Mongabay.co.id

Berikut Catatan Kritis soal Revisi UU Minerba

Kajian beberapa organisasi masyarakat sipil memperlihatkan, lahan-lahan bakal lokasi ibukota negara banyak sudah berizin kepada perusahaan, baik perkebunan, hutan tanaman industri maupun tambang. Setidaknya, ada 162 konsesi tambang batubara, kehutanan, perkebunan sawit dan PLTU batubara. Foto: Jatam

 

 

 

 

Revisi Undang-undang No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) masuk program legislasi nasional sejak 2015 n masuk lagi pada tahun ini.

Revisi UU ini mula-mula muncul untuk penyesuaian dengan perubahan regulasi terkait, seperti UU Pemerintah Daerah, UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH), UU Keuangan dan Penerimaan Negara, UU Tata Ruang, Kelautan dan Sistem Zonasi dan putusan Mahkamah Konstitusi.

Selain juga merespon situasi dan tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan UU Minerba, seperti implementasi pelaksanaan hilirisasi dan peningkatan nilai tambah, perubahan sistem kontrak ke perizinan, desentralisasi dan tantangannyam rekomendasi perbaikan dari korsup KPK dan KESDM.

Heriyanto, Kasubdit Bimbingan Usaha Batubara KESDM, mengatakan, revisi ini jadi evaluasi terhadap UU Minerba, setelah 10 tahun berjalan.

“Kita mencoba transparan dalam revisi UU ini,” kata Heriyanto dalam diskusi pertengahan Januari lalu.

Baca juga: Mereka Terus Suarakan Penyelamatan Tumpang Pitu dari Tambang Emas

Selama satu dekade implementasi UU Minerba, katanya, ada beberapa pencapaian positif dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara. Mulai dari penataan izin usaha pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah, maupun dari Ditjen Minerba bersama korsup KPK.

“Euforia Undang-undang Otonomi Daerah menyebabkan banyak izin usaha pertambangan terbit tanpa prosedur, tumpang tindih bahkan tak punya amdal,” katanya. Penataan izin, katanya, menyisakan sekitar 3.600 dari 10.00o-an IUP.

Selain itu, melalui UU Minerba juga telah amandemen kontrak seluruh perusahaan Kontrak Karya dan PKP2B sesuai dengan UU No 4/2009.

Sesuai amanat UU Minerba juga, telah berdiri 17 smelter yakni 11 smelter nikel, dua bauksit, dua tembaga dan satu smelter mangan untuk peningkatan nilai tambah sektor hulu mineral dalam penyediaan bahan baku industri hilir. Penerimaan negara, kata Heriyanto, juga meningkat setiap tahun.

Baca juga: Membedah Putusan PTUN Soal Tambang Semen Rembang, Berikut Kata Para Pakar

Awal Januari lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrief merilis penerimaan negara dari minerba mencapai Rp44,8 triliun dari target Rp43,3 triliun.

Hal lain yang menurut KESDM sebagai capaian 10 tahun pengelolaan pertambangan minerba yakni sistem perizinan dan pengawasan online terintegrasi, dan penyederhanaan regulasi dan perizinan.

“Ditjen Minerba telah memiliki aplikasi e-PNBP, Modi, MOMS, Momi dan MVP dalam pengawasan di sektor pertambangan minerba, “ katanya.

 

Laut, tempat hidup orang Bajo di Sulaw,esi Tenggara sudah tercemar limbah nikel. Ada amdal saja kondisi laut tercemar seperti ini, bagaimana kalau tak ada? Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Untuk penyederhanaan regulasi dan perizinan, katanya, Ditjen Minerba telah menghapus beberapa perizinan, mengurangi persyaratan, mengurangi waktu proses perizinan dengan tetap meningkatkan pembinaan pengawasan.

Namun, kata Heriyanto, ada masalah dalam pelaksanaan UU No 4/2009 terkait ketentuan yang tak dapat dilaksanakan dan perlu penyesuaian dengan UU No 23/2014 tentang kewenangan pengelolaan pertambangan dan putusan Mahkamah Konstitusi.

