Mongabay.co.id

Aktifitas Destructive Fishing Semakin Marak, Nelayan Flores Kian Merana. Apa Jalan Keluarnya?

 

Siang itu beberapa nelayan dan anggota kelompok Mancing Manual di Kampung Buton, kelurahan Kota Uneng, Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) tampak bersantai di seberang tanggul penahan gelombang samping dermaga Laurens Say Maumere.

Ditemui Mongabay, Senin (10/2/2020), mereka berbincang soal pengeboman ikan. La Eja, nelayan kampung Buton tampak geram karena merasakan dampak buruk semenjak aktifitas destructive fishing marak di laut utara Flores.

Sebelum tahun 2013, La Eja bersama 3 atau 4 nelayan sekali melaut dalam satu perahu sekali motor ukuran 5 hanya butuh bahan bakar 30 liter. Dulu memancing ikan demersal hanya sekitar 300 meter dari dermaga Laurens Say Maumere dengan kedalaman 30 depa. Ikan yang ditangkap pun melimpah bahkan bisa mencapai jutaan rupiah sekali melaut. Kini sampai 80 depa karena ikan mulai berpindah ke laut dalam akibat pengeboman.

“Dulu sekali melaut bersama teman 4 sampai 5 orang bisa dapat Rp.500 ribu. Sekarang kadang hanya menutupi biaya bahan bakar saja sehingga pulang pasti kena marah isteri karena tidak bawa uang. Sekarang bisa dua tiga hari melaut hingga ke wilayah barat pulau Flores. Kami bisa habiskan bahan bakar hingga 80 liter,” sebut La Eja.

baca : Pengebom Ikan Ditangkap di Flores Timur. Diduga Ada Jaringan Terorganisir

 

Perahu nelayan milik masyarakat kampung Wuring kelurahan Wolomarang kabupaten Sikka,NTT yang menangkap ikan demersal dan pelagis.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Hampir semua wilayah pantai utara perairan pulau Flores, dari pesisir kabupaten Sikka ke kabupaten Ende, Nagekeo bahkan Ngada dan Manggarai Timur tak luput dari aktifitas pengeboman.

Di Sikka sendiri, La Eja fasih menyebutkan lokasi pengeboman ikan, seperti perairan desa Wailamun, Darat Pantai, sekitar pulau Babi, utara pulau Pemana dan Sukun. Semuanya ada di dalam wilayah Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Maumere.

Sedikit ke arah barat, sejak desa Kolisia hingga perbatasan dengan kecamatan Kota Baru di Kabupaten Ende, aktifitas pengeboman masih rutin terjadi. Muhamad Mafud, ketua kelompok Mancing Manual Maumere menyebutkan, ada beberapa titik di Kecamatan Maurole dan Maukaro, Kabupaten Ende rusak akibat bom.

Kelompok pemancing menggunakan senar dan kail ini pun terpaksa memancing hingga ke barat di kecamatan Wolowae kabupaten Nagekeo. Banyak karang di wilayah perairan Nagekeo juga telah rusak akibat bom ikan.

“Dalam melakukan aktifitas, para pengebom biasanya menggunakan 2 sampai 3 kapal berukuran hingga 20 GT serta beberapa buah sampan,” terang Mafud.

baca juga : TNI AL Tangkap Nelayan Pengebom Ikan di Flores Timur. Kenapa Masih Terjadi?

Saat ini, kata Mafud, pengeboman bukan hanya di pesisir pantai tetapi sudah menyasar ke laut dalam hingga kedalaman 30 meter. Bom dilemparkan di bagian kepala rombongan ikan yang sedang melintas.

“Bukan cuma ikan berukuran besar saja yang mati tetapi anak ikan berukuran kecil semuanya ikut mati. Karang pun hancur semua sebab kadang 3 sampai 4 bom digandeng baru dilempar,” sebutnya.

La Eja mengaku kadang dirinya memungut ikan-ikan bekas bom yang terapung di permukaan laut. Pengebom hanya mengambil ikan berukuran besar saja atau kapasitas kapal sudah tidak mencukupi maka ikan lainnya dibiarkan saja mati terapung.

