Mongabay.co.id

RUU Cipta Kerja Dinilai Ancam Masyarakat dan Lingkungan, Apa Kata Mereka?

Hutan dihancurkan untuk kebun sawit. Inikah bisnis yang akan dilanggengkan dengan omnibus law? Foto: Save Our Borneo

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

 

Rancangan Undang-undang Cipta Kerja, merupakan aturan hukum ‘sapu jagat’ (omnibus law) usulan pemerintah ke DPR, yang menimbulkan ketakutan, antara lain dalam isu lingkungan, maupun sosial masyarakat. Draf RUU yang digadang-gadang demi mendorong peningkatan investasi—yang seharusnya bertujuan mensejahterakan masyarakat ini—malah berpotensi merenggut ruang hidup warga. Berbagai kalangan protes dan bersuara kritis menyikapi draf RUU ini.

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, dalam kaitan pengakuan hak masyarakat, substansi RUU ini sangat berbahaya, terutama masyarakat adat. Selama ini, upaya pengakuan dan pemberian akses kelola masyarakat saja masih tersendat-sendat.

Baca juga: Horor RUU Cipta Kerja: dari Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum

Hingga 31 Desember 2019, realisasi program perhutanan sosial mencapai 3.877.079,49 hektar, dari luasan itu, 925.505,08 hektar hutan adat termasuk masih indikatif. Hutan adat sudah ditetapkan baru 24.624,34 hektar.

Untuk realisasi skema perhutanan sosial yang lain, adalah 1.455.515,15 hektar hutan desa, 727.303,82 hektar hutan kemasyarakatan, 351.046,68 hektar hutan tanaman rakyat, dan 393.084,37 hektar kemitraan kehutanan. Ia terdiri dari 6.213 surat keputusan, meliputi 795.678 keluarga.

”Saya khawatir, bahkan sebelum ada RUU ini sekalipun, sudah banyak konflik terjadi berhubungan dengan investasi-investasi skala besar, seperti tambang dan perkebunan,” katanya kepada Mongabay.

Ada RUU omnibus law ini, kekhawatiran makin kuat karena penegasan terkait hak kelola rakyat tak ada. Dia khawatir, kondisi ini akan masuk rezim otoriter, di mana rakyat dipaksa menerima investasi dengan hak rakyat tergadaikan.

“Tanpa ada pengakuan hak rakyat maupun masyarakat adat terhadap wilayah hak, justru RUU ini akan memunculkan konflik baru. Ini jadi predator yang bisa membunuh siapapun.”

Padahal, katanya, berbicara pertumbuhan ekonomi, hak-hak ekonomi rakyat ini sangat berkaitan erat dengan tenurial.

Baca juga: Was-was ‘Sapu Jagat’ Omnibus Law

Rukka Sombolinggi, Sekjend AMAN menekankan, RUU ini mengancam keberadaan dan hak masyarakat adat, baik wilayah adat, hutan adat dan tanah ulayat, masyarakat adat pesisir dan pulau-pulau kecil.

AMAN menuangkan beberapa catatan terhadap RUU ini. Pertama, substansi pengaturan RUU bertentangan dengan hak konstitusional masyarakat Adat. Ia sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 18B ayat 2 dan Pasal 28I UUD 1945, dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012.

Kedua, berbagai peraturan perundangan terkait masyarakat adat dihapus, substansi dipotong dan interpretasi ulang. RUU ini, katanya, makin memperkuat pengakuan bersyarat masyarakat adat yang panjang dan berbelit-belit. RUU ini, katanya, melanggengkan masyarakat adat tak boleh bertentangan dgn kepentingan nasional.

Ketiga, RUU akan makin menghilangkan sumber mata pencarian tradisional masyarakat adat seperti berladang, nelayan, pengumpul madu, kemenyan dan lain-lain.

Baca juga: Omnibus Law Jangan sampai Perparah Krisis Iklim

Keempat, RUU ini tak menyiapkan kerangka pengaman untuk mencegah dan menyelesaikan konflik di wilayah adat. Kondisi ini akan menyebabkan pejuang-pejuang pembela hak masyarakat adat makin terancam mengalami kriminalisasi.

