- Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Kamihing, Kecamatan Kambata Mapambuhang Kabupaten Sumba Timur provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mulai dioperasikan bulan Januari 2016.
- Alasan ekonomi masyarakat masih lemah, membuat masyarakat masih enggan jika listrik di desanya dikelola oleh PLN.
- Tantangan pemenuhan energi listrik di desa tidak berhenti hanya sampai pemasangan unit turbin, selebihnya ada upaya pengelolaan, termasuk perawatan mesin, pemeliharaan hingga lancarnya pembayaran dari pelanggan.
- Upaya profesional harus dilakukan termasuk transparansi pembukuan dan pelaporan penggunaan anggaran.
Di sepanjang jalan yang kami lewati, terlihat tiang-ting listrik berdiri kokoh di tebing bukit savana. Terbayang dulu bagaimana sulitnya pembangunan instalasi jaringan listrik yang menerangi dua desa ini, yakni Waimbidi dan Luku Wingir yang terletak di Kecamatan Kambata Mapambuhang, Kabupaten Sumba Timur, NTT.
Mobil yang kami tumpangi lalu berhenti di ujung kampung. Selebihnya, untuk menuju Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Kamihing kami harus menyisiri jalan setapak di lereng bukit. Adapun PLTMH berdaya 22 Kwh ini didanai Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tujuannya untuk menerangi desa-desa pelosok di Sumba Timur.
Untuk diketahui, Pulau Sumba, adalah pulau yang memiliki rasio elektrifikasi yang terendah di NTT. Para pihak, termasuk pemerintah, donor, dan LSM turut berpartisipasi untuk membangun berbagai proyek untuk pengembangan energi terbarukan di pulau ini.
Setelah menyisiri jalan setapak di lereng bukit, perjalanan kami berujung di sebuah tanah datar. Sebuah bangunan rumah tampak kokoh berdiri di samping kali. Ada hamparan sawah menghijau di depannya. Rumah itu disebut rumah turbin.
“Sawah dan tanah untuk membangun PLTMH ini milik saya. Tanah ini saya hibahkan kepada pemerintah agar bisa dibangun PLTMH di tempat ini,” jelas Ngaba Dapa Tamang (51). Sekarang, dia bertugas mengoperasikan PLTMH ini.

Sebelum ada PLTMH Ngaba hanya seorang petani biasa. Selain mengandalkan hasil sawah tadah hujan, ia memelihara ternak, lazimnya pekerjaan warga pulau Sumba pada umumnya.
Ngaba pun bercerita awal berdirinya fasilitas PLTMH di desanya. Dia bilang Juli 2015 pekerjaan ini dimulai. Saat itu belum ada jalan, semua material harus dipikul melewati tebing dan sisi bukit.
Para pekerja katanya berasal dari Bandung. Jumlahnya ada 28 orang. Jelasnya waktu itu tak banyak warga Desa Waimbidi yang turut membantu pekerjaan.
“Tiap hari saya pasti disindir oleh mereka. ‘Bapak kan Ketua RW, bapak tolong panggil masyarakat untuk bantu agar pekerjaan di sini cepat selesai. Masa hanya dua orang yang bantu, yang lainnya mana’,” kisahnya mengenang.
Meski sering kena sindir namun Ngaba tetap bersabar dan dimasukkan hati. Dia percaya, masih banyak warga yang belum percaya bahwa listrik bakal menerangi desa. Ngaba berprinsip, bagaimanapun listrik harus menyala agar masyarakat bisa mendapat manfaat dari adanya penerangan.
“Akhirnya listrik mulai menyala tanggal 12 Januari tahun 2016. Saya senang sekali akhirnya warga saya bisa menikmati listrik,” ucapnya.
Rela Kerja Keras agar Listrik tetap Menyala
Siang itu mendung mulai menggayuti langit. Ngaba tampak gelisah. Sesekali tatapannya diarahkan ke awan, dirinya was-was bila hujan turun.
Sebagai petugas, maka ada tiga pintu air yang harus dikontrol kalau terjadi hujan dan banjir. Jika arus air deras, maka dia harus mengecek pintu air yang ada di bendungan, mengecek air di kolam penenang, dan yang ada di rumah turbin.
“Sehari 3 kali saya kontrol setiap pagi, siang, dan sore. Saya cek juga jangan sampai ada kotoran dan tanah yang masuk ke kolan penenang dan pipa air,” terangnya.
Ngaba lalu mengajak saya berjalan-jalan di atas pipa air yang dicat warna merah tua menuju bak penampung dan bendungan. Sesekali dia menarik ranting-ranting kayu agar tidak tersangkut di pintu bendungan dan saluran air.
“Kalau sudah mendung dan akan hujan, saya harus cepat menutup pintu air agar kotoran tidak masuk ke saluran air dan pipa air,” ungkap suami Kabeba Niwa ini.