La Eja dan Mafud mengaku miris melihat kondisi laut di pantai utara Flores yang mengalami kerusakan. Bahkan bukan cuma karena pengeboman tetapi juga memakai racun ikan seperti potasium.

“Seorang penyelam membawa racun di dalam botol air mineral dan menyelam di karang lalu menyemprotkannya. Bukan ikan saja yang mati tapi karang juga mati dan ini juga marak terjadi sampai sekarang,” sesal La Eja.

perlu dibaca : Polda NTT Tangkap Pemasok Bahan Bom dan Pelaku Pengeboman Ikan, Bagaimana Selanjutnya?

 

Tim terpadu pengawasan laut kabupaten Flores Timur membawa pelaku pengeboman ikan di perairan laut Desa Ojandetun, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Dinas Perikanan kabupaten Flores Timur  

 

Sinergi Tiga Komponen

Kordinator  Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohamad Abdi Suhufan kepada Mongabay Indonesia, Senin (10/2/2020) meminta pemerintah provinsi NTT menyelidiki tentang rantai pasokan, rantai pasar dan rantai pelaku destructive fishing.

Rantai destructive fishing itu, katanya, diputus dengan penegakan hukum. Pelaku yang ditangkap dihukum maksimal sesuai ketentuan UU No.45/2009 tentang Perikanan.

Terkait ilegal fishing yang terjadi dari provinsi lain, Abdi menduga hal itu dilakukan nelayan Andon. Kegiatan ini menurutnya, sebenarnya sudah diatur dalam Permen KP No.36/2014 tentang Andon Penangkapan Ikan.

Abdi menyarankan perlu dicek apakah pemerintah provinsi  asal nelayan sudah bekerja sama dengan pemprov NTT. “Jika belum, maka sebaiknya didorong untuk lakukan kerjasama dengan MoU atau Perjanjian Kerja Sama agar kegiatan tersebut bisa legal dan tidak timbulkan masalah sosial dan lingkungan,” pintanya.

Sedangkan La Eja dan Nasir meminta agar pengawasan di perairan utara pulau Flores dilakukan setiap hari. Serta penangkapan dan penegakan hukum terhadap pengebom agar ada efek jera.

Juga pemasok bahan baku bom dan racun ikan atau potassium ditindak tegas. Perbanyak bantuan alat tangkap buat nelayan kecil agar bisa menangkap ikan dengan cara ramah lingkungan.

“Kami salut dengan langkah pemerintah kabupaten Flores Timur yang tegas menindak pengebom ikan. Nelayan juga banyak diberikan bantuan alat tangkap,” kata Nasir.

baca juga : Mencoba Melarikan Diri, Pelaku Pengeboman Ikan Ditangkap. Bagaimana Selanjutnya?

 

Pelaku pengeboman ikan yang ditangkap personil Dit.Polairud Polda NTT di perairan Dambila dan Koja Doi dalam kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) gugus pulau Teluk Maumere. Foto : Dit.Polairud Polda NTT

 

Sedangkan Plt. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) kabupaten Sikka Paulus Hilarius Bangkur yang ditemui Mongabay Indonesia, Kamis (6/2/2020) mengatakan pembangunan perikanan di Sikka dan NTT ditopang oleh pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.

Ketiga pihak ini kata Paul, pada posisi yang setara dan harus duduk berbicara bersama tentang produksi dan perikanan berkelanjutan. “Peran pemerintah kabupaten Sikka sejak 2001 sampai 2016 kegiatan pemberdayaan masyarakat terkait perikanan berkelanjutan sangat besar,” tuturnya.

Di setiap desa pesisir di kabupaten Sikka, jelas Paul, hampir semuanya sudah memiliki Peraturan Desa (Perdes) berkaitan dengan marine protected area dan pelarangan penangkapan ikan dengan bahan berbahaya.

