Mongabay.co.id

Aceh Kehilangan Tutupan Hutan, HAkA: Sehari 41 Hektar

Alam yang indah terpancari di Desa Agusen, Kecamatan Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues, pagi hari. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Luas tutupan hutan di Provinsi Aceh menyusut. Tahun 2018, luasnya sekitar 3.004.352 hektar, namun pada akhir 2019 berkurang menjadi 2.989.212 hektar. Berdasarkan SK/MenLHK No. 103/Men-LHK-II/2015, luas kawasan hutan dan konservasi perairan Provinsi Aceh berkisar 3.557.928 hektar.

Manager Geographic Information System [GIS] Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA], Agung Dwinurcahya pada 30 Januari 2020 menjelaskan, pada 2019 laju kerusakan hutan di Aceh tidak jauh berbeda dengan 2018. Di 2019, Aceh kehilangan tutupan hutan mencapai 15.071 hektar.

“Angka itu seluas 2,5 kali ukuran luas Ibu Kota Provinsi Aceh, Banda Aceh atau 14 ribu kali lapangan bola kaki. Atau, Aceh rata-rata kehilangan tutupan hutan mencapai 41 hektar per hari,” ujarnya.

Agung mengatakan, perhitungan hilangnya tutupan hutan dilakukan sangat hati-hati, tidak asal. Selain menggunakan satelit, pembuktian juga dengan cek langsung lapangan.

“Kami menggunakan citra satelit Landsat, Sentinel, Planet, dan bantuan peringatan dini kehilangan tegakan pohon GLAD alerts dari Global Forest Watch [GFW]. Sementara, cek lapangan dengan drone,” jelasnya.

Baca: Ketahuan, Perusahaan Sawit di Aceh Tamiang Rambah Hutan

 

Penebangan liar di Lamteuba, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pada 2019, Kabupaten Aceh Tengah merupakan daerah yang paling banyak kehilangan tutupan hutan yaitu, 2.416 hektar, diikuti Kabupaten Aceh Utara [1.815 hektar] dan Kabupaten Aceh Timur [1.547 hektar].

“Umumnya, tutupan hutan hilang setelah adanya pembangunan jalan,” katanya.

Agung juga menghitung tutupan hutan yang hilang di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL]. Pada 2019, tercatat 5.395 hektar, sementara 2018 hilang sekitar 5.685 hektar. Sedangkan 2017 sebesar 7.066 hektar dan 2016 seluas 10.348 hektar.

“Jika dihitung sejak 2015 hingga 2019, Aceh telah kehilangan tutupan hutan mencapai 90.071 hektar,” jelasnya.

Tim HAKA juga memantau dampak berukurangnya tutupan hutan yaitu dengan meningkatnya bencana alam seperti banjir, longsor, maupun kekeringan.

“Kami memantau melalui pemberitaan media. Pada 2019 banjir dan longsor mencapai 121 kasus di 22 kabupaten/kota, sementara kekeringan [16 kasus] terjadi di delapan kabupaten/kota,” jelas Agung.

Baca: Foto: Jalan Jantho – Lamno yang Membelah Hutan Ulu Masen

 

Jalan Jantho – Lamno yang membelah hutan Ulu Masen wilayah Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Jaya, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Teuku Muhammad Zulfikar, Koordinator Yayasan Ekosistem Leuser [YEL] Provinsi Aceh mengatakan, hutan gambut di Provinsi Aceh luasnya mencapai 339.282 hektar yang 178.247 hektar berada di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL].

“Dari 36 kawasan hutan gambut yang telah ditetapkan, 178.662 hektar statusnya lindung, sementera 160.622 hektar merupakan kawasan budidaya. Sebagian besar hutan gambut berada di bagian barat dan selatan Aceh,” sebut pria yang kerap disapa TM Zulfikar.

Faktanya, 2016-2019, lebih 52 persen kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Aceh terjadi di lahan gambut. “Beberapa kawasan gambut yang memiliki nilai konservasi dan keaneragaman hayati tinggi, telah dibebani hak dan alih fungsi lahan,” ujarnya.

TM Zulfikar menuturkan, meskipun perambahan di kawasan gambut cukup tinggi, namun upaya hukum untuk menghentikan kegiatan ilegal tersebut masih belum terlihat. “Salah satu dampaknya adalah terjadinya konflik satwa dengan masyarakat,” ujarnya.

Terkait kondisi tutupan hutan yang hilang, Mongabay Indonesia berusaha konfirmasi Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh, Syahrial, melalui telepon. Namun, hingga saat tulisan ini tayang, kepala dinas belum bersedia memberikan jawaban.

Baca: Hutan Gambut, Benteng Alami Tsunami yang Tidak Diperhitungkan

 

Sawit ilegal di hutan lindung Aceh Tamiang terus dimusnahkan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Rawan bencana

Direktur Wahana Lingkungna Hidup Indonesia [Walhi] Aceh, Muhammad Nur, awal Januari 2020 menyatakan, Aceh merupakan daerah rawan bencana alam.

“Namun, banyak kasus kejahatan atau kerusakan lingkungan yang tidak terselesaikan dengan baik. Misal, Pemerintah Aceh tidak melanjutkan kebijakan moratorium tambang dan moratorium perkebunan sawit.”

Muhammad Nur menambahkan, saat ini luas pertambangan emas ilegal mencapai 2.226,87 hektar dengan melibatkan 5.677 pekerja.

“Ada ratusan titik galian yang tersebar di sejumlah kabupaten, namun hingga saat ini pemerintah di Aceh belum mampu melakukan penertiban. Padahal, banyak pekerja meninggal akibat tertimbun galian,” ujarnya.

Masalah lain adalah, banyak masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU, pabrik semen dan perusahaan sawit yang menyuarakan masalah lingkungan tapi belum ada penyelesaian dari pemerintah. “Kerusakan lingkungan akan bertambah parah yang disusul dengan meningkatnya bencana alam. Pada 2019, akibat bencana ekologi, Aceh rugi mencapai 538,8 miliar Rupiah,” terang Muhammad Nur.

Baca juga: Ruwetnya Urusan Hutan Adat di Aceh

 

Hutan Leuser harus selalu dijaga, agar air tetap mengalir. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah saat membuka “Forestival Aceh” pada 8 Januari 2020, menuturkan, lingkungan hidup menjadi perhatian serius Pemerintah Aceh. Isu ini termasuk dalam program penting.

“Salah satunya bukti, Pemerintah Aceh memasukkan Aceh Green dalam visi misi saat ini dan memasukkan juga dalam program Aceh Hebat,” sebutnya.

Nova mengatakan, Pemerintah Aceh telah mendorong percepatan akses kelola masyarakat terhadap kawasan hutan melalui pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Aceh.

“Saat ini, telah diberikan 50 izin perhutanan sosial dengan total luas 110 ribu hektar. Rinciannya: hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan hutan tanaman rakyat yang dialokasikan bagi 14 ribu KK di seluruh Aceh.”

Selain itu, Pemerintah Aceh mendukung dan memfasilitasi terbentuknya lima Conservation Response Unit [CRU] untuk membantu penanganan konflik satwa liar dengan manusia.

“Pemerintah Aceh tengah menginisiasi rancang bangun kawasan ekosistem esensial [KEE] di delapan lokasi. Tujuannya, perlindungan dan pemulihan spesies kunci serta pengelolaan habitat satwa liar dilindungi. Pemerintah Aceh juga telah merehabilitasi hutan dan lahan seluas 13 ribu hektar tiga tahun terakhir yang tentunya dibarengi penegakan hukum,” tegas Nova.

 

 

Exit mobile version