Mongabay.co.id

Banjir dan Politik Ekologi Perkotaan

Foto udara kali Ciliwung yang meluap di seputar Jakarta Pusat Rabu (1/1/2020). Foto : BNPB/Mongabay Indonesia

Jakarta banjir lagi. Sejak awal 2020, sedikitnya terjadi empat kali banjir di DKI Jakarta dan sekitarnya. Kerugian ekonomi akibat banjir menurut peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mencapai Rp10 triliun (IDX, 3 Januari 2020). Nilai kerugian itu bisa terus bertambah di masa depan.

Banjir bukan persoalan baru bagi Jakarta yang berlokasi di delta sungai dan pesisir. Jakarta sudah mengalami banjir sejak tahun 1640. Sejarawan J.J Rijal berpendapat bahwa Jakarta merupakan rumah air. Hal ini terindikasi dengan penamaan banyak tempat di Jakarta dengan sebutan rawa yang saat ini telah menjadi kawasan terbangun.

Penyebab banjir tidak tunggal, begitu pula dengan solusi penanganannya. Banyak pakar yang sudah membahas hal ini dalam dokumen kajian ilmiah, diskusi publik, dan tulisan di berbagai media. Berbagai data disajikan untuk mendukung pembahasan. Intinya kita tidak kekurangan informasi mengenai penyebab banjir di wilayah JABODETABEKPUNJUR (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi-Puncak-Cianjur) dari tahun ke tahun. Bahkan tidak sedikit usulan penanganan banjir diajukan, yang sebagian diantaranya sudah dan sedang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Provinsi. Lalu kenapa Jakarta dan sekitarnya tidak pernah terhindar dari banjir?

baca : Meracik Strategi Atasi Banjir Ala “Total Football”

 

Warga menonton luapan air di Bendung Katulampa, Bogor pada Rabu (1/1/2020) sore. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Selama ini, tingginya curah hujan akibat perubahan iklim selalu dituding sebagai penyebab banjir yang utama. Solusi penanganan banjir yang ada pun lebih dominan dalam membangun beragam infrastruktur untuk menampung dan mengalirkan air hujan ke laut. Padahal banyak penelitian yang membuktikan dampak alih fungsi lahan justru lebih berperan dalam menyebabkan banjir di tingkat lokal dan regional. Penelitian Poerbandono dkk. (2014) menyimpulkan hal tersebut. Menurutnya alih fungsi lahan lebih berperan dibandingkan perubahan iklim terhadap peningkatan luapan air dan sedimentasi sungai di wilayah JABODETABEKPUNJUR.

Pengendalian alih fungsi lahan untuk mengatasi persoalan banjir belum dilakukan secara maksimal. Kawasan ekosistem perkotaan diubah menjadi hutan beton untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Kawasan resapan air dan hutan di wilayah hulu berubah menjadi lahan pertanian dan area wisata.

Di Jakarta, pelanggaran tata ruang di wilayah resapan air dan hutan kota terjadi seluas 3.925 Ha pada periode 1985-2006 (Rukmana, 2015). Wilayah tersebut berlokasi di Kelapa Gading, Sunter, Tomang, Senayan, dan Pantai Indah Kapuk yang saat ini berupa mall, perumahan elit, hotel, apartemen, pabrik mobil dan lapangan golf. Penindakan terhadap pelanggaran tata ruang umumnya berupa sanksi administratif dan denda. Pengembalian fungsi kawasan lindung di wilayah pelanggaran tersebut hampir tidak pernah dilakukan. Akibatnya saat ini hampir 90% wilayah DKI Jakarta tertutup hutan beton, padahal khittahnya merupakan rumah air.

Hal yang serupa juga terjadi di Jawa Barat. Data Forest Watch Indonesia mencatat 5.700 Ha hutan di Puncak hilang dalam kurun waktu 2000-2016. Dampaknya wilayah resapan air berkurang dan banjir kiriman untuk Jakarta terjadi secara periodik saat hujan deras.

baca juga : Masalah Banjir, Peneliti: Jakarta Harus Benahi Kebijakan dan Perilaku Masyarakat

 

Longsor yang terjadi di kawasan Gunung Halimun, Kabupaten Bogor. BNPB menyatakan banjir bandang dan longsor pada awal Januari 2020 diakibatkan penambangan emas ilegal itu di hulu kawasan TN Halimun. Foto : BNPB/Mongabay Indonesia

 

Rencana tata ruang (RTR) merupakan salah satu instrumen kebijakan untuk mengatasi dan mengendalikan alih fungsi lahan. Namun menurut Rukmana (2015), RTR yang baru seringkali disusun untuk “pemutihan” pelanggaran tata ruang. Sebagai dokumen politis yang disahkan oleh lembaga legislatif, dokumen RTR merupakan perwujudan dari beragam kepentingan.

