Mongabay.co.id

Perusahaan Tambang Setop Operasi, Warga Wawonii Sejahtera dengan Berkebun

Abdul Majid, di lahan yang ditumbuhi ratusan pohon mete. Lahan ini tidak mau dia lepaskan kepada perusahaan. Memberikan lahan kepada perusahaan sama dengan bertaruh nyawa. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

Warga dan alam Pulau Wawonii, terutama di sekitar tambang, PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan PT Harita Grup, bernapas lega. Perusahaan tambang nikel ini mulai menarik alat berat dan merumahkan sekitar ratusan pekerja pada Februari 2020. Operasi perusahaan tambang ini setop sementara.

La Baa lega dan bahagia. Perjuangan warga selama ini, katanya, sedikit membuahkan hasil. “Tapi permintaan warga waktu itu cabut IUP [izin usaha pertambangan]. Semoga setelah ini, ada lagi cabut IUP GKP itu,” katanya.

Baca juga: Kala Warga Wawonii Tolak Tambang Terjerat Hukum, KKP Temukan Pelanggaran Perusahaan

La Baa,  adalah warga Desa Roko-Roko, Wawonii Tenggara, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Pria ini bertahan tak mau melepas lahan untuk fasilitas pertambangan GKP.

Dia, satu dari ribuan warga Wawonii yang tegas menolak tambang. Dia bahkan masuk dalam daftar orang yang dilaporkan ke Polres Kendari dan Polda Sultra. Dia diancam dipenjara, hanya karena mempertahankan tanah dan menolak tambang.

Baca juga: Cerita Warga Menanti Wawonii Terbebas dari Pertambangan

La Baa mempertahankan lahan yang berisikan jambu mete, kelapa dan pala. La Baa menolak tanah jadi jalan houling atau jalan lingkar untuk perusahaan agar dapat mengeruk ore nikel di pegunungan Pulau Wawonii. Selain La Baa, ada dua warga lagi seperti Wa Ana dan Amin juga sama menolak keras. Mereka ibarat benteng terakhir dari pertahanan warga menolak tambang di Wawonii.

“Jika, kita biarkan atau menjual lahan, perusahaan akan beraktivitas dan menambang. Lingkungan kami akan rusak. Kalau [hanya) saya, dapat uang dan pergi ke kota. Bagaimana dengan warga lain yang menikmati kerusakan lingkungan? Saya katakan, biar kalian mau kasi saya satu triliun uang, saya tidak akan jual tanahku,” katanya lagi.

Melky Nahar, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Melky Nahar, perlawanan warga Wawonii membuat anak usha Harita Group itu berhenti sementara, menunjukkan betapa masyarakat jadi kekuatan utama dalam perjuangan yang hampir dua tahun itu. Kemenangan ini, katanya, mesti jadi bahan refleksi dan pelajaran penting bagi masyarakat Wawonii, termasuk korban tambang di seluruh Sulawesi Tenggara.

“Bahwasannya, niat jahat perusahaan, atau investasi jenis apapun yang merusak, akan berhenti kalau masyarakat berjuang bersama-sama,” kata Melky.

Selain itu, kisah perjuangan masyarakat Pulau Wawonii hingga membuat perusahaan berhenti sementara, membuktikan kekuatan rakyat yang besar tak mudah patuh dan tunduk di hadapan korporasi, sekaligus menunjukkan kewibawaan pemerintah mudah tunduk dan patuh.

 

Kapal perusahaan dan tepian laut Wwonii, yang dipersiapkan jadi pelabuhan. Foto: dokumentasi warga

 

Kalau pemerintah berada di pihak masyarakat, memahami utuh dampak-dampak buruk kehadiran perusahaan, termasuk sejumlah dugaan pelanggaran hukum, maka, pemerintahalah yang mestinya mengambil sikap tegas, seperti menghentikan permanen operasi dengan mencabut izin tambang GKP.

Baca juga: Gubernur Sultra Cabut 9 Izin di Wawonii, Bekukan 6 Lainnya

Faktanya, sejumlah dugaan tindak kejahatan lingkungan dan pelanggaran hukum perusahaan, sepi, tanpa ada tindakan apapun. Pemerintah begitu takut dan tunduk di hadapan Harita Group.

“Kita harap, GKP juga ganti rugi kepada masyarakat Wawonii. Terkhusus mereka yang telah di PHK,” katanya.

Merah Johansyah Koordinator Nasional Jatam, mengapresiasi perlawanan warga Wawonii. Dengan perusahaan setop operasi sementara, katanya, sudah menunjukan perlawanan warga buahkan hasil.

