Mongabay.co.id

Kinerja 100 Hari Menteri KP : Peningkatan Produksi Perikanan Harus Perhatikan Keberlanjutan dan HAM

Pembudidaya tambak mengumpulkan bandeng setelah panen di Pulau Mengare, Bungah, Gresik. Foto : Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Seratus hari sudah Edhy Prabowo menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan menggantikan Susi Pudjiastuti. Selama waktu tiga bulan lebih itu, ada banyak program kerja yang sudah dilaksanakan dan masih berlangsung hingga saat ini. Semuanya fokus pada satu tujuan, yaitu untuk menggenjot produksi perikanan secara nasional.

Tetapi, program kerja yang sedang digenjot saat ini oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dinilai harus berjalan beriringan dengan memberikan perhatian dan penerapan kebijakan perlindungan hak asasi manusia (HAM) kepada para pekerja di sektor perikanan.

Pandangan itu dikemukakan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan di Jakarta, Selasa (28/1/2020). Menurut dia, menggenjot produksi perikanan secara nasional memang menjadi pilihan yang tepat untuk dilakukan saat ini.

baca : Janji Edhy Prabowo untuk Sektor Kelautan dan Perikanan

 

 

Menteri Perikanan dan Kelautan Edy Prabowo (tengah) saat meninjau lokasi budidaya ikan di Keramba Jaring Apung (KJA) di Waduk Cirata, Kabupaten Bandung Barat, Jumat (3/1/2020). Edhy berjanji membantu permasalahan pembudi daya KJA Waduk Cirata. Foto : Donny Iqbal/Mongabay

 

Namun, sektor perikanan juga dinilai masih rentan terhadap praktik kerja paksa dan perdagangan orang. Kondisi tersebut hampir terjadi secara merata pada sub sektor perikanan tangkap, budi daya, dan pengolahan ikan. Untuk itu, Pemerintah Indonesia jangan pernah mengabaikan perlindungan HAM pada sektor perikanan nasional.

Menurut Suhufan, saat pekerja perikanan nasional berharap ada ketegasan dalam perlindungan HAM kepada mereka, justru di saat yang sama ada rencana deregulasi sejumlah kebijakan sektor kelautan dan kelautan. Rencana itu akan dilakukan melalui peninjauan kembali 29 peraturan yang ada pada sektor kelautan dan perikanan.

“Dikhawatirkan itu akan membuat sektor perikanan menjadi ajang eksploitasi sumber daya ikan tanpa memikirkan keberlanjutan,” ungkapnya.

Suhufan juga merasa khawatir jika di masa mendatang faktor pertimbangan ekonomi lebih mendominasi kebijakan perikanan dan tidak memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Padahal, fakta yang muncul saat ini adalah stok ikan secara global terus menipis, meski kondisi tersebut berbanding terbalik dengan stok ikan di Indonesia yang diklaim Pemerintah terindikasi naik.

Saat sumber daya perikanan dilakukan lebih eksploitatif, bakal meningkatkan ongkos produksi kegiatan penangkapan ikan. Kondisi itu, bakal memperberat para pelaku usaha dan nelayan, karena Pemerintah saat ini sedang mendorong armada kapal ikan untuk bisa beraktivitas di wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.

“Penangkapan ikan pada lokasi yang lebih jauh akan meningkatkan biaya BBM (bahan bakar minyak) dan biaya tenaga kerja, pelaku usaha akan menekan dua hal tersebut agar tetap kompetitif,” tutur dia.

baca juga : KIARA: Kinerja Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Diragukan

 

Kapal-kapal perikanan yang bersandar di Pelabuhan Selat Lampa, Natuna. Foto : Humas KKP

 

Pengawasan

Dengan fakta itu, Suhufan mendorong Pemerintah untuk menerapkan instrumen dan pengawasan yang kuat agar pengusaha tidak melakukan pemotongan biaya tenaga kerja. Jika itu berhasil dilakukan, maka upaya untuk mencegah terjadinya perbudakan di era modern sekarang pada sektor perikanan tangkap akan bisa dilakukan.

“Sejauh ini instrumen pengawasan ketenagakerjaan pada sektor perikanan masih dilakukan secara parsial dan itu dilakukan oleh KKP bersama Kementerian Ketenagakerjaan,” tegasnya.

Sementara Koordinator Program Safeguarding Against and Addressing Fisheries Exploitation at Sea (SAFE Seas) DFW Indonesia Muh Arifuddin meminta agar KKP lebih efektif melaksanakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.35/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi HAM pada Usaha Perikanan.

Menurutnya, kebijakan tersebut sampai sekarang masih menjadi satu-satunya produk hukum Pemerintah yang secara langsung mencegah praktik kerja paksa, pelanggaran HAM dan perdagangan orang pada sektor perdagangan. Meskipun, kebijakan tersebut masih parsial karena hanya mengatur pekerja perikanan di dalam wilayah Indonesia saja.

“Belum secara lengkap mengatur awak kapal ikan yang bekerja di luar negeri,” sebutnya.

perlu dibaca : Praktik Perbudakan kepada Pekerja Perikanan dari Indonesia

 

Nelayan menurunkan hasil tangkapan dari kapal troll di pelabuhan Tegal, Jawa Tengah. Nelayan yang menjadi ABK kapal perikanan rentang dieksploitasi kerjanya dan terjadi perbudakan kerja. Foto : Greenpeace

 

Arif kemudian mengingatkan kalau saat ini ada banyak ikan di pasar global yang ditangkap oleh pekerja perikanan yang bekerja lebih dari 18 jam per hari dengan gaji rerata hanya USD200-300 per bulan. Kondisi yang serba terbatas itu kemudian diperparah lagi dengan kenyataan bahwa di antara para pekerja perikanan tersebut banyak yang sedang terjerat utang dan pemerasan.