Menurut Heriyanto, ada masalah lintas sektor belum selesai. Contoh, masalah izin dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta tumpang tindih perizinan dengan Kementerian Perindustrian untuk IUP operasi produksi khusus pengolahan atau pemurnian dengan izin usaha industri.

Bagi KESDM, perlu aturan bentuk pengusahaan batuan skala kecil dan keperluan tertentu seperti infrastruktur, kebijakan peningkatan nilai tambah minerba dan pengaturan terkait penyesuaian kontrak jadi izin.

Terkait UU No 23/2014 tentang Otonomi Daerah, perlu penyerahan kewenangan pengelolaan pertambangan dari kota atau kabupaten, ke pemerintah provinsi dan pusat. Selain itu, perlu penghapusan luas minimum wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) eksplorasi.

Penetapan wilayah pertambangan oleh menteri juga dinilai perlu diatur, setelah ditentukan gubernur.

Heriyanto menerangkan, ada 13 isu atau substansi UU Minerba yang perlu dibahas dalam revisi, yakni, penyelesaian masalah antar sektor, penguatan konsep wilayah pertambangan, dan penguatan kebijakan peningkatan nilai tambah. Kemudian, dorongan eksplorasi untuk penemuan deposit minerba, pengaturan khusus tentang izin pengusahaan batuan, dan pentingnya akomodir putusan MK dan UU No 23/2014.

Selain itu, juga perlu penguatan pemerintah dalam bimbingan dan pengawasan kepada pemerintah daerah, penguatan peran BUMN, perubahan kontrak karya dan PKP2B menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), soal izin pertambangan rakyat (IPR), lingkungan hidup, luas wilayah perizinan dan jangka waktu IUP dan IUPK.

Heriyanto mengatakan, terkait RUU penyederhanaan berbagai aturan (omnibus law), KESDM telah memberikan masukan substansi dalam penyusunan itu. Klaster subsektor minerba pada pokoknya menjamin investasi dan kepastian hukum dalam kegiatan usaha pertambangan minerba serta penyederhanaan perizinan.

“Konsep pengaturan dalam RUU omnibus law telah disesuaikan dengan konsep RUU Minerba,” katanya.

Dalam penyederhanaan, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah mengingatkan, izin pertambangan tetap tak boleh menyalahi tata guna dan peruntukan lahan atau hutan.

Caranya, dengan tetap mematuhi keseimbangan dan kepatuhan lingkungan hidup seperti kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

“Penetapan berbagai wilayah pertambangan juga harus didasari atas KLHS atau cost and benefit analysis,” kata Maryati.

Untuk proses perpanjangan dan pergantian kontrak pertambangan jadi izin juga tak boleh menyalahi aturan UU dan tetap memperhatikan peran BUMN.

Maryati mengatakan, proses pemberian izin harus berkonsultasi dan melibatkan masyarakat sekitar tambang, pemda dan pemangku kepentingan terkait proses due diligence ketat.

“Sistem perizinan satu pintu atau online single submission harus mampu meningkatkan kepatuhan bukan hanya memperoleh izin.”

Penting juga, katanya, data luas lahan pertambangan, alih fungsi hutan atau lahan harus terbuka, tak punya konflik dengan wilayah kelola masyarakat, baik masyarakat adat maupun lokal.

Perubahan kepemilikan perusahaan pemagang IUP dan penerima manfaat (beneficial ownership), katanya, harus disampaikan kepada pemerintah dan terbuka untuk publik.

 

Hutan Batang Toru, terbabat buat tambang. Foto: Ayat S Karokaro

 

Menurut Maryati, tata kelola produksi dan perdagangan komoditas juga perlu diatur dengan pengaturan kuota produksi, pengetatan potensi ilegal trade, pengendalian produksi dan ekspor. Juga, hitungan kebutuhan untuk domestic market obligation (DMO), ketegasan hilirisasi dan pengendalian praktik penghindaran pajak.

