- Desa Kamanggih di Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur NTT adalah desa yang pertama yang mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Pulau Sumba. Listrik dinikmati masyarakat dan membantu meningkatkan produktivitas ekonomi.
- Saat ini Koperasi masyarakat menjual listrik dari PLTMH ke PLN. Warga pun dapat menikmati aliran listrik selama 24 jam.
- Untuk memasak, pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas dikembangkan. Warga tidak lagi mencari kayu bakar atau membeli minyak tanah hanya untuk menyalakan kompor. Biogas pun mendorong produktivitas ternak.
- Kedepan, setelah mencapai kemandirian energi, Desa Kamanggih berupaya untuk menjadi desa mandiri pangan.
Seperti layaknya desa lain, Desa Kamanggih yang terletak di Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, kehidupan warganya tergantung pada hasil tani dan ternak. Yang berbeda, sejak beberapa waktu lalu, warga desa mulai mengembangkan kemandirian energi, yang berasal dari pemanfaatan potensi energi terbarukan yang ada di desa, seperti surya, mikrohidro, bayu dan biogas.
Ide memanfaatkan sumber energi mikrohidro, awalnya bermula saat listrik di Kamanggih tidak terpenuhi oleh listrik PLN. Di tahun 2004, perusahaan negara ini membangun Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) di Lairoka. Sayangnya, listrik PLN tidak cukup menyediakan listrik untuk seluruh masyarakat.
Baca juga: Saat Masyarakat di Sumba Timur Berjuang Peroleh Energi Terang
Tak berputus asa. Adalah putra daerah setempat, Umbu Hinggu Panjanji yang mencoba memanfaatkan potensi sumberdaya air untuk menjadi listrik.
Bersama Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA), Umbu lalu membuat proposal pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) kepada HIVOS, sebuah lembaga donor asal Belanda yang peduli masalah energi terbarukan.
Ajuan pendanaan untuk PLTMH pun disetujui. PLTMH dibangun di Mbakuhau pada tahun 2011. Daya yang dihasilkan adalah 37 kw, yang dapat menerangi sekitar 100 rumah, Puskesmas, Polsek, sekolah dan beberapa menara BTS milik perusahaan telekomunikasi.
“Berkat listrik PLTMH, kegiatan ekonomi produktif masyarakat meningkat,” sebut Umbu.
Sekarang dia menjadi Ketua Koperasi Jasa Peduli Kasih, yang tugasnya mengelola listrik yang bersumber dari PLTMH Mbakuhau. Dia pun boleh berbangga, instalasi ini adalah yang pertama di Sumba.
Listrik memang membawa perubahan. Karena tersedia selama 24 jam, banyak warga Kamanggih yang sekarang membuka kios, rumah makan, usaha pertukangan, hingga pengolahan hasil pertanian. Akses komunikasi juga semakin mudah. Karena ada listrik, sudah ada menara BTS yang dibangun oleh operator telekomunikasi di Kamanggih.
Umbu bilang, saat mulai beroperasi pada Januari 2012, dikelola oleh koperasi, setiap pelanggan listrik PLTMH harus membayar iuran Rp20 ribu per bulan. Besar penetapan itu sudah memperhitungkan pengeluaran biaya operasional hingga penyusutan alat.
Ternyata keberadaan PLTMH menarik perhatian pihak PLN. Mereka mengamati bahwa jaringan dan instalasi listrik PLTMH sesuai dengan standar listrik yang berlaku. PLN lalu membuat pendekatan kepada koperasi agar pengelolaan PLTMH Mbakuhau dapat dikerjasamakan.
“Pada tanggal 28 Desember 2012 kami menandatangani MoU dan menjual listrik ke PLN. Kami jual listrik ke PLN dengan harga Rp475 per kwh. Meski jika mengacu pada standar harga penjualan listrik di Sumba, PLN harusnya bisa beli dengan harga Rp1.100 per kwh,” ungkap mantan anggota DPRD Sumba Timur ini.
Menurut Umbu ada beberapa alasan yang membuat koperasi akhirnya mau menjual listrik kepada PLN seharga Rp475 per Kwh.
Dia katakan, PLN melakukan investasi yang cukup besar dengan membuka jaringan listrik hingga 5 km. Selain itu, 110 pelanggan warga desa didaftarkan untuk mendapat listrik secara gratis. Juga, dua orang operator turbin PLTMH direkrut menjadi karyawan PLN tanpa syarat, dan mendapat gaji sesuai standar PLN.
“Juga, kesepakatan kontraknya, listrik harus menyala 24 jam. Bila debit air kurang atau terjadi banjir hingga PLTMH tidak beroperasi, PLN siap hidupkan generator listrik tambahan,” lanjutnya.
Saat ini PLTMH sudah dapat melayani 350 rumah. Untuk menunjang ekonomi masyarakat berkat adanya listrik, koperasi pun memperoleh bantuan mesin pengolah jambu mete.
Pada tahun 2017, kepada koperasi ada bantuan hibah dari sebuah badan donor, untuk membangun dua pembangkit Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), berlokasi di Tanarara Maobokul berdaya 95 Kw dan di Kambata Bundung berdaya 65 Kw.
“Kami dari koperasi berencana untuk melakukan interkoneksi tiga pembangkit besar ini. Proyeksinya dengan 3 pembangkit ini terkoneksi, maka 20 tahun ke depan Desa Kamanggih dan beberapa desa tetangga tidak alami krisis listrik,” ungkapnya.
