Mongabay.co.id

Empat Tahun BRG: Daya dan Upaya Pulihkan Gambut Negeri

Berjibaku memadamkan gambut yang terbakar di area kebun sawit perusahaan di Tanjung Jabung Timur, Jambi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Empat tahun sudah Badan Restorasi Gambut (BRG) terbentuk. Tepatnya, pada 6 Januari 2016, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres No 1/2016 tentang BRG yang bertugas merestorasi lahan gambut seluas 2 juta hektar di tujuh provinsi prioritas selama lima tahun. Wilayah itu, yakni, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua. Bagaimana capaian kerja badan ini selama empat tahun berjalan?

Wideni, Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Henda, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah mengatakan, kehadiran BRG sangat positif terbukti dengan penurunan kebakaran hutan dan lahan di Pulang Pisau. BRG banyak membangun infrastruktur sekat kanal maupun sumur bor untuk pembasahan gambut.

Baca juga: Kesiapsiagaan Masyarakat Rendah Hadapi Karhutla

Meskipun begitu Deni tak memungkiri pekerjaan BRG masih jauh dari sempurna. Menurut dia, masih banyak harus ditingkatkan, terutama berkaitan dengan program revitalisasi ekonomi masyarakat.

“Tahun 2018, program peningkatan ekonomi masyarakat sudah ada seperti budidaya semangka. Antara kebutuhan masyrakat dan program belum sinergi. Ini yang kami rasakan di desa program, jalan tak sesuai musim tanam petani. Jadi tak efektif. Ini hanya soal waktu saja,” katanya.

Pada 2016-2018, perubahan sudah mulai dirasakan. Pada 2019, kebakaran hutan dan lahan terjadi kembali di wilayah itu. Dia bilang, pemerintah lambat menangani hingga karhutla meluas.

“Contoh di Desa Tanjung Taruna. Awalnya luas terbakar lima hingga 10 hektar. Ini malah meluas hingga ke Kota Palangkaraya. Saat itu, yang memadamkan api MPA. Respon pemerintah lambat. Tak sampai satu bulan, hampir 1.000 hektar terbakar.”

Deni juga menyinggung program pembangunan infrastruktur pembasahan gambut diserahkan kepada pihak ketiga, atau kontraktor. Di awal BRG, mayoritas pembangunan infrastruktur pembasahan baik sekat kanal maupun sumur bor, melalui swakelola dengan melibatkan masyarakat. Belakangan berubah, pembangunan infrastruktur pambasahan gambut, kepada pemerintah daerah dengan mekanisme tugas pembantuan.

Pemerintah daerah, katanya, memilih menggunakan jasa pihak ketiga daripada swakelola bersama masyarakat. Deni menilai, justru jadi tak efektif.

“Mereka jarang turun lapangan. Ibarat kami 10 kali kami ke lapangan, mereka satu kali. Mereka hanya mementingkan hasil. Ini yang membuat tak efektif. Pembangunan infrastruktur pembasahan gambut dibangun bukan pada koridor yang seharusnya. Ini yang kami sayangkan,” katanya.

 

Sumber foto: presentasi BRG

 

 

Kontradiktif

Dia melihat ada aksi kementerian yang kontradiktif dengan upaya restorasi gambut, seperti program penanaman kembali perkebunan sawit. Program ini sudah masuk Pulang Pisau dengan target luasan mencapai 1.000 hektar, sudah tergarap sekitar 500 hektar.

“Ini agak lucu. Sisi lain pemerintah berusaha melindungi gambut, sisi Kementerian Pertanian berusaha mengubah gambut jadi lahan produktif. Program replanting sawit itu menyasar lahan gambut,” katanya.

Baca juga: Jatuh Bangun Selamatkan Gambut Jambi

Dia khawatir, lewat program penanaman kembali, lahan tak belum terbuka jadi terkelola. Hal ini, katanya, bertentangan dengan semangat restorasi gambut.

“Saya khawatir apabila lahan ditanami sawit, saya berani jamin, tak sampai 10 tahun, paling tersisa 10% dimiliki masyarakat, 90% diincar korporasi.”

