Mongabay.co.id

Inilah Tantangan Pengembangan Energi Terbarukan di Pulau Sumba

PLTB yang dibangun Pertamina dan IBEKA di bukit Kalihi desa Kamanggih kecamatan Kahaungu Eti kabupaten Sumba Timur provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mulai tidak berfungsi.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Tampak terlihat banyak murid SDN Matawai Iwi sedang menghabiskan waktu siang itu. Ada anak-anak lelaki bermain bola di tanah lapang. Juga ada dua murid perempuan berseragam olahraga yang sedang bermain catur.

Beberapa anak sedang membaca di ruang perpustakaan yang terletak di bagian barat ruang kepala sekolah. Di situ pula, Mathilda Nalu, salah seorang guru sedang mengetik laporan dengan laptop.

Suara musik lembut mengalun dari speaker di ruangan. Sesekali dia memperhatikan bola lampu yang sedang diisi daya di ruang bagian belakang perpustakaan.

Baca juga: Saat Masyarakat di Sumba Timur Berjuang peroleh Energi Terang

“Listrik yang kami gunakan di ruang kelas, cas laptop, printer serta LCD proyektor semua berasal dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS),” terang Salomi Yaku Danga, Kepala sekolah SDN Matawai Iwi.

Sekolah ini terletak di Desa Kombapari, Kecamatan Katala Hamu Lingu, Kabupaten Sumba Timur. Jaraknya sekitar 60 km dari Kota Waingapu.

Dahulu untuk memenuhi listrik, mereka harus tergantung genset. Dengan adanya PLTS, sekarang guru-guru bisa mengerjakan tugas saat malam hari. Pekerjaan jadi mudah, karena listrik tidak pernah lagi padam.

 

Energi listrik menjadi kebutuhan masyarakat. Dalam gambar Mathilda T.Nalu guru SDN Matawai Iwi Desa Kombapari, Sumba Timur sedang memasang bola lampu yang akan diisi batereinya di kios energi. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Pada November 2017 SDN Matawai Iwi terpilih sebagai salah satu sekolah percontohan untuk pemasangan PLTS. Ia memiliki panel surya berdaya 1.000 wp di halaman sekolah, yang dayanya berasal dari 4 panel. Di atap ruang kepala sekolah dan perpustakaan juga dipasang panel surya masing-masing berdaya 100 wp.

“Sekolah ini merupakan salah satu lokasi pemasangan listrik tenaga surya,” kata Charles Carolus Klaping, teknisi listrik dari PT Renewable Energy Service Company (RESCO) Sumba Terang.

Baca juga: Asa Kamanggih menuju Desa Mandiri Energi dan Mandiri Pangan, Seperti Apa?

PT RESCO adalah perusahaan yang bergerak dalam penyediaan layanan instalasi, operasional, perawatan hingga layanan teknis di bidang energi terbarukan. Misinya untuk mencapai target yang ditetapkan Kementerian ESDM di tahun 2015, yaitu turut menjadikan Sumba sebagai pulau energi terbarukan atau Sumba Iconic Island (SII). Pelanggannya sekarang lebih dari 5.000 rumah tangga, di 150 desa.

Salomi menyebut sebelum ada PLTS, untuk menggerakkan genset listrik dibutuhkan minimal 5 liter bensin per hari. Jika bensin dibeli eceran di jalan negara trans Sumba seharga Rp10 ribu per liter, maka dalam sebulan (26 hari efektif belajar mengajar), sekolah harus mengeluarkan dana Rp1,3 juta.

“Kalau sekarang setiap bulan tinggal bayar Rp300 ribu ke RESCO. Pembayaran dilakukan setiap 3 bulan sekali setelah pencairan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS),” sebutnya.

Selain lebih hemat, jelasnya keuntungan lain PLTS adalah tidak ada lagi hingar bingar suara genset.

“Anak-anak juga ada peningkatan prestasi. Sekarang mereka bisa belajar malam hari, karena bawa bola lampu yang sudah di-cas ke rumah,” sambungnya.

Yang ia masud adalah bola lampu baterai model DC (direct current). Di sekolah disediakan alat pengisian baterai yang ditampung di joule box, ia berfungsi sebagai penampung energi dari panel surya, atau yang biasa disebut Kios Energi.