Berbagai aturan dan pedoman ditetapkan oleh Pemerintah sebagai standar dan prosedur penyusunannya. Tujuannya untuk mempermudah penetapan regulasi, kewenangan, kegiatan, anggaran dan pengawasan dalam penataan ruang. Kajian ilmiah untuk mempertimbangkan daya dukung lingkungan sebagai pembatas kegiatan pembangunan mengacu pada standar dan prosedur tersebut.

Faktanya walaupun standar dan regulasinya jelas, “politik pengetahuan” dan “politik kepentingan” masih berperan untuk mengedepankan kepentingan kelompok tertentu dalam alokasi pemanfaatan ruang. Pendekatan standar dan prosedural tersebut terbukti gagal dalam mewujudkan ruang yang inklusif dan adaptif terhadap perubahan di masa depan. Hal ini disimpulkan oleh penelitian Afriyanie (2020). Menurutnya pendekatan standar dan prosedural tersebut luput untuk mempertimbangkan manfaat alam yang diperoleh dari ruang terbuka hijau (RTH). Akibatnya penempatan RTH tidak berkeadilan dan berkelanjutan.

Di kawasan perkotaan, manfaat alam yang diperoleh dari RTH hanya dapat dinikmati oleh segelintir masyarakat saja. Beberapa kompleks perumahan elit menyediakannya berupa taman yang asri dan danau yang cukup luas. Promosi bebas banjir pun menjadi bagian dari strategi marketingnya. Di sisi lain, pembangunan perumahan elit seringkali menimbulkan krisis ekologi (contohnya banjir) bagi kampung di sekitarnya. Hal ini nyata terlihat akhir-akhir ini di Jakarta.

Sementara itu, pemerintah daerah masih kesulitan untuk menyediakan RTH Publik yang inklusif bagi setiap warganya. Berdasarkan UU Penataan Ruang, setiap pemerintah daerah wajib menyediakan RTH seluas 30% dari luas administrasinya, dengan proporsi 20% RTH Publik dan 10% RTH Privat. Di Jakarta luas RTH Publik hanya mencapai kurang dari 9%. Strategi Pemprov DKI Jakarta untuk menyediakan RTH Publik dilakukan melalui mekanisme bonus zoning[1] dan pengalihan hak membangun[2].

Keduanya merupakan mekanisme pasar yang belum tentu terlaksana karena berbasis prinsip sukarela. RTH yang disediakan melalui mekanisme tersebut belum tentu ditempatkan di lokasi yang sesuai atau membutuhkannya. Pedoman penyediaan RTH tidak mengatur secara spesifik lokasinya. Ragam manfaat jasa ekosistem belum dipertimbangkan untuk “diproduksi” dalam penyediaan RTH yang inklusif. Akibatnya RTH hanya dijadikan obyek dalam memenuhi standar luas minimal. Itu pun belum dapat dipenuhi.

perlu dibaca : Banjir, Fenomena Climate Whiplash dan Dampaknya di Indonesia

 

Jakarta, ‘rumah’ air seperti rawa dan situ sudah berubah jadi pemukiman atau ‘hutan beton;. Daerah ini juga minim ruang terbuka hijau. Foto: BNPB

 

Saat krisis ekologi sudah di depan mata, pendekatan standar dan prosedural dalam perencanaan tata ruang perlu dikritisi dan dicari penggantinya. Pendekatan baru perlu dibangun untuk menempatkan isu keadilan sosial dan ekologis sejajar dengan isu ekonomi. Kontestasi ide dan gagasan perlu diberi ruang agar isu-isu sosial dan ekologis tidak diselesaikan secara prosedural dan teknokratis untuk menghasilkan kompromi. Hal itu diperlukan untuk mewujudkan ruang yang inklusif dan adaptif di masa depan.