Masyarakat, katanya, tidak semuanya memiliki pemahaman yang sama terkait aktifitas penangkapan ikan. Sehingga pemerintah perlu melakukan pembinaan kepada para nelayan.

“Kalau menggunakan bom bisa berdampak besar terhadap penurunan produksi. Di dalam tubuh ikan induk ikan yang siap bertelur terdapat lima ratus sampai satu juta butir telur,” jelasnya.

baca : Perairan Teluk Hadakewa: Dulu Marak Potas dan Bom Ikan, Sekarang Dilindungi lewat Adat

 

Ikan demersal dan ikan karang hasil tangkapan nelayan yang dijual di TPI Alok Maumere kabupaten Sikka,NTT.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Hidupkan Pokmaswas

Jumlah produksi ikan di kabupaten Sikka tahun 2019 mencapai 19.287,3 ton senilai Rp.351,8 miliar. Untuk ikan demersal, kerapu tertinggi dengan produksi mencapai 785,28 ton senilai Rp.27,48 miliar, disusul kakap merah 531,4 ton senilai Rp.15,94 miliar.

Sementara untuk ikan pelagis, ikan cakalang berada di posisi puncak dengan jumlah produksi mencapai 3.150,75 ton senilai Rp.44,11 miliar diikuti tembang sebanyak 2.600,75 ton seharga Rp.36 miliar. Sesudahnya tuna ada di posisi ketiga sebesar 1.930,5 ton dengan nilai jual Rp.86,87 miliar.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) provinsi NTT Ganef Wurgiyanto kepada Mongabay Indonesia Senin (10/2/2020) membenarkan masih maraknya aktifitas pengeboman ikan di sebagian wilayah pulau Flores terutama di pantai utara.

Meskipun begitu, kata Ganef, DKP sering menggelar operasi. Pokmaswas (kelompok pengawas masyarakat) terutama di kabupaten Flores Timur, sangat berperan aktif memberikan informasi adanya aktifitas pengeboman dan penangkapan ikan menggunakan bahan berbahaya.

Pokmaswas diberikan bantuan ponsel agar mudah menginformasikan adanya aktifitas destructive fishing. Ganef mengakui peran Pokmaswas sangat efektif memberantas destructive fishing di Flores Timur. “Pokmaswas di Flores Timur aktif sehingga menyebabkan aktifitas pengeboman menurun drastis bahkan mulai hilang,” ungkapnya.

DKP kabupaten  juga memberikan bantuan-bantuan kapal, namun di Sikka yang masih kurang. Untuk mengatasi pengeboman di Sikka, pihaknya akan membentuk lagi Pokmaswas tahun 2020.

Untuk mencegah pengeboman, Paulus mengatakan DKP Sikka melakukan pembinaan nelayan, dan fasilitasi alat tangkap ikan yang ramah lingkungan dan pengawasan yang melibatkan Polairud dan Lanal Maumere untuk patroli bersama. Dia berharap pembangunan perikanan berkelanjutan bisa ditindaklanjuti dengan rencana aksi di lapangan.

Menurutnya, nelayan telah mengerti penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, hanya ada orang-orang tertentu yang memfasilitasi bahan-bahan yang dilarang untuk menangkap ikan.

“Setiap tahun kami membantu nelayan begitu besar di perikanan tangkap baik mesin, alat tangkap, kapal fiber. Namun, itu tidak sebanding dengan kebutuhan nelayan,” jelasnya.

La Eja dan Mafud pun sepakat Pokmaswas dihidupkan dan dibantu fasilitas. Asal identitas pelapor disembunyikan agar tidak terjadi konflik dengan pelaku destructive fishing.

Nelayan di Sikka, jelas Paul berjumlah  5.085 rumah tangga perikanan, sementara yang dibantu hanya 20  unit per tahun saja. Padahal menurutnya banyak yang mengajukan proposal bantuan tetapi anggarannya tidak mencukupi.

“Disinilah kita membutuhkan pihak swasta berperan dengan melakukan investasi di bidang perikanan,” pungkasnya.

 

Exit mobile version