Poin lain perlu jadi perhatian dalam revisi adalah pembenahan sistem pajak dan penerimaan negara, efektivitas pembangunan daerah dan desentralisasi, pengawasan standar good mining practices, penanganan dampak sosial dan lingkungan, peningkatan nilai tambah, dan penegakan hukum.

Khusus mengenai penanganan dampak tambang, Maryati menyoroti penanganan kepatuhan rehabilitasi lingkungan pasca tambang, pencegahan dan perlindungan kriminalisasi aktivis lingkungan, program tanggung jawab sosial transparan, partisipatif dan akuntabel dan penanganan dampak pertambangan dan perubahan iklim.

 

Aspek bencana, bahayakan rakyat

Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) punya catatan soal revisi UU Minerba. Menurut Jatam, RUU ini lebih berisi tentang kepentingan perluasan investasi dan pengusahaan pertambangan.

“Itu terlihat sejak aspek perencanaan yang tidak melihat salah satu aspek kawasan rentan bencana sesuai UU Kebencanaan,” kata Merah.

Dalam revisi UU ini, katanya, bahkan tak punya semangat membatasi perluasan atau laju ekspansi pertambangan, juga bagi wilayah produksi rakyat. Merah mencontohkan, ekspansi pada kawasan produksi pangan maupun dengan infratsruktur ekologi penting seperti pulau-pulau kecil dan pesisir.

Dalam aspek perizinan dan pengusahaan, RUU Minerba, malah mempermudah perizinan, salah satu dengan membolehkan pemegang IUP di satu provinsi memiliki IUP dengan komoditas sama. RUU ini juga membuka keran bagi penambangan logam tanah jarang dan radioaktif.

“Tidak ada aspek dalam RUU Minerba ini yang melindungi keselamatan rakyat, pembatasan ekspansi dan hak veto rakyat. Sebaliknya, akan makin menguatkan oligarki tambang, melindungi korupsi dan memberangus dengan cara mengkriminalkan rakyat.”

Mengutip draf RUU Minerba per 28 Maret 2018, kata Merah, pengendalian produksi tambang yang ditarik ke pemerintah pusat akan jadi mainan akuntansi produksi yang mengabaikan kerentanan dan daya dukung masing-masing wilayah.

Mencermati Pasal 1, 4 dan 5 RUU, ketentuan penetapan jumlah produksi komoditas tiap provinsi per tahun, diubah jadi penetapan produksi nasional. Dengan kata lain, tidak lagi mempertimbangkan kerentanan suatu daerah.

“Pemerintah akhirnya hanya menilai sumber daya alam dari sudut akuntansi belaka. Daerah tak punya peluang untuk memprotes target produksi yang ditentukan pemerintah pusat,” katanya.

Menurut Jatam, kewenangan pemerintah pusat dan daerah jadi tidak relevan kalau membaca dari sudut pandang daya rusak tambang. Sebaliknya, kewenangan pemerintah pusat dan daerah seharusnya untuk membatasi atau menciutkan perluasan produksi pertambangan.

Sorotan lain Jatam, penghilangan Pasal 165 UU Minerba hilang dalam RUU. Pasal ini, mengatur pidana bagi pejabat yang mengeluarkan izin bermasalah karena menyalahgunakan kewenangan yang bisa diberi sanksi pidana paling lama dua tahun dan denda Rp200 juta. “Ini jadi perlindungan resmi terhadap korupsi pejabat negara,” kata Merah.

Selain itu, dia juga menyoroti penambahan Pasal 1 bagian 6c dan Pasal 4 a dan b soal pembentukan holding BUMN khusus minerba yang bertanggungjawab langsung pada presiden.

“Sejauh mana holding dapat menyasar kepemilikan saham-saham asing? Sejauh mana transparansi pertanggungjawaban kepada presiden dapat menjamin keselamatan lingkungan dan publik? Kalau yang menjadi tolak ukur adalah holding Semen Indonesia, maka holding tidak akan memperkuat posisi rakyat dan lingkungan,” kata Merah.

