Mongabay.co.id

Tambang Emas Liar di Sarang Harimau Sumatera

Bonjol, permukiman di Pasaman, Sumatera Barat, yang menyatu dengan lanskap Bukit Barisan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Penambangan emas di Pasaman, Sumatera Barat, bukan hanya terjadi saat ini. Kegiatan tersebut sudah dilakukan sejak era Belanda.

Berdasarkan penelusuran artikel dan pemberitaan di Surat kabar Soeara Bondjol tahun 1923-1925, sebuah perusahaan Sumatra Mining Exploration Ltd mulai melakukan penambangan emas di Pasaman pada 1923.

Perusahaan ini dipimpin Gorbin [penguasa asal Inggris], yang dibantu seorang mandor bernama Garret [asal Jerman] dan seorang ahli ukur bernama Hunnezagen. Kuli atau buruh tambang, umumnya pribumi sebanyak 150 orang, yang berasal dari Agam, Simpang, Lubuk Sikaping, Muara Sipongi, dan Bonjol.

Kawasan yang ditambang dikenal dengan nama Gunung Melintang dan sekitar Kampung Tanjung Bungo. Dari Pasar Bonjol, para pekerja membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam menuju lokasi berjalan kaki.

Selama beroperasi [1923-1925], terdapat 58 lubang yang tersebar di tujuh tempat. Yakni Air Belimbing [17 lubang], Gunung Melintang [15 lubang], Air Pondok [10 lubang], Air Paku Tonggak [8 lubang], Air Karing [4 lubang], Air Pantai [2 lubang], dan Air Melandoe [2 lubang].

Baca: Ketika Penambangan Emas Liar Mengancam Identitas Minangkabau

 

Landskap wilayah Bonjol yang harus dijaga kelestariannya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tanah ulayat menjadi konsesi

Semua lokasi penambangan emas yang dilakukan oleh Sumatra Mining Exploration Ltd, pada awalnya adalah tanah adat atau ulayat. Tapi kemudian menjadi konsesi [consessie].

Perubahaan status lahan adat tersebut akhirnya menimbulkan protes dari masyarakat, terutama para intelektual dan tokoh masyarakat yang berada di rantau. Sebab, selama penambangan emas itu berlangsung telah memberikan dampak buruk bagi lingkungan, seperti air sungai menjadi kotor dan beracun, sehingga merusak persawahan dan sumber air bersih warga.

Saat itu, para pemangku adat adalah pihak yang disalahkan. Sebab, mereka mengabulkan permohonan consessie dari pihak perusahaan. Tahun 1931 perusahaan tutup.

Baca: Tinggalkan Tambang Emas Liar, Sijunjung Potensial Sebagai Sentra Ikan Air Tawar

 

Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, yang bentang alamnya menghubungkan Bukit Barisan dengan pesisir barat Sumatera, memiliki sejumlah sungai yang potensinya dapat dimanfaatkan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sarang harimau ditambang

Lubang atau goa eks penambangan emas selama puluhan tahun tidak dijamah masyarakat. Bahkan mereka melihat, sehingga percaya, lubang-lubang tersebut didiami sejumlah harimau. Warga pun takut mendatangi lubang-lubang tersebut.

Pada 1982, seorang perantau bernama Elvi [nama inisial] pulang ke Pasaman. Dia kemudian menggali lubang-lubang penambangan emas peninggalan Sumatra Mining Exploration Ltd di Tanjung Bungo.

Siapa Elvi? Dia mantan pekerja di sebuah perusahaan penambangan. Dia juga terlibat dalam berbagai survei geologi untuk mencari lokasi pertambangan di Indonesia.

Upaya Elvi mendapat cibiran masyarakat. Mereka menilai tindakan Elvi tidak akan menghasilkan atau sia-sia. Setahun kemudian, upayanya mulai membuahkan hasil yang langsung menggemparkan warga. Sejak itu demam emas menggejala di Pasaman.

Tanjung Bungo yang tadinya sepi, berubah menjadi desa yang ramai dan menggeliat. Ratusan orang tiap hari berduyun, berlomba merajut sejuta harapan seiring semakin banyaknya penemuan bongkahan batu yang mengandung emas di lubang-lubang. Tanjung Bungo berkembang seperti desa baru.

Pasar Bonjol yang dahulu sekadar pasar tradisonal, kini menjadi pasar dengan transaksi jual beli emas tinggi. Setiap hari, toko-toko emas yang sebelumnya hanya menjual perhiasan, kini menampung emas hasil para penambang.

Di Tanjung Bungo, masyarakat mengolah dan memproses emas yang mereka peroleh. Batu-batu hasil galian dari lubang dibawa ke penampungan untuk dihancurkan dan kemudian dimasukkan ke dalam gerondong- alat yang digunakan untuk menghancurkan batu.

Setelah 24 jam, batu-batu hasil penambangan itu menjadi bubuk lembut. Lalu, logam yang terkandung dalam bubuk batu itu diikat dengan air raksa. Baru setelah itu, logam dipisahkan dari air raksa dan dibakar melalui proses kimia hingga menghasilkan dua jenis logam, emas dan perak. Proses yang cukup rumit dan panjang itu hanya menghasilkan beberapa gram emas.

Baca juga: Foto: Melestarikan Sungai di Pasaman Melalui Arung Jeram

 

Persawahan di Sumatera Barat yang dilatari perbukitan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kisah penambang 

Satu di antara penambang emas Tanjung Bungo yang sukses adalah Abi [nama inisial]. Keberhasilannya menambang emas menjadikan dia sosok terkaya di desa. “Haji Abi” begitu dia biasa disapa- mulai bergabung dengan para penambang di Bukit Melintang pada 1996.