Berkat Ngaba, maka warga desa menikmati listrik dari generator yang beroperasi 24 jam. Dia bilang jika hujan mesin dimatikan. Seminggu sekali di hari Sabtu, mesin juga dimatikan untuk penggantian gemuk di roda gigi.
Meski tanggungjawabnya berat, Ngaba tidak pernah mengeluh. Meski tidak pernah mengenyam pendidikan teknik, tapi dulu dia diajari caranya menjaga turbin oleh teknisi yang memasang turbin. Dia bersyukur turbin listrik selama ini tidak pernah rusak.
“Saya dapat gaji dari Dana Desa sebesar Rp200 ribu sebulan. Kalau beli gemuk dapat uang dari koperasi selaku pengelola,” ucapnya.
Meski honor kecil, Ngaba menganggap bahwa tugasnya penting dan bermanfaat bagi orang lain.
Faktor Pengelolaan: Tantangan Menuju Desa Terang
Saat dijumpai, Kepala Desa Luku Wingir, Matius Hamba Pullu, pun bercerita tentang keberadaan PLTMH Kamihing. Menurutnya, keberadaan PLTMH amat membantu masyarakat, meski belum seluruh masyarakat dapat menikmati terangnya listrik.
Jelas Matius, di Desa Waimbidi ada sekitar 100 rumah (120 KK). Baru sekitar 50 rumah yang terlayani listrik. Sedangkan di Luku Wingir, dari 90 rumah (96 KK), ada 20 rumah yang belum mendapat listrik.
“Ada tim survey dari Bandung dan kementrian yang sudah datang melihat kondisi air. Dikatakan bisa dilakukan penambahan daya.” Upaya itu sebutnya akan segera diusulkan ke Kementrian ESDM.
Saat ditanya apakah ada kerjasama pengelola PLTMH Kamihing dengan pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN), Matius menyebut sudah ada tawaran dari PLN untuk menawarkan kerjasama.
Tetapi dari pertemuan tokoh Desa Luku Wingir dan Waimbidi, masyarakat belum ada kata sepakat. Alasan perekonomian masyarakat yang rendah, disebut akan jadi kendala saat listrik dikelola oleh PLN. Masyarakat khawatir, jaringan listrik mereka bakal dicabut, jika tak mampu bayar listrik ke PLN.
“Saat ini kami dari dua desa belum sepakat PLTMH ini dikelola oleh PLN. Masyarakat saat ini hanya mampu bayar Rp20 ribu saja sebulannya kepada koperasi masyarakat desa,” paparnya.

Bekerjasama dengan PLN, memang ada untung ruginya. Di satu sisi, masyarakat lebih terjamin dalam layanan listrik, juga pemeliharaan pembangkit pun ditanggung oleh PLN. Jika terjadi debit air kurang atau terjadi banjir sehingga PLTMH tidak beroperasi, maka PLN akan menghidupkan generator listrik yang tersambung (on grid) dengan koneksi PLN.
Istilahnya dengan dikelola PLN, masyarakat tidak lagi perlu pusing persoalan daya aliran listrik. Listrik kapan pun akan menyala.
Meski demikian, PLN memiliki standar harga sendiri. Ada hitung-hitungan harga yang harus dibuat oleh PLN untuk menutup biaya pengadaan listrik. Seperti biaya pemeliharaan turbin sumber listrik, membayar karyawan, hingga biaya pengadaan instalasi pelanggan.
Saat dijumpai terpisah menanggapi hal ini, Gus Firman, Monitoring, Evaluation and Learning Officer HIVOS, lembaga yang aktif membantu penyediaan energi terbarukan di Sumba, menyebut untuk mewujudkan persoalan kemandirian energi di masyarakat tidak hanya berhenti sampai turbin terpasang.
Dia menyebut hal lain penting adalah pengelolaan pasca operasi pembangkit. Jangan sampai pembangkit listrik berhenti beroperasi karena pengelola tidak memperhitungkan model bisnis energi.
“Jika tidak dikelola PLN, maka lembaga pengelolanya harus profesional. Apakah biaya yang dibebankan kepada pelanggan sudah memperhitungkan biaya perawatan mesin, pembangkit serta jaringan. Kalau mana yang lebih sesuai pengelolaannya [apakah PLN atau operator] tentu itu kan tergantung situasi ya,” katanya.
Lembaga pengelola pun harus memperkuat diri baik dari sisi teknis maupun non teknis, seperti transparasi pembukuan. Jangan sampai masyarakat berhenti membayar, karena laporan keuangan tidak jelas, sehingga orang tidak lagi percaya dan mulai berhenti membayar.
Hal lain adalah akses terhadap suku cadang untuk perawatan mesin dan jaringan. “Kalau uang ada, tapi informasi terhadap suku cadang dan apa yang perlu dirawat berkala tidak ada, ya tidak bisa berjalan,” ungkap Firman.