Tidak ada yang tak mungkin, katanya, kalau rakyat sudah melawan. Merah bilang, seharusnya, pemerintah malu karena masyarakat lebih mengerti dan paham bagaimana menjaga lingkungan dan bebas tambang.

Langkah lanjutan, katanya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus turun lapangan menindak hukum GKP di Wawonii. Perusahaan sudah menarik alat berat dan pemutusan hubungan kerja sekitar 300 pekerja. “Pemerintah jangan menutup mata lagi.”

Ada dugaan pelanggaran hukum, kata Merah, seharusnya kedua kementerian ini bisa memprosesnya. Pelabuhan milik GKP, katanya, diduga melanggar hukum dengan tak memiliki izin lingkungan.

Jatam mendesak, pemerintah Sultra, agar mencabut seluruh IUP di Pulau Wawonii. Ke depan, katanya, jadi pelajaran untuk semua pemerintah di Indonesia, bahwa pulau-pulau kecil tidak menyiapkan ruang untuk aktivitas pertambangan.

“Jelas ini melanggar Undang-indang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. IUP harus dicabut agar tak ada tambang di tanah Wawonii,” katanya.

Hafidah Nur, tenaga ahli Bupati Konkep untuk penanganan kasus tambang di Wawonii, juga mendesak, pemerintah pusat, dalam hal ini KLHK dan KKP menindak tegas atas dugaan pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Berbagai temuan lapangan, katanya, sudah ada hingga pemerintah pusat perlu menyikapi segera.

Sebelumnya, , akhir September lalu, KKP kunjungan lapangan ke Pulau Wawonii, bersama sejumlah lembaga pemerintah dan sipil. Hasilnya, sejumlah pelanggaran mulai izin tambang hingga izin pembangunan terminal khusus di pesisir Pulau Wawonii.

Ditjen Penataan Ruang Laut KKP melaporkan hasil temuan lapangan kepada Ditjen Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). Awal November, Ditjen PSDKP turun melakukan penyidikan.

 

Biji mete hasil kebun warga di Kecamatan Wawonii Tenggara. Ini hasil dari panen warga selama ini kemudian dijual ke Surabaya. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Kemenangan warga Wawonii

GKP memutuskan untuk menghentikan sementara aktivitas perusahaan di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Dampak kebijakan itu, 300 karyawan menerima pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sebagian alat berat ditarik ke lokasi lain di Pulau Obi, Maluku Utara.

Dilansir dari CNN, Bambang Murtiyoso, Manager GKP mengatakan, setop menghentikan sementara aktivitas tambang karena mesti konsolidasi dan evaluasi kembali investasi mereka.

Bambang menyebut, karyawan status kontrak di anak perusahaan Harita Group itu ada 500 orang. Sebanyak 300 orang sudah PHK.

“Ini konsekuensi investasi. Kami berharap Pemda Konkep membantu memperhatikan situasi ini. Jadi, tidak semua alat berat ditarik. Hanya beberapa. Kita tidak berhenti, hanya setop sementara sambil lakukan pendekatan dengan pemda dan pemilik lahan,” katanya.

 

Panen raya, warga sejahtera dengan berkebun

Situasi Kecamatan Langara, ibu kota Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, lebih dikenal Pulau Wawonii, begitu ramai. Kala itu, November 2019, Wawonii sedang masa panen raya jambu mete.

Setelah dari Pelabuhan Langara, saya langsung menuju Desa Roko-Roko, Wawonii Tenggara. Sepanjang jalan menuju Roko-Roko saya menyaksikan laki-laki perempuan beragam umur, berbondong-bondong menuju kebun jambu mete. Panen raya sedang berlangsung. Biji jambu mete bertebaran di tanah lalu dikumpulkan.

Secara geologis, Wawonii adalah kepulauan yang mempunyai luas sekitar 2.000 km persegi dan berpenghuni lebih 30.000 jiwa mayoritas petani. Di pulau ini tumbuh subur jambu mete, sebagai andalan warga. Ada juga pala dan kelapa kopra. Selain bertani, warga juga jadi nelayan.

 

Masri memeluk pohon mete. Dari mete kata Masri sudah bisa hidup sejahtera. Dia terus menolak kehadiran perusahaan tambang yang bisa merusak kehidupan mereka. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Saya bertemu La Baa, warga yang mempertahankan tanah dari ekspansi pertambangan milik PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan PT Harita Grup. Raut La Baa begitu gembira memasuki musim panen Menyaksikan mete yang dia bertahun-tahun panen.

