Mongabay.co.id

Buntut Konflik dengan Perusahaan, Warga Adat di Tano Batak Hadapi Vonis Hukum

Ayat S Karokaro

 

 

 

 

Pagi itu, Kamis (13/2/20), suasana di Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, masih lengang. Sejumlah pegawai terlihat hilir mudik mengerjakan tugas mereka. Para hakim juga tampak duduk di meja menunggu panitera pengganti datang menjemput dan memberitahukan agenda sidang hari itu.

Begitu juga Roziyanti, terlihat duduk di mejanya sambil memegang buntalan kertas tebal untuk dibaca. Dia adalah majelis hakim yang memimpin persidangan perkara dua warga adat Sihaporas, Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita, yang didakwa menganiaya pekerja perusahaan pabrik bubur kertas, PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Baca juga: Konflik dengan Perusahaan Perkebunan Kayu, Warga Sihaporas Lapor Komnas HAM

Keduanya duduk di meja hijau karena mempertahan tanah adat yang dikuasai perusahaan. Majelis hakim akan memutuskan perkara hari itu.

Di Desa (Nagori) Sihaporas, Pematang Sidamanik, Simalungun, tetua adat dan keluarga Jonny dan Thomson bersiap berangkat ke kota. Mereka ingin mendengar putusan majelis hakim.

Di luar PN Simalungun ratusan warga adat, didampingi Aliansi Masyakarat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Bakumsu, dan puluhan mahasiswa berkumpul. Mereka membawa berbagai spanduk bertuliskan desakan agar dua orang adat Sihaporas itu bebas.

Baca juga: Masyarakat Sihaporas Tak Pernah Lelah Perjuangkan Tanah Adatnya

Tak berapa lama, mobil membawa tahanan memasuki PN Simalungun. Ada Thomson Ambarita dan Jonny Ambarita.

Sembari menunggu persidangan mulai, dengan pakaian tahanan, Jonny tampak menggendong dan memeluk Mario Teguh Ambarita, balita 3,7 tahun, anak Marudut Ambarita. Thomson Ambarita mengelus rambut Mario. Mario berlari ke pelukan ayahnya.

 

Thomson Ambarita dan Jonni Ambarita, dua warga Sihaporas, yang ditahan dan jadi tersangka penganiayaan atas laporan perusahaan. Padahal, mereka sendiri pelapor dan saksi atas kasus penganiayaan oleh karyawan perusahaan itu. Laporan perusahaan segera diusut polisi, sedang kasus laporan warga entah bagaimana nasibnya…Foto: dokumen AMAN Tano Batak

 

Mario Ambarita adalah balita yang mengalami dugaan penganiayaan oleh Bahara Sibuea, karyawan TPL yang mempidanakan Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita.

Mario mengalami penganiayaan ketika konflik terjadi di lahan adat yang diklaim masuk konsessi TPL.

Kala itu, ayahnya bersama warga lain tengah bercocok tanam didatangi sejumlah pekerja TPL yang berupaya mengusir mereka.

Konflik terjadi, wajah Mario dipukul diduga oleh Bahara Sibuea. Balita itu tak sadarkan diri kemudian dilarikan ke Puskesmas terdekat.

Sayangnya, laporan pidana penganiayaan terhadap Mario diduga oleh karyawan TPL tak ada proses hukum. Sebaliknya, Jonny dan Thomson malah diproses hukum atas laporan pekerja TPL.

 

***

Jonny dan Thomson, duduk di kursi pesakitan. Majelis hakim membuka sidang dan membacakan amar putusan. Mereka kena dakwa menganyiaya dan kekerasan terhadap pekerja TPL dengan vonis sembilan bulan penjara. Sebelumnya, jaksa penuntut umum Kejari Simalungun menuntut mereka hukuman 1, 6 bulan penjara atau 18 bulan.

Sahat Hutagalung, Koordinator Divisi Bantuan Hukum Perhimpunan Bakumsu yang jadi kuasa hukum mengatakan, mereka melihat putusan majelis hakim tak adil.

Dalam dakwaan, JPU mendakwa Thomson dan Jonny bersama-sama melakukan kekerasan, sesuai Pasal 170 KUHP, dan penganiayaan seperti Pasal 351 KUHP.

Untuk pembuktian dakwaannya, dipersidangan, jaksa menunjukkan dan memutar empat rekaman video, dan satu rekaman video di hadirkan oleh mereka sebagai kuasa hukum.

Berdasarkan fakta-fakta persidangan, berupa rekaman video maupun keterangan saksi-saksi dan terdakwa, tiga saksi mengatakan terdakwa melakukan penganiayaan. Enam saksi dihadirkan jaksa mengatakan, para terdakwa tak melakukan kekerasan maupun penganiayaan.

“Kalau dicocokkan dengan rekaman video, keterangan saksi [sebut tak ada penganiayaan] sesuai fakta dan bersesuaian,” kata Sahat.

