Mongabay.co.id

Harapan Besar Dibentuknya Pokja RAN Konservasi Mamalia Laut

Ada saja ulah tidak terpuji pengunjung ini, yang menaiki paus terdampar demi kepentingan pribadi untuk foto selfie. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pemerintah telah menetapkan semua jenis mamalia laut yaitu paus, lumba-lumba, pesut dan dugong yang ada di perairan Indonesia sebagai jenis satwa yang dilindungi melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.7/1999 yang selanjutnya diubah dalam Peraturan Menteri (Permen) LHK No.20/2018 jo Permen LHK No.106/2018.

Diketahui, perairan Indonesia merupakan tempat hidup dan jalur migrasi bagi 35 spesies mamalia laut yaitu satu jenis duyung dan cetacea yaitu 21 jenis paus, 12 jenis lumba-lumba serta satu jenis pesut.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri telah menetapkan rencana aksi nasional (RAN) konservasi bagi semua jenis mamalia laut tersebut melalui Kepmen KP No.79/2018 tentang RAN Konservasi Mamalia Laut tahun 2018-2022.

Sebagai tindak lanjutnya, KKP membentuk Kelompok Kerja (Pokja) untuk koordinasi dan pelaksanaan RAN konservasi mamalia laut berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) No.14/2020.

“Penetapan status perlindungan belum cukup, masih harus diikuti gerak langkah sinergis dalam upaya konservasi mamalia laut di Indonesia. Mengingat pelaksanaan rencana aksi jenis ikan terancam punah/dilindungi ini juga memerlukan dukungan dari Kementerian/Lembaga lain, KKP sebagai penanggung jawab utama pelaksanaan kegiatan, perlu bersinergi dengan pihak lain,” kata Plt. Dirjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL) KKP Aryo Hanggono pada Rapat Kerja dan Sosialisasi Pokja RAN Konservasi Mamalia Laut di Kantor KKP, Jakarta, Rabu (4/3/2020).

baca : Seperti Apa Rencana Aksi Nasional untuk Penyelamatan Duyung dan Lamun?

 

Anggota Pokja berfoto bersama usai rapat kerja dan sosialisasi Pokja RAN Konservasi Mamalia Laut di Kantor KKP, Jakarta, Rabu (4/3/2020). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Oleh karena itu, keanggotaan Pokja RAN Konservasi Mamalia Laut berisi para stakeholder lintas sektor baik pemerintah maupun non pemerintah. Pokja dengan masa kerja 4 Februari 2020-31 Desember 2022 itu diketuai Dirjen PRL KKP dengan Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai Pengarah.

Anggota Pokja sebanyak 47 stakeholder, antara lain dari KKP, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kemenko Maritim, Kementerian Perhubungan, Kementerian Ristek DIKTI, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Polri, Basarnas, LIPI, LAPAN, BIG, TNI AL serta beberapa stakeholders lainnya.

Sedangkan anggota Pokja dari lembaga non pemerintah seperti dari The Nature Conservancy Indonesia (TNC), WCS Indonesia, WWF Indonesia, Coral Triangle Center, Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI), Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI), Cetacean Sirenian Indonesia (Cetasi), Yayasan Lamun Indonesia dan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI).

Sementara sumber pendanaan Pokja itu diambil dari APBN KKP, APBN kementerian/lembaga pemerintah sesuai tugas dan fungsinya, dan sumber lain yang sifatnya tidak mengikat

baca juga : Sudah Penenggelaman, Bangkai Paus Diambil buat Koleksi, Ini Foto dan Videonya

 

Ilustrasi. Ekskavator memindahkan paus pilot yang terdampar untuk dikuburkan di pantai desa Meniak kecamatan Sabu Barat kabupaten Sabu Raijua,NTT.Foto : BKKPN Kupang/Mongabay Indonesia

 

Rapat Kerja dan Sosialisasi Pokja RAN Konservasi Mamalia Laut yang dihadiri lebih dari 50 peserta perwakilan dari masing-masing anggota Pokja, sekaligus mengidentifikasi kegiatan Kementerian/Lembaga serta potensi kolaborasi dalam pelaksanaan RAN mamalia laut.