Dalam Bab III Pasal 5 a dinyatakan, perencanaan pertambangan berdasarkan daya dukung sumber daya alam dan lingkungan, pelestarian lingkungan hidup, rencana tata ruang. Dalam ayat selanjutnya dinyatakan, semua perencanaan merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional, daerah, rencana pembangunan pertambangan minerba dan anggaran.

Seluruh instrumen HAM dan lingkungan yang disebutkan runtuh oleh frasa rencana pembangunan nasional yang mengejar pertumbuhan makro dengan perluasan kawasan industri.

“Perencanaan ini akan lebih mengakselerasi pengerukan sumber daya alam demi menopang pertumbuhan dan perluasan kawasan industri.”

Catatan lain, mengenai wilayah dan izin pertambangan rakyat yang semula disyaratkan digarap minimal 15 tahun, dihilangkan. Dengan begini, pemerintah makin mudah menetapkan suatu kawasan sebagai WPR. Jatam khawatir, ini akan jadi sumber uang ilegal baru bagi pejabat dan aparat keamanan dan peluang bagi korporasi merendahkan tanggung jawab dengan menggunakan WPR.

Selain itu, juga tidak spesifik dijelaskan terkait “peralatan teknis pertambangan yang sederhana” dan “kedalaman jenis komoditas” yang disebutkan dalam perubahan Pasal 67.

Menurut Merah, seharusnya peraturan industri pertambangan rakyat (IPR) sama ketatnya, karena potensi daya rusak sama dengan skala korporasi. Masa berlaku IPR yang meningkat jadi 10 tahun, dengan dua kali perpanjangan masing-masing lima tahun, harusnya juga melihat daya dukung suatu daerah.

“Tidak bisa semua disamaratakan dengan jangka waktu sekian tahun.”

 

Bermasalah dari hulu. Kondisi lubang tambang batubara yang ditinggalkan begitu saja, jaraknya dekat dengan pemukiman warga. Foto: dok Jatam Kaltim

 

Untuk memperpanjang atau tidak memperpanjang, katanya, harus menyesuaikan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Tujuannya, melihat daya rusak dari dimensi ruang dan waktu.

Penambahan Pasal 40 ayat 1 a soal pemegang IUP yang bisa punya lebih dari satu IUP dalam satu provinsi dengan komoditas tambang yang sama, menurut Jatam, hanya akan jadi obral IUP dengan batas luasan tak relevan. Ditambah lagi ayat 3 yang menyatakan pemegang IUP yang hendak mengusahakan mineral lain wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada menteri atau pemda.

Bagi Jatam, ini membuka ruang memformalkan mineral dengan mempermudah dan melegalkan menjual seluruh sumber daya alam dan mendapatkan rentenya.

Catatan lain, Pasal 42 yang menyatakan izin usaha eksplorasi bisa sekaligus satu kali tanpa pemisahan jangka waktu. Hal ini, katanya, memungkinkan penguasaan lahan skala besar oleh perusahaan tambang setidaknya delapan tahun.

 

Kriminalisasi

Penambahan Pasal 115 A, yang mempertegas Pasal 162, ucap Merah, akan membuka peluang kriminalisasi terhadap warga penolak tambang. Apalagi data pertambangan yang tersedia pemerintah terbagi atas data yang dapat diakses dan tak dapat diakses.

“Data seharusnya terbuka untuk publik mencakup daur hidup operasi pertambangan,” kata Merah.

Sorotan lain yang mengancam kehidupan sekitar tambang, soal perubahan bagian penjelasan ayat 2 Pasal 99 tentang peruntukan lahan pascatambang yang bisa untuk bangunan irigasi dan obyek wisata. Ini memperbanyak lubang tambang dan membuka potensi bertambah banyak korban meninggal di lubang tambang terutama anak-anak.

“Pasal ini memimalisir kewajiban perusahaan untuk rehabilitasi dan membuka celah korupsi.”

 

Keterangan foto utama: Tambang terus dibuka dengan mengancam  wilayah hidup masyarakat dan lingkungan. Foto: Jatam

 

Exit mobile version