Mongabay.co.id

Bukan Timah atau Sawit, tapi Lada dan Durian yang Membuat Warga Kota Kapur Kembali Bergairah

 

 

Kota Kapur merupakan permukiman tua di Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung, yang disebut dalam prasasti Kedatuan Sriwijaya abad ke-7. Berbagai situs sejarah ditemukan di sini, mulai Prasasti Kota Kapur, Benteng Tanah Utara dan Selatan Kota Kapur, Candi Kota Kapur, serta fragmen arca Wisnu.

Sebagai daerah subur, banyak perkebunan lada dan karet di kota ini. Pemiliknya bukan hanya warga lokal, tetapi juga pendatang dari Desa Tempilang, Labuh Air Pandan, dan Mendo.

“Saya pindah ke sini sekitar tahun 1970-an, awalnya hanya bekerja sebagai pembuat rumah warga. Kemudian, tertarik bermukim karena melihat tanaman lada warga yang sangat subur, tanpa perlu perawatan ribet. Setahun bisa empat hingga enam kali panen,” kata Rusli, warga Kota Kapur yang berasal dari Tempilang, akhir Februari 2020.

Baca: Mentilin, Fauna Identitas Bangka Belitung yang Terancam Punah

 

Candi Kota Kapur yang berada di tengah perkebunan karet Kota Kapur. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

“Hasil sungai seperti kepiting bakau, udang, dan ikannya juga banyak. Hal itulah yang membuat keluarga kami menetap di sini,” kata Rosita, pencari kepiting bakau yang sebelumnya tinggal di Labuh Air Pandan.

Lanskap Kota Kapur berupa dataran tinggi, sedang, dan pesisir. Bagian utara berhadapan Selat Bangka. Sebelah barat dan timur didominasi hutan mangrove. Di selatan, banyak perkebuan karet, lada, dan durian. Kota Kapur juga dilintasi sejumlah sungai kecil yang bermuara ke Sungai Mendo [Menduk], dan bermuara ke Selat Bangka.

Baca juga: Sampah yang Merusak Pesona Pantai Bangka

 

Benteng Tanah Utara [kiri] dan Selatan [kanan] di Desa Kota Kapur. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tambang timah dan sawit sekitar situs

Akhir 1990-an, sebagian warga maupun pendatang di Kota Kapur beralih menjadi penambang timah. Mereka mengorbankan kebunnya. “Bahkan ada yang menambang di sekitar Situs Kota Kapur,” kata Rusli.

Mengutip bangkapos.com, petugas Satpol PP Kabupaten Bangka, yang mendapat laporan adanya penambangan timah di sekitar situs, melakukan penertiban pada Rabu [27/12/2017]. Tiga unit mesin pompa timah kapasitas mini disita, serta para penambang diberi peringatan.

“Di sekitar situs memang tidak ada lagi, tapi aktivitas tambang sebenarnya masih sering dilakukan di sekitar Kota Kapur, meskipun sudah sangat jarang. Warga di sini perlahan mulai sadar dampak buruknya,” kata Badar, warga Kota Kapur.

 

Daiti [60] menanam ubi jalar di lahan bekas kebun karetnya yang akan diganti dengan tanaman lada di Desa Kota Kapur, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Durian yang terpinggirkan

Sabtu [22/2/2020], Mongabay Indonesia mengunjungi titik awal aktivitas penambangan timah yang berdekatan dengan situs Cagar Budaya Candi Kota Kapur. Lokasinya kini dipenuhi pohon sawit dan masih ditemukan jejak penambangan seperti sakan [tempat pemisahan timah dan pasir yang terbuat dari kayu] serta tailing [pasir sisa penggalian timah].

“Awalnya lahan ini ditanami sawit, namun pernah juga digali untuk timah. Setelah timah habis, panen sawit tidak maksimal, malah rugi. Pohon durian yang sudah kami tanam puluhan tahun lalu pun, entah kenapa banyak yang mati. Buahnya tidak sebaik dulu, tawar. Mungkin kalah dengan jumlah pohon ksawit serta tanah yang sudah tidak subur lagi,” kata Daiti [60] pemilik lahan tersebut.

 

Daiti [60] melintas di pohon duriannya di Desa Kota Kapur, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sesungguhnya Kota Kapur dikenal sebagai daerah penghasil buah durian terbaik di Pulau Bangka. Durian setra manis dan tembaga. “Bahkan durian tembaga asli Kota Kapur pernah beberapa kali memenangi kontes durian yang diadakan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,” kata Daiti, yang memiliki puluhan pohon durian di sekitar kebunan sawit serta karetnya.

Untungnya, saya masih ada pohon durian yang sudah ditanam puluhan tahun lalu. Hasil penjualannya cukup untuk kebutuhan harian. “Timah sudah habis, sawit dak ngasel [merugi], pohon karet sudah ditebang, karena getahnya sedikit, malah rugi. Alhamdulillah, tahun ini bisa menghasilkan durian satu truk, dalam seminggu,” katanya.

 

Daiti berharap lada yang ditanamnya tumbuh subur dan menghasilkan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Harga durian dari tangan petani Kota Kapur, pada musim terakhir sekitar Rp50 ribu per buah. “Hasilnya cukup untuk hidup sederhana selama setahun,” kata Daiti.

 

Kebun karet yang ditebang karena hasilnya tidka maksimal di Kota Kapur. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Kembali menanam lada

Kini, sejumlah warga Kota Kapur kembali menanam lada di kebunnya. “Meskipun sekarang sulit, karena banyak penyakit dan tanah tidak subur lagi, kami coba menanam lada,” kata Daiti.

“Kami juga menanam tanaman yang cepat menghasilkan, seperti ubi jalar,” tambahnya.

 

Kebun sawit yang terhampar di Kota Kapur. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia Mongabay Indonesia

 

Seperti kebanyakan daerah di Pulau Bangka, lada di Desa Kota Kapur tidak luput dari serangan penyakit kuning dan daun keriting, serta hama lain. “Baru-baru ini, lada yang kami tanam banyak mati. Saya juga menanam pohon durian yang baru, dan semoga tumbuh subur,” tambah Badar.

 

Hutan mangrove yang biasa dilewati nelayan Kota Kapur sebelum tiba di pinggiran Sungai Mendo. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan hasil penelitian Usman Daras, B.E. Tjahjana dan Herwan yang berjudul “Status Hara Tanaman Lada Bangka Belitung” tahun 2011, menunjukkan kondisi kebun lada petani Bangka Belitung memiliki kandungan hara Nitrogen [N] daun sedang [1,65-2,79% N].

 

Menjelang musim angin tenggara, Sungai Mendo tampak sepi dari aktivitas nelayan di Kota Kapur. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Sebagian besar kebun lada [68%] memiliki kandungan Kalium [K] daun rendah [≤ 1,78% K], bahkan mendekati batas bawah [kritis], 0,33% K. Pada kebun-kebun lada dengan kandungan Mg daun berkisar 0,10-0,28% memperlihatkan gejala difisiensi.

“Meski tanah tidak subur, semoga saja lada yang kami tanam nanti buahnya bagus, menjadi sumber ekonomi utama. Dari tahun ke tahun, semakin sulit saja berkebun di Kota Kapur,” tegas Daiti.

 

 

Exit mobile version