Karena lahan berada di alokasi penggunaan lain (APL), perusahaan tak akan peduli lahan masuk peta kesatuan hodrologi gambut (KHG) dan restorasi gambut atau tidak. “Ini yang harus kita antisipasi,” katanya.

Muhammad Habibi, dari Save Our Borneo (SOB) mengatakan, sejak BRG berdiri pada 2016, banyak pembasahan gambut sudah berjalan.

BRG, katanya, juga menggandeng lembaga swadaya masyarakat untuk berkolaborasi. “Hanya masih banyak catatan terkait upaya restoirasi gambut. Banyak kebijakan pemerintah justru kontra dengan semangat restorasi gambut.”

Setelah empat tahun, katanya, SOB mencoba memposisikan memantau BRG. Ada evaluasi dalam pelaksanaan, termasuk korupsi proyek restorasi gambut yang sempat ramai di Kalteng.

Belum lagi, katanya, banyak infrastruktur tak berfungsi. Sekat kanal atau sumur bor dibangun tak pada lokasi pas hingga tetap terjadi kebakaran. “Ini menjadi catatan kita dan evaluasi bersama untuk BRG,” katanya.

Selain itu, kualitas sekat kanal ada tak sesuai standar, misal, seharusnya kedalaman 20 meter, pantauan SOB menemukan sumur bor tak sampai segitu. Bahkan, hanya dipasang pipa paralon sepanjang dua meter.

Blocking kanal juga banyak tak tepat. Banyak tidak berfungsi. Ada banyak kanal tak berarus, justru dibangun sekat kanal. Di wilayah prioritas kerja BRG saja masih banyak yang terbakar,” katanya.

Menurut Habibi, kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan semangat restorasi gambut seperti Permen LHK Nomor 10/2019. Aturan ini, masih membolehkan korporasi memanfaatkan kubah gambut kalau di area itu ada dua kubah.

Dia khawatir, semangat pemerintah terus memudahkan investasi malah melemahkan upaya restorasi gambut.

Susan Lusiana, Koordinator Proyek Wetlands International Indonesia mengatakan, upaya merestorasi gambut bukan pekerjaan mudah. Untuk memulihkan gambut, katanya, setidaknya perlu sampai 60 tahun. Yang dilakukan BRG, baru berjalan empat tahun.

Satu KHG, katanya, bisa jadi terletak di dua kabupaten bahkan provinsi berbeda. Jadi, penanganan harus berbasis lansekap. “Ini harus dipahami bersama. Membicarakan gambut, tak bisa dibatasi batas administrasi.”

 


Perpanjangan kerja BRG?

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, tugas BRG akan berakhir pada 31 Desember 2020. Kalau tak diperpanjang, tak akan ada gugus tugas khusus yang supervisi upaya restorasi gambut.

“Kita dihadapkan pada situasi pelik terkait gambut. Sampai hari ini kita belum mendengar apa pun dari presiden atau menteri terkait tentang masa depan gambut Indonesia.”

Saat ini, katanya, presiden memberikan perhatian sebesar-besarnya pada investasi sampai ada penyederhanaan aturan (omnibus law).

Waktu BRG memenuhi komitmen tinggal 11 bulan lagi. Padahal masih banyak harus mereka kerjakan. Sisi lain, ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di depan mata.

BMKG, bahkan memprediksi pada 2020 terjadi musim kering panjang.

“Dengan fokus pemerintah sekarang pada investasi, kecil kemungkinan target 2 juta hektar ini bisa tercapai.”

Dia bilang, andai BRG berhasil merestorasi gambut di APL dan budidaya yang belum berizin, bagaimana yang di konsesi dengan segala permasalahannya.

“Kami berharap, ada dukungan semua pihak menyikapi dan memberikan keyakinan kepada presiden di samping investasi, gambut juga harus diperhatikan,” kata Teguh.

Dia menyadari, BRG memiliki banyak keterbatasan. Meski begitu, bisa diatasi dengan kolaborasi strategis. Dalam perjalanan empat tahun terakhir ini, katanya, kolaborasi strategis belum optimal.