Kelima, RUU disusun tertutup. AMAN dan organisasi masyarakat sipil terutama yang bekerja pada isu-isu agraria dan lingkungan hidup tidak pernah dilibatkan.

Kekhawatiran sama dirasakan Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB. Dia mengatakan, orientasi percepatan dalam pemanfaatan sumber daya hutan hanya menyebutkan badan usaha milik negara, badan usaha milik swasta, dan badan usaha milik daerah.

”Kita tidak bisa bicara tentang perhutanan sosial dan seterusnya dalam konteks ini,” katanya.

 

Aktivitas pencarian jenazah almarhum Alif di lubang bekas tambang batubara pada 2018. Dengan pengendoran aturan dan hukum lingkungan lewat RUU Cipta Kerja, bagaimana kondisi ke depan? Foto dok Jatam Kaltim

 

Dia menyayangkan, tidak ada penyebutan jelas terkait akses masyarakat lokal/adat dalam Pasal 30.

Meski ada sebuah interpretasi kemungkinan akan diselesaikan dalam revisi UU Kehutanan Nomor 41/1999 yang sedang berlangsung di DPR, tetapi Hariadi pesimis ada penambahan subyek masyarakat lokal.

Pembahasan substansi omnibus law dengan mencabut pasal-pasal dari berbagai regulasi ini, katanya, tak mempertimbangkan dampak negatif yang timbul dari UU dengan pasal-pasal ‘terberangus’ omnibus law.

”Dalam kehutanan terkait pemanfaatan yang dipercepat BUMN, BUMD dan BUMS, sekarang seperti apa? Kemudian pernyataan untuk mempercepat perhutanan sosial, itu dimana ya? Itu tidak ada.”

Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, revisi ketentuan penegakan hukum dalam UU 32/2009 tanpa ada evaluasi komprehensif terhadap pelaksanaan penegakan hukum lingkungan di Indonesia.

Dalam catatan ICEL, ketentuan penegakan hukum dalam UU 32/2009 jauh lebih baik dibandingkan UU Lingkungan, sebelumnya (1997). Saat ini, RUU Cipta Kerja seperti kembali ke UU Lingkungan Hidup 1997.

“Alasan perubahan juga tidak didukung kajian teoretis dan praktik empiris yang kuat. Jika dipelajari, naskah akademik dengan RUU Cipta Kerja, banyak yang tak nyambung.”

Hariadi mengatakan, secara garis besar dalam RUU ini, cipta lapangan kerja jadi bagian hilir, dengan hulu adalah kelestarian hutan. Kalau hutan tak lestari, katanya, tidak akan menciptakan lapangan kerja.

”Kalau ini semua dipreteli (dihilangkan-red), penegakan hukum, perizinan lingkungan dan sebagainya, bagaimana kita mau mewujudkan kelestarian hutan, seolah-olah ini hanya untuk ekonomi dan tenaga kerja, tapi persoalan konflik tanah tidak ada disit,” katanya.

 

Kriminalisasi

Berdasarkan data Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mencatat, pada 2019 ada 57 kasus kriminalisasi kepada petani, peladang, dan masyarakat adat. Modusnya, pemerintah dan korporasi mengkriminalisi masyarakat yang dianggap menghambat investasi, melalui UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusak Hutan.

“Tanpa ada pengakuan hak rakyat maupun masyarakat adat terhadap wilayah, investasi tak akan berjalan lancar, justru RUU ini akan memunculkan konflik baru. Ini jadi predator yang bisa membunuh siapapun,” kata Arman.

Dia bilang, korupsi dan konflik jadi dua hal yang beririsan kuat. Baginya, ada konflik di situ ada potensi korupsi terjadi karena tidak ada transparansi. “Masyarakat adat tidak pernah anti investasi, tapi investasi harus didahului dengan pengakuan hak masyarakat adat.”