Pemanfaatan Biogas
Saya sempat berkunjung ke rumah seorang warga Desa Kamanggih, Umbu Kamba Raja namanya. Layaknya adat di Sumba, jika ada tamu yang datang berarti harus ada kopi dan sirih pinang sebagai teman saat berbincang.
Biasanya tuan rumah amat bangga jika kopi cepat dihidangkan. Jika terlalu lama, dikhawatirkan nanti tamu sudah keburu pergi.
“Sekarang dengan kompor biogas, hanya butuh dua sampai tiga menit bikin kopi,” seru Kamba, seraya tertawa lepas.
Dia lalu mengajak saya melihat instalasi biogas di sekeliling rumah. Di dapur rumahnya, dia mendemonstrasikan cara memanaskan air dengan kompor gas. Hasilnya air mendidih dalam waktu singkat.
“Gas dihasilkan dari septic tank, bisa dicampur dengan kotoran ternak yang dimasukkan dalam lubang pembuangan,” jelas Kamba. Dia tak merasa rugi meski harus merogoh Rp10 juta uang pribadi untuk membangun instalasi biogas di halaman rumahnya.
“Saya merasa untung dengan biogas. Sekarang saya tidak perlu repot lagi beli minyak tanah ke kota hanya untuk nyalakan kompor.” Jika musim hujan tiba pun, dia tak lagi pusing menyalakan api, karena masalah kayu bakar yang basah.
Dari sebanyak 214 KK (836 jiwa) warga Kamanggih, hingga akhir tahun 2019 baru 27 rumah yang sudah menggunakan kompor biogas. Biasanya, lewat koperasi instalasi biogas dibangun.
Menurut Umbu Hinggu, masalah terbesar adalah membawa kesadaran baru bagi masyarakat. Ada sebagian masyarakat yang masih menunggu bantuan pemerintah untuk membangun instalasi biogas, padahal mereka orang yang mampu.
“Bangun biogas Rp10 juta mereka kaget. Padahal mereka bisa bawa ternak yang harganya puluhan juta rupiah kalau ada pesta. Tantangannya memang pada mengubah mental masyarakat,” ucapnya.
Dari sisi lingkungan, biogas cukup membantu. Masyarakat tak perlu lagi sibuk mengumpulkan kayu bakar di Hutan Lindung Lakatang. Dengan demikian, hutan pun terjaga dari perambahan.
Di sisi kesehatan, program biogas juga membantu mengurangi limbah kotoran ternak. Serpih kotoran ternak yang sebelumnya melayang di udara dan menjadi sumber penyakit, sekarang dimasukkan ke dalam instalasi biogas.
Bagi peternak, progam biogas juga memberikan manfaat. Para peternak semakin rajin memberi makan ternak. Ternaknya semakin terperhatikan, kotorannya juga dapat dimanfaatkan.
“Ternak sapi, kerbau, kuda dan babi sekarang semakin besar, harga jualnya juga semakin mahal. Kotorannya diambil. Ini semua memberikan keuntungan ekonomi,” jelas Umbu.
Ampas biogas juga dapat diolah menjadi pupuk organik. Hal ini telah dipraktekkan, salah satunya oleh Kelompok Tani Lima Sejahtera. Saat memasuki kebun tanaman kelompok, tampak pepaya, sukun, anggur, dan tanaman sayuran lainnya berbuah lebat. Pupuk organik ini dikenal sebagai bio-slurry.
“Per liter harga bio-slurry Rp15 ribu, lumayan sudah banyak yang beli,” ungkap John Lukas Ludji, salah satu anggota dari Kelompok Tani Lima Sejahtera menjelaskan.
Area pertanian, mereka integrasikan dengan instalasi biogas dan kandang sapi. Ada lima ekor sapi yang sedang makan rumput. Persis di samping kandang, instalasi biogas dibangun.
Dia bilang sejak tahun 2015, mereka mulai membangun instalasi biogas. Bahkan sekarang instalasi biogasnya mau diperbesar. Sejak mengenal bio-slurry, Jhon dan kawan-kawannya berhenti menggunakan pupuk kimia.
Air Bersih dan Mimpi Mandiri Pangan
Selain instalasi biogas, di rumah Kamba Raja sekarang juga sudah tersedia keran air yang setiap saat dapat mengalir. Padahal dahulu dia dan warga desa harus pergi ke sungai yang berada di kaki lembah yang lumayan curam.
Hal itu berubah sejak tahun 2000. Berkat adanya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) bantuan dari lembagan IBEKA, air dipompa dengan memanfaatkan listrik tenaga surya. Sejak selesainya PLTMH Mbakuhau, pompa air sekarang disambungkan ke listrik yang berasal dari PLMTH.
“Kami mulai memasang meteran air tahun 2013. Pembayaran sesuai pemakaian. Hampir semua warga punya meteran air dan bayar ke koperasi,” ungkap Kamba.
Bagi Umbu Hinggu memanfaatkan potensi energi terbarukan hasilnya semakin tampak nyata. Desa Kamanggih semakin bergeliat.
“Kuncinya, harus ada komitmen untuk berubah. Jangan mempergunakan paradigma lama,” sebutnya memberikan resep keberhasilan.
Kata Umbu, kedepan mimpi koperasi adalah mendorong agar Desa Kamanggih menjadi desa mandiri pangan. Sebutnya, air akan dipompa dari sungai di lembah menggunakan listrik PLTMH dan akan dialirkan ke lahan pertanian yang berada di bukit.
“Kalau sudah mandiri energi maka akan mandiri pangan. Kita akan bangun gerakan kembali ke kebun,” pungkasnya.