Dari bukti, terdakwa tidak memukul staf TPL dengan kayu. Tak ada satupun gambar membuktikan terdakwa memegang kayu. Saksi-saksu juga membenarkan itu, bahkan setelah bentrok terdakwa juga tak pernah memegang layu. Begitu juga dengan Thomson, tidak melakukan kekerasan apalagi cangkul.

“Kami berkeyakinan mereka tidak ada melakukan pelanggaran pidana. Sayangnya, majelis hakim tidak mempertimbangkan fakta persidangan.”

 

Masyarakat adat Sihaporas menolak kriminalisasi terhadap Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita. Foto: dokumen warga

Agustin Simamora, Biro Advokasi AMAN Tano Batak, kecewa dengan vonis sembilan bulan penjara pada kedua tokoh adat itu. Terlebih, fakta-fakta persidangan seperti keterangan saksi, dan video, tak terbukti Jonny dan Thomson mengeroyok humas dan sekuriti TPL seperti dakwaan JPU.

Putusan ini, katanya, bukti begitu sulit masyarakat kecil termasuk masyarakat adat, mendapatkan keadilan.

“Majelis hakim mengabaikan semua fakta-fakta hukum yang ada. Kami menyesalkan ini,” katanya.

Dia bilang, masyarakat adat yang berjuang mempertahankan wilayah adat banyak berujung kriminalisasi.

Sebagai pihak kalah, masyarakat adat terbentur dinding prosedural yang tak memiliki perlindungan.“Dengan mempertimbangkan berbagai fakta dalam proses persidangan, kami sampai pada kesimpulan, majelis hakim PN Simalungun seharusnya membebaskan mereka,” kata Agustin.

AMAN Tano Batak pun menyatakan sikap, pertama, menolak putusan majelis hakim PN Simalungun, kedua, mendesak Pemerintah Simalungun segera mengakui wilayah adat Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas dan Ompu Umbak Siallagan Dolok Parmonangan. Tujuannya, memutus mata rantai kriminalisasi terhadap masyarakat adat.

Periode 2019 hingga pertengahan Februari 2020, katanya, ada tiga Komunitas Aman Tano Batak yang mengalami kriminalisasi. Pertama, di Kabupaten Tapanuli Utara yakni, komunitas masyarakat adat Tornauli.

Kedua, di Kabupaten Simalungun, ada masyarakat adat Dolok Parmonangan, masih dipanggil kepolisian namun belum sampai pengadilan. Mereka adalah, Sorbatua Sialagan dan Hasudungan Sialagan, dituding menduduki konsesi tanpa izin.

Ketiga, masyarakat adat Sihaporas berakhir di meja hijau karena mempertahankan hutan adat mereka.

Komunitas adat di Tapanuli Utara, ada lima orang dilaporkan TPL ke polisi, yaitu, Ranto Manalu, Bukhari Manalu, Nagori Manalu, Manaek Manalu dan Jamanti Manalu. Mereka dituding menduduki konsesi TPL tanpa izin.

 

Hutan di wilayah Sihaporas yang perlahan digantikan eukaliptus. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat adat tinggal di sana berdasarkan bukti-bukti sejarah, sudah menetap di sana jauh sebelum ada TPL, bahkan sebelum Indonesia ada. Penunjukan kawasan hutan, katanya, sepihak tanpa ada sepengetahuan warga adat. Begitu juga kala pemerintah memberikan izin kepada perusahaan, tanpa peduli hutan sudah ada penghuni atau belum.

Kasus ini, katanya, catatan panjang kriminalisasi masyarakat adat Sihaporas, hingga kini jadi lima orang. Pada 2002 ada satu orang, dua orang pada 2004 dan 2019 juga dua orang.

Warga Sihaporas, bukan pendatang atau penggarap. Tanah ini sudah delapan generasi mereka huni, sejak Ompu Mamontang Laut Ambarita menyeberangi Danau Toba, pakai solu (perahu) dari Ambarita di Pulau Samosir ke Dolok Mauli, dekat Sipolha di Simalungun, Sumut.

“Kami di atas tanah adat yang ratusan tahun turun-temurun, menempati tanah adat kami sejak sekitar 200-250 tahun silam,” katanya.

 

Tak ada perlindungan

Terkait kekerasan terhadap masyarakat adat, selama negara tak mengakui mereka, kriminalisasi akan terus berlanjut. Kehadiran negara dalam isu masyarakat adat, katanya, sebatas wacana.

“Kita sudah melakukan upaya kepada pemerintah di Kawasan Danau Toba, segera menerbitkan peraturan daerah ataupun SK Bupati terkait pengakuan wilayah adat,” katanya.

Komunitas AMAN Tano Batak yang terdata, kata Agustin, ada sekitar 40, tersebar di enam kabupaten, yaitu, Humbang Hasundutan, Samosir, Toba Samosir, Simalungun, Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan. Dari puluhan komunitas itu, katanya, sudah 14 komunitas pemetaan wilayah adat.

 

Keterangan foto utama: Sebelum hadirnya perusahaan, wilayah masyarakat Sihaporas ini bersahabat untuk pertanian. Air sungai juga mengalir jernih. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version