Dengan modal dari hasil berdagang beras, dia menggali lubang dan menciptakan lubang-lubang baru. Tentu saja, kisah sukses Abi bukanlah perjalanan singkat. Dia mengaku, butuh waktu empat tahun untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.

Melihat potensi emas yang menjanjikan di desanya, dia melebarkan sayap bisnis. Lelaki bertubuh kurus ini membuat gerondong untuk disewakan kepada para pemilik lubang yang tidak mempunyai alat tersebut. Untuk mendukung usahanya, Abi memperkerjakan banyak pegawai. Setiap pekan, dia mengeluarkan sekitar Rp10 juta untuk menggaji para buruh angkut batu, pegawai gerondong, dan pegawai administrasi.

Abi tidak menjual emasnya di Pasar Bonjol. Setiap pekan, dia pergi ke Bukittinggi, menjual langsung ke pedagang lebih besar.

 

Kondisi Sungai Batang Hari di kawasan Hutan Lindung Batanghari, Solok Selatan, Sumatera Barat, yang rusak akibat aktivitas tambang emas ilegal [23/11/2019]. Foto: Dok Tim BNPB

 

Lubang bertambah

Tahun 2020, merujuk keterangan seorang penambang, sekitar 100 lebih lubang emas sudah bertebaran di sekitar kawasan Gunung Melintang. Artinya, terjadi penambahan jumlah lubang setelah di gali ulang sejak 1982. Selama periode 1982-2020 bertambah 50-an lubang baru.

Setiap lubang ada 20-40 buruh yang berasal dari Bonjol, Simpati, dan Tigonagari. Kurang lebih 2.000 orang tiap hari menambang di kawasan tersebut.

Tahun 2018, diberitakan ada buruh atau pekerja yang menjadi korban penggalian lubang. Itu menjadi informasi terakhir, sebab setelahnya tidak ada lagi kabar mengenai kecelakaan [kematian] buruh tambang.

Saat ini, air limbah sisa pengolahan batu atau biji emas melalui gerondong adalah dampak yang paling mencolok. Air yang mengalir ke sawah dan kolam masyarakat itu berwarna putih susu.

Selain di Tanjung Bungo-Bonjol, saat ini penambangan di Pasaman juga dilakukan di Nagari Cubadak dan Simpang Tonang, Kecamatan Duo Koto. Awalnya, adalah penambangan sistem dulang ala rakyat. Selanjutnya penambangan di sana dikelola PT. IJM [Inexco Jaya Makmur].

Kehadiran perusahaan ini menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat. Bahkan lima warga Simpang Tonang, Kecamatan Duo Koto, terjerat kasus dugaan penghasutan dan pengrusakan basecamp tambang emas milik PT. Inexco Jaya Makmur [IJM], juga pembakaran satu unit mobil milik anggota polisi pada 23 Mei 2018.

Kelima terdakwa, Mardiwal, Weldi, Lendri Syahlisa, Yandri Saputra, dan Yuli Nefri dijatuhi hukuman 12 hingga 15 bulan penjara, oleh Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping, pertengahan Desember 2018, sebagaimana diberitakan Prokabar.

Lokasi lainnya ada di Nagari Alahan Mati, Kecamatan Simpati. Pola penambangannya, sama dengan di Tanjung Bungo-Bonjol.

 

Harimau sumatera. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Pascatambang

Pemerintah Indonesia berencana mengeluarkan Peraturan Presiden [Perpres] yang intinya menghentikan berbagai aktivitas penambangan emas ilegal di Indonesia.

Hal ini disampaikan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Senin [17/02/2020]. Ma’ruf menegaskan, sebagaimana dikutip dari iNews, melalui Perpres tersebut pemerintah segera menutup tambang-tambang tak berizin.

Jika Perpres ini dikeluarkan dan dijalankan, dapat dibayangkan berapa ratus atau ribu warga Pasaman yang kehilangan lapangan pekerjaan. Artinya, pemerintah diharapkan tidak hanya fokus pada penataan lingkungan pascatambang di Pasaman, tapi juga juga turut membangun skema ekonomi yang harus dilakukan, atau diterapkan terhadap masyarakat Pasaman.

Upaya ini, tidak hanya melibatkan pemerintah, juga TNI, Polri, para eks penambang, serta pemangku adat dan tokoh masyarakat. Dan hendaknya, mengikuti berbagai program atau tindakan yang sudah dilakukan selama ini dalam mengatasi berbagai dampak penambangan emas ilegal. Misalnya, yang dilakukan Korem 032 Wirabraja yang merevitalisasi ekonomi masyarakat sekitar penambangan emas ilegal di Sumatera Barat.

Di Pasaman, potensi yang paling besar dikembangkan untuk perekonomian masyarakat adalah perikanan, pertanian, peternakan, dan ekowisata. Jika lambat atau tidak dilakukan, bukan tidak mungkin aktivitas penambangan emas ilegal terus berlanjut, hanya pindah lokasi.

Sebab, ada keyakinan atau kepercayaan para buruh dan penambang emas itu, semua wilayah atau lanskap Bukit Barisan mengandung emas. Ada harimau, maka ada emas.

 

* Arbi Tanjung, budayawan, peminat lingkungan dan sejarah di Sumatera Barat. Tulisan ini opini penulis

 

 

Exit mobile version