 

Baterai penampung daya PLTB Kalihi Desa Kamanggih yang sudah mulai terlantar dan tidak berfungsi. Harga menjadi kendala untuk melakukan penggantian. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

“Bola lampunya 3,7 volt, butuh waktu 4-5 jam untuk mengisi daya. Setelah di-cas lampu bisa digunakan selama 2-3 hari,” ungkap Charles.

Di Kios Energi, ada dua buah alat pengisian, masing-masing alat memiliki 30 lubang. Hari itu ada 14 bola lampu milik para murid yang sedang diisi. Bola lampu itu dapat dibeli di RESCO Rp50 ribu per buahnya

“Lampu jika menyala hijau menandakan sedang ada pengisian daya. Kalau tidak menyala berarti dayanya sudah penuh,” jelas Yuanti Putrinanda, petugas yang menangani Kios Energi di sekolah.

Yuanti menyebut, sejak adanya bola lampu ini, murid bisa belajar saat malam. Setelah jam 9 malam, lampu itu juga bisa digunakan oleh anggota keluarga lain.

Dahulu untuk setiap kali mengisi daya di Kios Energi, setiap orang dikenakan Rp1.500. Namun sejak beberapa waktu lalu biayanya fixed price Rp15 ribu per bulan. Sejak itu, murid yang lakukan pengisian daya agak berkurang, tutur Yuanti.

Dia bilang, masyarakat merasa harga tersebut mahal karena maksimal setiap isi daya hanya dapat dipergunakan selama 3 hari. “Inginnya kembali ke pembayaran semula saja, padahal kalau dihitung-hitung sebenarnya sama saja.”

Juga katanya, suka ada kendala jika ada kerusakan dengan bola lampu, kadang-kadang penggantian unitnya harus menunggu sampai beberapa waktu hingga stok kembali tersedia.

 

Salah satu rumah warga Desa Mandas, Kecamatan Katala Hamu Lingu yang memanfaatkan sumber energi surya. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Tantangan dan Persoalan Energi Terbarukan di Sumba

Charles tak menampik jika masih ada persoalan dalam operasi peralatan energi surya. Di seluruh Sumba, RESCO membawahi instalasi PLTS di 38 sekolah dengan total daya terpasang sebesar 57,18 kwp.

Salah satu kendala untuk lakukan perbaikan untuk alat yang rusak adalah faktor akses dan jarak. Kadang lokasi sulit dilewati oleh kendaraan, apalagi saat musim hujan.

“Memang kami akui ada banyak kendala namun komitmen untuk memberikan pelayanan terbaik harus tetap kami lakukan di tengah berbagai tantangan yang ada,” ucapnya.

Dia lalu mengambil contoh tidak maksimalnya lampu panel surya yang dapat dijumpai di kota Waingapu dan sekitarnya. Banyak lampu penerangan jalan yang dibangun pemerintah terlihat rusak dan tidak berfungsi.

Selain itu faktor harga dan kesediaan alat kadang menjadi penghambat penyediaan fasilitas berbasis energi terbarukan di Sumba.

Seperti misalnya Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Kalihi yang mubazir dan tidak bisa maksimal digunakan di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti. Dari 20 kincir angin di bukit dengan pemandangan menakjubkan ini, dua buah kincir angin patah dan jatuh ke tanah. Gedung pengoperasiannya pun seolah tidak terurus.

Umbu Hinggu Panjanji, Ketua Koperasi Jasa Peduli Kasih Desa Kamanggih yang mengelola instalasi ini mengakui PLTB tidak berfungsi secara penuh. PLTB Kalihi mulai dibangun tahun 2013 dengan menggunakan sistem hibrid yang tersambung dengan PLTS untuk penerangan 23 rumah, tapi sejak tahun 2017 mulai bermasalah.

Walau sekarang PLTB masih bisa difungsikan, tapi kerjanya tidak maksimal. Cuma 1-2 jam saja per hari karena baterainya belum diganti. Sebut Umbu, harga baterai berdaya 2 volt (800 ampere) menjadi kendala.

“Minimal butuh  6 baterai agar menghasilkan 12 volt supaya listrik bisa nyala. Satu baterai harganya Rp4,5 juta di Bandung, kalau tiba di Sumba harganya minimal jadi Rp5 juta,” ungkapnya.

Dengan perhitungan itu, maka total butuh dana Rp30 juta untuk mengganti seluruh baterai. Ini cukup memberatkan koperasi. Jika dibagi 3 tahun, -asumsi masa ekonomis baterai, masyarakat tidak mampu kalau hanya membayar dengan iuran Rp20 ribu per bulan untuk setiap rumah.

