Mongabay.co.id

Rumah Alami Adat Sumba Semakin Sulit Dibangun, Kenapa?

 

Dua rumah panggung kayu beratap ilalang berdiri kokoh persis di pinggir jalan di bukit Kalihi Desa Kamanggih. Rumah itu tampak indah. Saat hendak difoto, pemilik rumah mengajak mampir berbincang di teras rumah adat khas Sumba itu.

“Kedua rumah ini kami bangun tahun lalu setelah proposal yang kami ajukan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) disetujui,” tutur Umbu Nai Lapu atau Umbu Lamit Mangia, Ketua Adat Komunitas Kampung Adat Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (13/12/2019).

Umbu Nai Lapu mengakui bantuan dana sebesar Rp.400 juta dari Kemendikbud itu sangat membantu untuk membangun dua buah rumah adat di kampungnya. Rumah adat berbahan alami ini bisa bertahan 30-40 tahun.

“Ada 21 kampung lagi di wilayah adat kami yang butuh pembangunan rumah adat. Mudah-mudahan pemerintah bisa membantu pembangunannya untuk melesatrikan adat dan budaya kita,” harapnya.

baca : Rahmat Adinata dan Mimpi Jadikan Sumba Pulau Organik

 

Rumah adat Uma Andung Suku Kadumbul di Komunitas Adat Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Sumba Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Kayu Pilihan

Lazimnya pembangunan rumah adat di NTT, kayu untuk tiang rumah merupakan kayu pilihan yang hanya ada di dalam kawasan hutan adat yang dikeramatkan dan dilarang untuk ditebang.

“Kayu untuk tiang rumah adat kami ambil di hutan seperti kayu Keu, Kanawa dan Kunjur. Kayu itu kami ambil di kebun dulu nenek moyang kami olah dan saat ini sudah masuk hutan lindung,” sebutnya.

Sehingga untuk pemotongan kayu itu, Umbu Nai Lapu memberitahukan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Sumba Timur. Sejak dahulu, masyarakat memang dilarang menebang pohon di hutan kecuali untuk pembangunan rumah adat, dengan mengikuti ritual pemotongan kayu dan wajib menanam kembali agar hutan tetap terjaga.

Sedangkan Umbu Remi yang merupakan keturunan bangsawan dari komunitas masyarakat adat kampung Prailiu, kecamatan Kambera pernah mengkritik Dinas Pariwisata yang membangun rumah adat dari dana pemerintah pusat, tetapi Dinas Kehutanan menolak izin pengambilan kayu di hutan lindung.

“Dalam rumah adat orang Sumba yang paling penting 4 tiang utamanya. Kambaniru Urat atau tiang utama itu kayu Mayela yang ada di dalam hutan lindung,” tegasnya.

Dalam ritual adat, jelas Umbu Remi, tiang Kambaniru Urat dari kayu pohon Mayela itu menjadi tiang pemancar untuk meminta pertanda atau jawaban dari Marapu (Sang Pencipta).

Kesulitan akibat larangan mendapatkan kayu Mayela membuat hanya tempat ibadat Marapu atau rumah adat saja yang mempergunakannya.

“Masalahnya kayu Mayela biasanya ada di dalam hutan lindung. Rumah adat kami saja kayu Mayela kami beli karena kebetulan ada satu pohon di dekat rumah warga,” tuturnya.

baca juga : Kuda Sumba, Warisan Alam Tanah Marapu yang Semakin Menghilang

 

Rumah adat di kampung adat (praing) Prailiu, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur, NTT yang terbuat dari material alami. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Tiga Tingkatan                                                                          

Rumah adat Sumba Timur terdiri atas 3 tingkatan. Bagian atap setinggi sekitar 10 meter, bagian tengah berupa bale-bale untuk tempat tinggal dan bagian bawah atau kolong yang berjarak satu meter dari lantai rumah.

Menurut Umbu Remi, bagian atas melambangkan tentang Marapu (Sang Pencipta) dan bale-bale melambangkan manusia yang hidup dan bagian kolong rumah melambangkan dunia bawah atau orang mati.

Saat pembangunan, ada Rato (pemimpin ritual) yang naik di bagian atap dan ada Rato yang di bagian bawah atau tanah. Rato yang berada di bawah akan berteriak apakah engkau melihat tempat asalnya orang Sumba (Malaka Tanabara).

“Rato yang berada di atas akan menjawab ya saya melihat. Pertanyaan itu akan diulang sebanyak 3 kali. Dengan begitu, atap rumah adat dibuat tinggi menjulang melambangkan Marapu atau Sang Pencipta yang berada di tempat yang tinggi,” sebutnya.

