besar, juga tidak pernah ada perencanaan matang sebelum membangun fasilitas atau bangunan,” ujarnya.

Menurut Galuh, penurunan kualitas ekologi Jabodetabek secara umum dapat dilihat dari terkonversinya lahan-lahan hijau menjadi ruang terbangun. Saat ini Jakarta menjadi kota beton, aspal dan semen. Ruang terbuka hijau [RTH] yang ada bahkan kurang dari 15 persen. Padahal, fungsi RTH itu sendiri sebagai penyerapan air,

“Sementara pengambilan air tanah tanpa kontrol berpotensi menjadikannya berkurang. Dampaknya, penurunan tanah terjadi,” ujarnya.

Pembangunan tidak terkendali di Jabodetabek, kata dia, menjadikan tanah semakin menurun, tanah resapan untuk air berkurang, membuat air mudah datang dan meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini diperparah dengan beban bangunan terhadap tanah dan ekstrasi air tanah berlebihan.

Hal lain yang menjadi perhatian Galuh adalah perilaku masyarakat yang sedikit banyak menyumbang banjir. Masyarakat masih memandang sungai sebagai bagian belakang, tempat sampah komunal. Masyarakat masih membuang sampah yang diperkirakan 0,5-08 kilogram per hari. Lebih sedikit dibandingkan banyaknya sampah yang dibuang warga Singapura, satu kilogram per hari. Namun jarang terjadi banjir di sana.

“Berarti, memang terkait perilakunya.”

Baca: Pentingnya Sinergi Antar Daerah untuk Hentikan Bencana Banjir Jakarta

 

Foto udara yang menunjukkan Jakarta Banjir pada 1 Januari 2020. Foto: Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB]

 

Aspek teknis yang juga mendapat perhatian para peneliti adalah faktor manusia. Gusti Ayu Surtiari, peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI menyatakan, permasalahan banjir di Jakarta dan sekitar adalah risiko bencana alam. “Risiko bencana karena intensitasnya sering dan lokasi banjir sejak 2007 hingga 2019 makin menyebar.”

Untuk menghadapi banjir sebagai risiko bencana, manusia atau masyarakat harus punya persiapan. Apalagi di Jabotabek, yang secara topologi dan ekologi memang memiliki risiko bencana. “Dengan curah hujan meningkat, kalau banjir datang mau apa? Mau tidak mau kita harus beradaptasi,” ujarnya.

Adaptasi harus dilakukan semua pihak, mulai individu, masyarakat, lingkungan regional, hingga nasional. Masing-masing level, kata dia, memiliki rasionalitas untuk mengambil keputusan atas tindakan yang dilakukan. Hal ini harus dilakukan sinergis, tidak saling menghambat satu dengan lainnya.

“Bencana banjir sebagai bentuk dampak perubahan iklim yang mempengaruhi berbagai hal di sekitar lingkungan. Masyarakat dan pemangku kebijakan harus melihat penyelesaian banjir sebagai penanganan jangka panjang, bukan hanya saat ini,” paparnya.

Baca: Korban Tewas Banjir Jabodetabek 60 Orang, BNPB Sebut Tambang Penyebab Bencana di Lebak

 

Banjir Jakarta awal Januari 2020 yang bukan kiriman dari Bogor. Foto: BNPB

 

Kembalikan ruang publik

Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja, menyatakan untuk menangani banjir di Jakarta, Pemerintah DKI seharusnya menghentikan kebijakan Bussiness as Usual dan model tahu-sama tahu. Masyarakat sipil juga harus lebih aktif menuntut pemerintah terkait manajemen air permukaan.

“Sedini mungkin, Pemerintah Provinsi DKI menyiapkan aturan atau kebijakan untuk lahan-lahan yang dikuasai swasta serta lahan yang akan habis hak guna bangunan [HGB] 2022 ke atas,” urainya.

Elisa mencontohkan, beberapa bangunan mall di Jakarta Utara dan pabrik-pabrik di Jakarta Barat akan habis HGB-nya rentang 2023-2025. “Seharusnya, itu dikembalikan ke publik untuk tujuan pemulihan lingkungan, pengendalian dan manajemen air, hingga stok hunian terjangkau,” terangnya, Ahad [12/1/2019].

 

Curah hujan yang tinggi, kondisi tanah di Jakarta menjelang tahun baru 2020 yang jenuh, tak bisa lagi menyerap air, menyebabkan provinsi ini direndam air. Foto: BNPB

 

Elisa mengatakan, proses perencanaan tata ruang DKI, terutama yang detail pun tidak ideal dan berorientasi ekonomi yang tidak berkeadilan. Ada ketimpangan terhadap yang miskin dan yang dianggap ilegal dan informal. Contohnya, ada pemutihan atas pelanggaran terbesar pada Rencana Tata Ruang Wilayah [RTRW] 2010 yang disahkan pada 1999.

Contoh lain yang disodorkan adalah pembedaan kebijakan terhadap deretan kampung di sepanjang Kali Sekretaris dan sebuah apartemen. “Deretan kampung ini diwarnai hijau sementara apartemen tidak,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version