 

Gusti Maulidin (kiri) dan Sarwani sesaat setelah tiba di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun. Foto: AMAN Kotawaringin Barat

 

Dalam ketentuan Pasal 69, soal ketentuan larangan dalam UU Lingkungan Hidup, kata Raynaldo, pertimbangan kearifan lokal dalam larangan buka lahan dengan cara dihapus. Menjadi, setiap orang dilarang: (h) melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.

”Dengan begitu, risiko kriminalisai terhadap petani atau pekebun akan meningkat,” kata Dodo, sapaan akrabnya.

 

Penegakan hukum bakal ompong

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Walhi mengatakan, penegakan hukum pidana akan ompong karena baru dapat dilakukan kalau tak jalan sanksi administratif.

Padahal dalam UU 32/2009, polisi dan PPNS dapat langsung penyidikan dan memproses tanpa harus melalui sanksi administratif (kecuali untuk Pasal 100). Dampaknya bisa makin banyak kejahatan korporasi tak dapat segera dijerat.

“Perubahan ketentuan pidana ini mengisyaratkan pemerintah akan berkompromi dengan korporasi, karena pidana tergantung dengan step pemerintah,” kata Zenzi.

Kalangan masyarakat sipil pun memberikan perhatian khusus pada ketentuan mengenai strict liability yang diatur dalam Pasal 88 UU 32/2009 jadi kabur karena penghapusan unsur ‘tanpa kesalahan’, dan dapat digiring jadi perbuatan melawan hukum.

“Padahal, dalam praktik di pengadilan, penerapan strict liability baru saja menemukan bentuk efektifnya dan berhasil memenangkan pemerintah dalam menjerat korporasi pembakar hutan,” kata Dodo.

Bambang Hero Saharjo, Guru Besar IPB mengatakan, dalam proses pembuktian, frasa ‘tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan’ itu sangat perlu karena membantu untuk diajukan dalam gugatan perdana atau ketika kasus pidana naik.

Kala frasa itu hilang, katanya, proses pengenaan sanksi bagi korporasi pembakar hutan ataupun pencemaran lingkungan akan mengalami pertempuran dalam proses pembuktian.

“Kalau sudah proses pembuktian, biasa kita berhadapan tidak hanya kepada lawan, juga mereka yang memimpin, yang tidak paham kondisi proses pembuktian. Frasa itu, yang mimpin sidang pun paham, tanpa harus dibuktikan ke penggugat, tinggal pihak sana yang membuktikan. Kuncinya itu di proses pembuktian.”

Dia bilang, pasal ‘sakti’ ini pernah digugat uji materi oleh kalangan pebisnis, kini pemerintah justru mau menghapus.

Dalam menangani kasus lingkungan hidup, kata Bambang, pembuktian dalam perbuatan melawan hukum sangatlah berat.

“Kita akan dikejar proses pembuktian. [Kasus] karhutla (kebakaran hutan dan lahan-red), misal, mulai darimana, posisi ana, seperti apa, dan sebagainya. Ini perlu strong power lagi dalam proses pengumpulan bukti-bukti yang lebih detil dan kuat. Bukan berarti strict liability tidak diamunisi bukti, tapi karena ada frasa tidak perlu proses pembuktian.”

 

 

Perparah krisis iklim

Greenpeace Indonesia menilai, omnibus law ini akan memperburuk krisis iklim di Indonesia. Komitmen perubahan iklim pemerintahan Joko Widodo terkait target energi terbarukan 23% njadi kebohongan besar kalau memasukkan batubara di dalamnya.

Industri batubara yang melakukan kegiatan pemanfaatan dan pengembangan akan mendapatkan perpanjangan izin sampai seumur tambang. Artinya, mereka bisa mengeruk batubara sampai habis. “Kepentingan industri batubara sudah jelas banyak bermain dan diakomodir pemerintah dalam pembentukan rancangan Undang-undang ini kata Satrio Swandiko, Juru Kampanye Iklim dan Energi.