Dokumentasi Yayasan Madani di lapangan memperlihatkan, kebijakan restorasi gambut ini tidak 100% sempurna. Dia contohkan, banyak sekat kanal dan sumur bor terbangun, gagal berfungsi karena rusak.

“Ini karena kurang biaya pemeliharaan. Masyarakat seringkali mengeluh, tak ada anggaran untuk merawat infrastruktur yang sudah dibangun.”

Dia bilang, harus dipahami desain restorasi gambut bukan hanya pembangunan infrastruktur, atau pembasahan gambut. “Harus dipikirkan bagaimana upaya perawatan infrastruktur yang sudah dibangun.”

Mryna Safitri, Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG mengatakan, restorasi hanya salah satu cara memulihkan kerusakan gambut.

Dalam pemanfaatan gambut, katanya, pasti menimbulkan kerusakan hingga perlu ada pengendalian. “Ini dengan pencegahan, penanggulangan dan pemulihan. Upaya pemulihan bisa saja dibiarkan dengan suksesi alam, rehabilitasi, maupun restorasi.”

Restorasi gambut, katanya, hanya bagian dari upaya memulihkan lingkungan. “Apakah restorasi bisa memulihkan kerusakan gambut? Iya. Butuh waktu sangat lama. Jepang saja yang lahan gambut rusak 300 hektar, perlu 10 tahun untuk memulihkan. Indonesia dengan lahan gambut rusak 2,67 juta hektar, diberi waktu lima tahun,” kata Myrna.

Tugas memulihkan lahan gambut 2,67 juta hektar itu, katanya, terbagi dalam beberapa bagian. Kawasan budidaya berizin baik kehutanan maupun perkebunan seluas 1.784.353 hektar, kawasan budidaya tidak berizin 400.458 hektar, dan kawasan lindung 491.791 hektar, total lahan non konsesi 892.248 hektar.

Kalau melihat luasan area prioritas kerja BRG per provinsi, di Riau 997.292 hektar, Jambi 200.772 hektar, Sumatera Selatan 656.884 hektar. Lalu, Kalimantan Barat 149.901 hektar, Kalimantan Tengah 567.026 hektar, Kalimantan Selatan 56.487 hektar dan Papua 39.239 hektar.

“Jadi kami bekerja langsung di 892.000 hektar. Yang 1,7 juta hektar itu di konsesi perusahaan. Sesuai mandat perpres, BRG untuk supervisi. Hanya itu. Untuk pengawasan, bukan ranah BRG. Kami tak punya fungsi pengawasan. Pengawasan oleh pemberi izin,” katanya.

Myrna bilang, kalau membaca Perpres 1/2016, mandat supervisi terletak di kedeputiannya, bukan di kedeputian konstruksi.

“Saya menggunakan pengalaman saya dalam belajar hukum, ini maksudnya apa? Kepada perusahaan itu, BRG tak restorasi. BRG hanya sebatas menjalankan edukasi dan sosialisasi untuk perusahaan yang konsesi ada gambut. Supervisi itu bukan pengawasan, tapi bimbingan teknis kepada perusahaan agar restorasi gambut,” katanya.

 

Sekat kanal yang dibuat BRG. Foto: presentasi BRG

 

Hingga 2019, luas lahan gambut sudah diintervensi BRG 778.181 hektar. Di Riau (93.751), Jambi (86.125), Sumatera Selatan (142.606), Kalimantan Barat (47.521). Lalu, Kalimantan Tengah 399.657 hektar, Kalimantan Selatan (7.421) dan Papua 1.100 hektar. Luas yang difasilitasi BRG 509.709 hektar, dan berkoordinasi dengan mitra 268.472 hektar.

Myrna bilang, tahu betul ada beberapa wilayah harus segera restorasi dan bangun infrastruktur pembasahan gambut. Untuk melaksanakan itu, katanya, tak semudah yang dibayangkan. Ketika turun lapangan, seringkali BRG tak bisa masuk karena di wilayah itu sudah ada konsesi perusahaan.

“APBN tak bisa mendanai restorasi gambut di konsesi. Itu tanggung jawab pemegang konsesi. Kalau ini tetap dilakukan, kami bisa dikejar BPK. Data konsesi ini dinamis. Di lapangan, kami bisa saja menemukan ada konsesi baru yang kami tak tahu itu izin diterbitkan siapa?”