Struktur rumah adat di Sumba Timur mempunyai 36 tiang utama. Bagian depan ada Hanamba dan ada bagian yang lebih tinggi di depan disebut Kuruwangge yang diperuntukan bagi tamu laki-laki. Bagian dalam ada ruangan untuk tamu perempuan yang dinamakan Kaheli Bokul. sementara untuk tuan rumah namanya Kaheli Marinju. Bagian dalam Kambaniru Lundung dengan 4 tiang utama yakni Maurat, Matanggu Taku, Matanggu Uhu Wai dan Payelu.

“Bagian atas atau loteng untuk tempat penyimpanan Tanggu Marapu yang tidak sembarang orang mengeluarkannya sebab disakralkan dan hanya dikeluarkan untuk dimandikan setahun sekali. Ada Tanggu Marapu yang di Kaheli bisa dikeluarkan untuk ditunjukan,” jelasnya.

menarik dibaca : Foto : Wanita-Wanita Tangguh Pejuang Tenun Ikat Sumba

 

Masyarakat komunitas adat Kamanggih mengangkut kayu untuk tiang utama pembangunan rumah adat (Uma Andung) suku Kadumbul di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, NT). Foto : Komunitas adat Kamanggih/Mongabay Indonesia

 

Peran Pemerintah

Pembangunan sebuah rumah adat (Uma) membutuhkan waktu hingga 6 bulan, dimulai sejak pemotongan kayu di hutan hingga pengatapan. Semua proses tersebut dilakukan melalui tahapan ritual dan melibatkan segenap anggota komunitas adat.

Umbu Nai Lapu bercerita bagaimana warga bergotong-royong saat pembangunan rumah adat di Kamanggih. Dari penebangan kayu Mayela di hutan, kemudian digotong beramai-ramai hingga ke jalan raya untuk diangkut mobil sampai depan perkampungan, lalu digotong kembali oleh warga sampai lokasi pembangunan rumah adat.

“Rumah adat kami bangun selama 4 bulan karena harus sesuai dengan kontrak kerja yang dibuat pemerintah. Untuk bangun rumah adat ini saja saya beli  ayam hingga Rp.20 juta belum dihitung  beli babi beberapa ekor dan saat pendirian tiang utama saya potong 2 sapi milik sendiri,” jelasnya.

Peran masyarakat adat dalam menjaga lingkungan dan alam di Sumba, kata Umbu Remi, sangat besar. Ada hutan yang masih disakralkan termasuk pepohonan untuk membangun rumah adat serta ada tempat penyelenggaraan ritual adat.

Dahulu hubungan antara manusia dengan alam sangat terjaga, katanya, tetapi sekarang manusia semena-mena. Banyak orang yang melakukan pengrusakan alam, hutan dan lainnya justru orang yang beragama bukan orang yang taat adat dan penghayat Marapu.

Sebagai generasi muda penerus adat budaya, dirinya meminta kepada pemerintah agar harus menjadi pelindung dan menyadari bahwa adat atau budaya adalah jati diri bangsa.

“Kalau itu sudah hilang maka apa yang menjadikan kita berbeda dengan suku dan bangsa lain. Pemerintah harus memayungi masyarakat adat karena mereka yang membuat regulasi, mengakui dan melindungi masyarakat adat,” tuturnya.

baca juga : Menengok Waturaka, Desa Ekowisata  Terbaik Nasional 

 

Kubur batu Megalitikum raja Tamu Umbu Djaka seberat 40 ton di Kampung adat Praing Prailiu, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Orang Sumba, tandas Umbu Remi, dalam memberi nama kampung disesuaikan dengan arah mata air dimana di hulu disebut Kambata dan hilir dinamakan Kiku.

Praing atau kampung adat jelasnya, tidak bisa berdiri sendiri hanya dengan satu marga atau Kabihu saja, pasti ada beberapa Kabihu.

Tantangan terbesar menjaga adat dan budaya Sumba menurutnya terletak pada manusia itu sendiri. Faktor regenerasi, bagaimana pun juga  harus sadar bahwa saat ini banyak orang yang kurang berkecimpung di adat budaya.

“Sumba Timur masih kuat dengan 4 strata sosial  yakni Rato, Maramba, Kabihu dan Ata. Rato yang memimpin ibadat, Maramba yang memimpin pemerintahan, Kabihu kaum merdeka dan Ata sebagai hamba,” ungkapnya.

Umbu Remi menegaskan bahwa agama Marapu di Sumba masih eksis. Apalagi dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membuat penghayat kepercayaan dan agama lokal diakui negara.

Orang yang sudah beragama resmi saja sebutnya, masih tetap menjalankan ritual adat dan budaya Marapu. Ia jelaskan agama Marapu juga percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

“Kami pemeluk Marapu tidak menyebut nama Tuhan secara sembarang karena Ia menciptakan manusia, yang Maha Mulia dan Maha Mendengar. Tuhan dilihat dari Kuasa-Nya, Kebesaran-Nya,” pungkasnya.

 

Exit mobile version