RUU Cipta Kerja juga akan membebaskan keharusan membayarkan royalti untuk industri batubara yang melakukan peningkatan nilai tambah, bisa berupa proses gasifikasi dan batubara cair yang disebutkan masuk dalam energi baru dalam kerangka energi baru terbarukan. Pemerintah bahkan menjadikan batubara cair itu cara menurunkan emisi karbon sektor energi.

RUU Cipta Kerja juga memberi kemudahan untuk izin usaha ketenaganukliran, yang akan diberikan langsung oleh pemerintah pusat. “Nuklir bukanlah sumber energi murah, Undang-undang ini telah salah menerjemahkan apa yang dibutuhkan Indonesia menuju transisi energi bersih dan aman.

 

Tak sentuh akar masalah

“Substansi RUU ini menyerupai watak pemerintah kolonial Hindia Belanda. Keseluruhan proses tak ada transparansi, tidak demokratis dan hanya melibatkan pengusaha,” kata Arip Yogiawan, Ketua Bidang Kampanye dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Bahkan, kata Yogi, formalisasi hukum di di RUU ini menghidupkan kembali semangat domein verklaring yang sangat kolonialisme. Masyarakat, katanya, kehilangan hak partisipasi dan jalur upaya hukum untuk mempertahankan tanah yang mereka kuasai.

“Kegagalan pemerintah dalam menjalankan program dan kebijakan seharusnya tidak perlu ditutupi dengan regulasi baru.”

Pemerintah, katanya, belum pernah evaluasi terkait investasi yang berjalan belum apakah benar berdampak positif atau seimbang, dengan menghitung biaya lingkungan yang timbul atau sebaliknya, merugikan.

Nining Elitos, Ketua Umum Organisasi Buruh Kasbi, menyebutkan, seringkali pemerintah mengatasnamakan demi petani, buruh nelayan dan masyarakat kecil, namun dalam RUU ini tidak mencerminkan perbaikan terhadap para pekerja.

”Melalui regulasi ini, pemerintah hanya mendorong terciptanya lapangan kerja baru dengan mengabaikan kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan kerja.”

Nining mengatakan, KASBI menolak hadir dalam undangan pihak Kemenko Perekonomian dalam “koordinasi” mengenai RUU Cilaka ini. Menurut dia, kegiatan itu sekadar formalitas. Sejatinya, buruh tidak mereka libatkan dalam proses penyusunan RUU, hanya sosialisasi.

“Pemerintah mengundang buruh hanya untuk sosialisasi, buruh tidak diajak membahas draf RUU.” Baginya, regulasi ini yang jadi korban adalah buruh dan generasi selanjutnya.

“Saya meyakini regulasi omnibus law ini akan mengorbankan banyak masyarakat, tidak hanya buruh juga petani, masyarakat adat, pelajar, nelayan, dan lain-lain.”

Hariadi mengatakan, memperbaiki percepatan gairah investasi itu bukan hanya berbicara dalam perbaikan Undang-undang seperti aksi pemerintah saat ini. “Ada faktor lain karena kapasitas pemerintah, pemerintah daerah, ada persoalan korupsi yang seringkali tidak dilihat.”

Berdasarkan survei Global Competitiveness Report 2019 oleh World Economic Forum, ada 16 faktor dinilai menghambat investasi di Indonesia. Faktor utama, korupsi, inefisiensi birokrasi, akses pembiayaan, infrastruktur tidak memadai, kebijakan tidak stabil, instabilitas pemerintah dan tarif pajak.

”Mengapa yang dikorbankan justru rakyat?” kata Nining.

 

 

Draf RUU Cipta Kerja

Naskah Akademik RUU Cipta Kerja

 

Keterangan foto utama: Lahan masyarakat adat Kinipan, yang berubah jadi kebun sawit. Konflik lahan masih terus terjadi di negeri ini. Bagaimana kalau sampai RUU Cipta Kerja hadir dengan isi yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat, konflik bakal tambah parah. Foto: Save Our Borneo

Pemadaman karhutla di Kampar, pada Januari 2020. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version