“Ini karena kita tolak tambang. Kalau kita jual [lahan], tidak ada lagi istilah panen. Saya biar tidak kerja di tambang, biar begini saja sudah bahagia sekali,” kata La Baa, dengan mata berkaca-kaca.

Bapak delapan anak ini terus bertahan. Kalau Wawonii jadi lahan tambang, dapat dipaktikan lingkungan akan rusak. La Baa punya lahan sekitar satu hektar dengan dominasi jambu mete.

Hidup dengan hasil kebun seperti dari jambu mete, katanya, mereka sudah berkecukupan. Dia bisa sekolahkan anak-anak, bisa menyetor pajak ke negara. Dari hasil berkebun di lahan seluas setengah hektar itu, La Baa sanggup hidup bersama istri dan delapan anaknya.

Alhamdulillah, dari hasil berkebun juga saya sudah umrah. Tidak seperti mereka (warga) yang sudah jual lahan, diberi janji mau diberangkatkan umrah tapi tidak jadi-jadi,” kata La Baa.

Hafidah Nur, ikut menyaksikan warga panen raya mete. “Dari hasil panen mete warga bisa cukup untuk hidup, mereka tak perlu tambang,” katanya di Jakarta, kepada Mongabay, belum lama ini.

Kehadiran tambang, katanya, malah merusak kehidupan warga yang hidup tenang dan damai jadi saling bermusuhan. Hubungan antar tetangga, bahkan keluarga, bisa renggang gara-gara pro dan kontra terhadap tambang. Belum lagi, kerusakan secara lingkungan. Pohon-pohon ditebang untuk jalan tambang, sampai pembuatan pelabuhan menjadi ancaman kerusakan tersendiri bagi pulau itu.

Secara ekonomi masyarakat juga terdampak. Selama ini, katanya, warga Wawonii hidup dari alam dengan bertani/berkebun dan tangkap ikan ke laut. Kala lahan-lahan mereka jual ke perusahaan tambang, warga tak lagi bisa berkebun, sumber ekonomi mereka hilang.

Kondisi ini bisa terlihat saat panen jambu mete akhir tahun lalu, sebagian warga yang sudah menjual lahan tak lagi panen. “Mereka ada yang bekerja dengan warga penolak tambang yang panen mete,” kata perempuan yang juga pengajar di Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan, Kendari ini.

Tak hanya itu, kala ada tambang, alam daratan rusak, bakal berdampak pada laut sekitar. Sumber hidup warga dari laut pun, katanya, bisa terganggu.

Kalau tambang terus beroperasi di Wawonii, kata Nur, sapaan akrabnya, sama saja dengan pembunuhan pelahan warga dan alam di sana.

 

Kebun warga yang dijual perusahaan. Nampak jalan lingkar yang dibuat perusahaan dari lokasi penambangan menuju jetty atau pelabuhan khusus PT GKP. Di Wawonii Tenggara, terdapat warga pro dan kontra perusahaan, mayoritas menolak. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Kini, tak semua bisa panen…

Kebahagiaan La Baa dan warga yang sedang panen jambu mete, tak bisa dirasakan sebagian warga Roko-Roko dan beberapa desa lain di Kecamatan Wawonii Tenggara. Ada ratusan warga kurang beruntung bahkan merugi.

Mereka adalah warga yang sudah menjual lahan di perusahaan. Akhir 2019, mereka tak panen jambu, bahkan ada warga penjual lahan mencari upah di kebun warga yang sedang panen.

Sejak memasuki masa panen November 2019, mereka tidak beraktifitas sama sekali, tak seperti tahun sebelumnya masih memungut jambu mete di kebun. Selain telah menjual lahan, pohon jambu telah rata dengan tanah. Alat-alat berat telah menumbangkan pepohonan untuk jalan tambang.

Melky Nahar, turut bersedih melihat kondisi ini. Menurut dia, secara tidak langsung masyarakat sudah bisa menilai bahwa Harita Grup memang perusahaan yang tidak bertanggung jawab, Dalam hal ini, mereka telah melakukan pengrusakan di Wawonii, kemudian melakukan PHK masal.

 

Ketrangan foto utama:  Abdul Majid, di lahan yang ditumbuhi ratusan pohon mete. Lahan ini tidak mau dia lepaskan kepada perusahaan. Memberikan lahan kepada perusahaan sama dengan bertaruh nyawa. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

Nampak dari kejauhan bascame dan pelabuhan khusus atau jetty milik PT Gema Kreasi Perdana. Lokasi ini berada di Desa Roko Roko Raya, Kecamatan Wawonii Tenggara. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version