Dukungan dari Pemerintah Pusat diperlukan untuk merevisi pendekatan standar dan prosedural dalam perencanaan tata ruang. Pedoman penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) pun perlu disusun berdasarkan hirarki rencana. Partisipasi publik sebagai kontrol secara ilmiah perlu dikuatkan melalui peningkatan kapasitas. Sehingga pertanyaan “berapa kerugian yang akan ditanggung pemerintah dan masyarakat akibat pembangunan mall, perumahan elit, hotel, apartemen dan lapangan golf diatas lahan hijau dan tangkapan air” bukanlah hal yang tabu untuk dipertanyakan sebelum keputusan dibuat dan digugat setelah kerugian terjadi.

Dalam konteks penanganan banjir di Jakarta, gagasan dan ide perlu diperluas untuk pemulihan ekosistem. Untuk itu, diperlukan informasi dan peta mengenai kondisi (supply-demand) jasa ekosistem. Penyusunannya harus berbasis wilayah ekoregion bukan wilayah administrasi, sekurang-kurangnya berbasis sub-DAS. Dengan informasi tersebut, penyediaan RTH melalui bonus zoning dapat ditempatkan di lokasi yang sesuai. Dan pemulihan ekosistem di wilayah hulu melalui “pengalihan hak membangun” antar pemerintah daerah di Jabodetabekpunjur dapat dihitung cost-benefit analysis-nya secara adil. Pengadaan data dan peta tersebut tentunya membutuhkan kepakaran dari berbagai disiplin ilmu, serta waktu dan biaya yang tidak sedikit. Namun hal tersebut harus mulai dilakukan jika kita masih menginginkan ruang yang inklusif dan adaptif di masa depan.

baca juga : Pentingnya Sinergi Antar Daerah untuk Hentikan Bencana Banjir Jakarta

 

Taman Medan Merdeka dan Taman Monas, salah satu ruang hijau yang masih tersisa di Jakarta. Foto: Aji Wihardandi

 

Saat ini setidaknya terdapat dua upaya yang paling mungkin dilakukan di Jakarta untuk melengkapi penanganan banjir yang sudah dilakukan. Pertama, inventarisasi hak guna bangunan (HGB) yang akan berakhir dalam waktu dekat, untuk kemudian dikonversi sebagian lahannya (misal 50%) menjadi RTH Publik; dan Kedua, menegakkan aturan dan sanksi terhadap pelanggaran ketentuan intensitas zonasi, khususnya dalam menyediakan RTH Privat di wilayah rawan banjir.

Keduanya mungkin terkesan mustahil dilakukan di Jakarta yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi dan 90% wilayahnya telah berubah menjadi hutan beton. Namun jika kita sepakat krisis ekologi merupakan hal yang mendesak untuk diatasi. Dan kita masih mendambakan ruang yang inklusif dan adaptif di masa depan. Pemerintah Pusat dan Daerah di JABODETABEKPUNJUR seharusnya mampu mengatasi banjir melalui pemulihan ekosistem –yang selama ini suaranya selalu terpinggirkan oleh kepentingan pertumbuhan ekonomi. After all, egalitarian ecologies are about demanding the impossible and realizing the improbable!

***

[1] Bonus zoning merupakan pemberian ijin kepada pihak swasta dan masyarakat untuk membangun gedung melebihi ketentuan tinggi lantai bangunan asalkan pemilik gedung membangun RTH di tempat lain.

[2] Pengalihan hak membangun adalah pemberian kompensasi (finansial atau non-finansial) kepada pemilik/penguasa lahan (biasanya lahan hijau) agar bersedia untuk tidak menggunakan hak membangunnya.

***

 

*DR. Dian Afriyanie, S.T., M.T. Co-founder dan CEO Lokahita – Research Center for Sustainable Ecology and Geospatial serta Penerima IPCC Scholarship Award dari Prince Albert II of Monaco Foundation untuk disertasi doktoralnya dalam bidang Perencanaan Wilayah dan Kota di ITB. Tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak merefleksikan pandangan maupun posisi dari The Prince Albert II of Monaco Foundation dan IPCC.

***

Keterangan foto utama : Foto udara kali Ciliwung yang meluap di seputar Jakarta Pusat Rabu (1/1/2020). Foto : BNPB/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version