“PLTB dan PLTS bangun awalnya mahal, pemeliharaannya juga mahal,” sebutnya.

Penggunaan PLTS juga kadang menemui kendala untuk beberapa peralatan listrik. Seperti yang dijumpa oleh warga di Desa Mandas. Ada 9 rumah di desa itu yang menggunakan PLTS untuk menerangi rumah. Sayangnya saat dikoneksikan ke pesawat televisi, ia sering mati dan hidup sendiri setiap jangka waktu tertentu.

“Televisinya sering mati hidup selang 5 menit,” jelas Kalikit Lundu, salah seorang pengguna PLTS di Mandas.

Ternyata setelah tim teknis menelusuri masalahnya, persoalan terdapat pada unit kontrol pada televisi, bukan pada instalasi PLTS-nya.

 

Sumba mulai menerapkan sumber energi terbarukan seperti bayu untuk mengejar ketertinggalan listrik di desa-desa pelosok. Sayangnya setelah terpasang, tidak semua instalasi tersebut beroperasi dengan baik. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Faktor Kesadaran untuk Memelihara

Gus Firman, Monitoring, Evaluation and Learning Officer HIVOS, sebuah organisasi yang giat mendorong energi terbarukan di Sumba, mengiyakan permasalahan ini. Jelasnya, mengelola dan merawat fasilitas energi terbarukan seperti instalasi panel surya amat terasa di daerah terpencil.

“Banyak faktor, seperti rendahnya dukungan teknis bagi komunitas. Juga tidak ada simpanan dana segar untuk mengantisipasi biaya perbaikan atau penggantian peralatan,” terangnya.

Firman juga menyoroti persoalan kesadaran masyarakat untuk memelihara dan merawat fasilitas yang ada. Terkadang dia mendengar adanya pemakaian yang kurang  tepat atau melebihi daya dari kapasitas alat. Walhasil, fasilitas rusak atau berkurang umur ekonomisnya.

Di luar itu, masih banyak warga yang enggan membayar iuran, padahal kewajiban iuran digunakan untuk memenuhi biaya pemeliharaan alat.

“Ada juga fasilitas energi terbarukan yang mangkrak akibat dicuri suku cadangnya. Juga ada kecemburuan karena tidak menjadi penerima manfaat,” sambungnya.

Jelas Firman, di Sumba ada dua besar bauran energi terbarukan yaitu tenaga surya (47%) dan tenaga air (39,7%). Meskipun demikian berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pada tahun 2018 kapasitas terpasang dari energi terbarukan baru mencapai 9,3 MW atau 24,7% dari target sebesar 37,5 MW pada tahun 2020. Adapun di seluruh Sumba, dari 470 desa, baru 403 desa yang dikategorikan desa berlistrik. Maka masih perlu kerja keras untuk mencapai target yang ditetapkan.

Hal itu belum ditambah dengan adanya peralatan dan fasilitas yang bermasalah.

“Penyebab fasilitas energi terbarukan tidak beroperasi paling besar karena adanya kerusakan sebanyak 87,6 persen,” jelasnya.

Saat dijumpai, Kabid Perekonomian dan SDA Bappeda Sumba Timur Zainal Arifin Abbas pun menyadari adanya kendala dari fasilitas energi terbarukan di Sumba. Dia bilang, semua masih dalam proses belajar.

“Kita tidak bisa salahkan masyarakat juga, karena [teknologinya] baru diperkenalkan ke masyarakat,” sebutnya.

Menurut Arifin, tantangan terbesar adalah memberi pemahaman masyarakat dulu tentang pentingnya energi listrik yang sesungguhnya. Dia menyaranan transfer pengetahuan harus terus dijalankan. Baginya listrik di Sumba pada akhirnya akan mendorong produktivitas masyarakat dan membawa kesejahteraan.

Dia lalu merujuk kepada komitmen pemerintah daerah dalam mengembangkan energi terbarukan. Sebutnya, Sumba harus memanfaatkan potensi energi yang ada, dan tidak bisa hanya tergantung dari energi fosil, yang sumber bahan bakunya tidak ada di Sumba.

“Saat ini masih banyak rumah tangga yang belum menikmati listrik, padahal sumber energi baru dan terbarukan di Sumba sangat tinggi. Kita harus manfaatkan,” sebutnya.

 

 

Exit mobile version