Salah satu bukti adanya praktik kerja paksa pada kapal perikanan, dirasakan oleh tiga orang pekerja perikanan dari Kota Bitung, Sulawesi Utara, yang bekerja sebagai awak kapal perikanan (AKP) pada sebuah kapal di Tiongkok. Selama tujuh bulan, ketiganya bekerja tanpa mendapatkan gaji dan Pemerintah Indonesia tidak hadir untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

“Seharusnya Pemerintah membantu mereka untuk mendapatkan hak-hak yang mestinya mereka dapatkan,” ujarnya.

 

Kinerja 100 Hari

Menteri KP Edhy Prabowo di Jakarta, Selasa, mengatakan bahwa selama seratus hari masa kerja di KKP, sudah ada beberapa program kerja yang berhasil dijalankan. Di antaranya, adalah reformasi perizinan, penangkapan kapal asing pelaku penangkapan ikan secara ilegal, pembebasan nelayan Indonesia, juga penguatan kerja sama internasional dan sumber daya manusia.

Selain program di atas, Edhy juga fokus melaksanakan amanah Presiden Joko Widodo untuk mengembangkan sub sektor perikanan budi daya dan memperbaiki komunikasi dengan masyarakat perikanan nasional. Kedua tugas tersebut langsung dilaksanakannya setelah menjabat sebagai Menteri KP.

Untuk pengembangan perikanan budi daya, dia menilai kalau Indonesia masih menyimpan potensi sangat besar, karena saat ini 10 persen saja potensi yang sudah dikembangkan oleh para pelaku usaha budi daya perikanan. Sementara sisanya, masih harus terus dikembangkan dan memerlukan riset dan perencanaan mendalam dengan melibatkan banyak pihak terkait.

perlu dibaca : Diminta Presiden Fokuskan Perikanan Budi daya, Begini Tantangan yang Dihadapi Menteri KP

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (dua dari kanan) didampingi Wagub Jateng Taj Yasin Maimoen (tiga dari kanan) melihat benih udang di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah. Kamis (30/1/2020). Foto : Humas KKP

 

Saat ini, Edhy mengaku kalau fokus pada perikanan budi daya adalah untuk komoditas udang. Untuk 2020, komoditas tersebut ditargetkan bisa mencapai produksi hingga 1,2 juta ton atau naik 150 ribu ton dibandingkan pada 2019 yang ditargetkan mencapai 1,05 juta ton.

Untuk mencapai target yang diinginkan tersebut, berbagai cara dan program kerja dilaksanakan oleh KKP sejak Edhy Prabowo memimpin. Di antaranya, melalui revitalisasi tambak tidak terpakai (idle) yang ada di enam provinsi, dan kemudian meningkatkan produktivitas tambak udang masyarakat melalui inovasi teknologi kluster tambak udang berkelanjutan.

“Dan rehabilitasi infrastruktur tambak seperti saluran dan jalan produksi melalui kerja sama dengan lintas sektoral terkait,” jelasnya.

Untuk amanah kedua dari Presiden RI, adalah tugas untuk memperbaiki komunikasi dengan masyarakat perikanan, terutama dengan nelayan, baik skala kecil ataupun besar. Selain itu, juga mencakup pembudi daya ikan, pengolah produk perikanan, pemasar, dan petambak garam. Amanah tersebut dijalankan dengan berkunjung ke lapangan dan bertemu dengan pemangku kepentingan terkait.

Selain itu, Edhy juga melakukan komunikasi secara terbuka dengan kepala daerah dan mengkaji penataan regulasi yang bisa menghambat pelaksanaan pembangunan nasional dan penguatan ekonomi sektor kelautan dan perikanan. Semua itu dilakukan dengan terbuka dan melibatkan masyarakat perikanan secara umum.

Di antara semua program kerja yang sedang dijalankan, Edhy menyebut kalau reformasi perizinan juga menjadi fokus saat ini, karena sistem yang berlaku sejak lama dinilai terlalu menyita waktu hingga 14 hari. Untuk itu, dia menciptakan Sistem Informasi Izin Layanan Cepat (SILAT) berbasis daring yang bisa memangkas waktu pengurusan perizinan menjadi 1 jam saja.

baca juga : Sistem Perizinan Perikanan Tangkap Dibuat Lebih Simpel, Seperti Apa?

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (depan) melihat tiga kapal ikan asing berbendera Vietnam yang diamankan di Pangkalan PSDKP Pontianak, setelah ditangkap di Laut Natuna Utara pada Senin (30/12/2019). Foto : Humas KKP

 

Sedangkan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP M Zulfciar Mochtar mengatakan, inovasi pelayanan perizinan melalui SILAT dinilai sudah membawa dampak positif bagi proses perizinan pada usaha perikanan. Salah satu buktinya, adalah penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada Januari 2020 sudah naik hingga 90,43 persen dibandingkan periode yang sama pada Januari 2019 lalu.

Selain itu, SILAT juga berhasil mempermudah proses perizinan sampai diterbitkan izin untuk 79 unit surat izin usaha perikanan (SIUP), 389 unit surat izin penangkapan ikan (SIPI), dan 28 unit surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI).

“Di manapun dan kapanpun, dengan sentuhan jari permohonan izin kapal perikanan di atas 30 GT dapat dengan mudah dilakukan,” tegasnya.

***

Keterangan foto utama : Pembudidaya tambak mengumpulkan bandeng setelah panen di Pulau Mengare, Bungah, Gresik. Foto : Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version