Dalam pembangunan infrastruktur pembasahan gambut, katanya, BRG mengutamakan asas free prior inform consent (FPIC). Hambatannya, seringkali tak semua warga setuju di wilayah mereka dibangun sekat kanal atau sumur bor. Misal, karena alasan menghalangi transportasi kelotok.

“Dalam persetujuan dibahas menentukan lokasi pembangunan sekat kanal atau sumur bor. Bisa saja lokasi yang sudah ditentukan sejak awal, malah bergeser.”

Hambatan lain BRG, lanjut Myrna, anggaran dari tahun ke tahun terus menurun. BRG harus putar otak untuk efisiensi.

“Ketika memilih lokasi intervensi, kami harus memikirkan hanyak hal. Bukan berarti kami tak tahu di lokasi itu harus diintervensi. Katakanlah harus dibangun 1.000 sekat kanal, misal, pendanaan hanya bisa 50 sekat kanal karena keterbatasan anggaran. Kita kerjasama dengan pihak lain, itu juga tak cukup.”

Sejak 2018, anggaran restorasi gambut sebagian besar transfer ke pemerintah daerah melalui tugas pembantuan. Pemda bertanggungjawab membangun sekat kanal dan sumur bor. Saat implementasi, tiap daerah mempunyai kebijakan berbeda-beda.

Sejak 2017, BRG banyak melibatkan kelompok masyarakat. Ketika sekarang jadi tugas pembantuan di pemda, kebijakan macam-macam, seringkali pemda tak mau melibatkan pokmas dan memilih kerjasama dengan kontraktor.

“Kami juga maunya tak melibatkan pihak ketiga. Ini menyangkut bagaimana mengelola keuangan negara. Banyak pokmas tak mengerti bagaimana cara laporan keuangan. Ketika tim BPK turun, bisa saja jadi temuan,” katanya.

Myrna juga tak menampik dari ribuan sekat kanal dan sumur bor yang sudah terbangun, tak berkualitas baik. Meski begitu, dia menolak anggapan kalau semua infrastruktur pembasahan gambut berkualitas buruk.

Untuk proyek yang tak memenuhi standar, BRG menyerahkan kepada auditor atau bisa saja proses hukum.

Myrna mengakui, empat tahun tentu belum cukup untuk menjawab semua kompleksitas masalah gambut. BRG berkomitmen mengatasi ini sesuai dengan.

Myrna bilang, restorasi gambut dengan target sebegitu ambisius, merupakan hal berat. “Tapi kami jalankan. Tak mungkin hanya dikerjakan BRG, itu sudah pasti. Terkait kolaborasi strategis, kami terbuka. Kepada kementerian, lembaga lain, juga teman-teman LSM kita juga berkolaborasi,” katanya.

Dia mencontohkan kolaborasi dengan Kementerian Desa untuk menerbitkan Permendes tentang penggunaan desa yang memperbolehkan restorasi gambut. Hingga kini, ada 143 desa sudah mengalokasikan di dalam APBDes sebanyak Rp. 16 miliar mendukung restorasi gambut.

BRG juga berkolaborasi dengan Kemenkum HAM untuk memfasilitasi pembentukan paralegal di desa peduli gambut. Kolaborasi juga bersama BNPB. BNPB, katanya, menginginkan desa peduli gambut juga jadi desa tangguh bencana. Dengan Kementerian PUPR, BRG juga sedang mendesain pembangunan sekat kanal dalam skala lebih luas dengan anggaran dari Kementerian PUPR.

“Kami percaya bapak Presiden masih punya komitmen untuk melindungi gambut. Saya melihat, gambut masih jadi perhatian beliau, mungkin perlu kebijakan-kebijakan lain. Itu tugas kita bersama untuk memberikan masukan kepada beliau,” katanya.

 

Keterangan foto utama: Berjibaku memadamkan gambut yang terbakar di area kebun sawit perusahaan di Tanjung Jabung Timur, Jambi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Sumber: presentasi BRG

 

 

Exit mobile version