“Untuk memastikan RAN konservasi mamalia laut benar-benar dilaksanakan oleh para pihak, terutama oleh instansi yang menjadi penanggung jawab kegiatan, KKP akan mengevaluasi pelaksanaan RAN tersebut setiap tahunnya” jelas Aryo dalam siaran pers KKP yang diterima Mongabay Indonesia.

Pokja RAN Mamalia Laut juga diharapkan dapat menjadi model atau prototipe bagi RAN jenis ikan dan biota laut terancam punah lainnya yang belum ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikan, yaitu Sidat, Bambu Laut, Napoleon, Kuda Laut, Teripang, Pari Manta, Penyu, Lola, Kima, Hiu Pari, Ikan Capungan Banggai (BCF), Terubuk, Karang, dan Hiu Paus.

Dalam pertemuan tersebut, Andi Rusandi, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Ditjen PRL KKP mengatakan ada enam isu dan tantangan pengelolaan mamalia laut, yaitu perairan Indonesia merupakan jalur migrasi mamalia laut, fenomena kejadian terdampar tinggi, penyebab kejadian terdampar dan terperangkap masih belum diketahui pasti, pengendalian pemanfaatan mamalia laut, masih minimnya pengetahuan tentang penanganan mamalia laut terdampar dan belum terbentuk jejaring penanganan terdampar.

Andi mengatakan dokumen RAN Konservasi Mamalia Laut bertujuan sebagai salah satu referensi bagi setiap unit organisasi di lingkungan KKP dan instansi terkait, dalam upaya pelaksanaan konservasi jenis ikan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.

menarik dibaca : Mengerikan, Paus Sperma Mati dengan 100 kg Sampah Plastik Diperutnya

 

Ilustrasi. Proses evakuasi bangkai paus bryde di pesisir Kampung Timika Pantai, Mimika, Papua. Foto: Syamaun W Hi Yusuf/Balai TN Lorentz Timika/Mongabay Indonesia

 

Butuh Dukungan Bersama

Dwi Suprapti, anggota Indonesian Aquatik Megafauna Flying Veterinary (IAM Flying Vet) atau Asosiasi Dokter Hewan Megafauna Akuatik Indonesia PDHI yang hadir dalam acara sosialisasi itu mengatakan stakeholder yang hadir mendapatkan informasi sekaligus mendiskusikan dan memberikan masukan tentang RAN dan matriks kegiatan konservasi mamalia laut.

“Kami memastikan bahwa matrik RAN tidak kaku atau dapat adaptive sesuai dengan perkembangan selama 5 tahun (2018–2022). Nantinya rutin dilakukan evaluasi agar bisa mengikuti perkembangan kekinian sehingga bisa melakukan penambahan sesuai kondisi terbaru,” kata Dwi yang dihubungi Kamis (5/3/2020).

Dia meminta KKP sebagai Ketua Pokja RAN Mamalia Laut untuk memberi dukungan  berupa legalitas kerja kepada IAM Flying Vet-PDHI dalam membantu penanganan medik mamalia laut terdampar yang terjadi di pesisir Indonesia.

“Kami butuh legalitas dalam penanganan karena hewan yang kami tangani milik negara. Seperti peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya, ketika kami diminta BPSPL membantu turun ke lapangan (menangani megafauna laut terdampar) justru kami dipertanyakan dan tidak diakui karena kami bukan dari lembaga pemerintah, meskipun kami memiliki keahlian tersebut” lanjutnya.

Selain legalitas, tim flying vet juga meminta dukungan fasilitas dan operasional kegiatan karena mereka bekerja secara sukarela. “Kami sebagai relawan dokter hewan rela tidak dibayar. Tetapi dalam penanganan medik ada banyak dukungan biaya operasional yang kami perlukan, kami butuh peralatan penunjang dan kami juga butuh biaya nekropsi maupun biaya laboratorium untuk menelusuri penyebab mamalia laut yang terdampar dan atau mati sampai tuntas hingga memperoleh simpulan. Tidak hanya datang ke TKP untuk melakukan nekropsi,” jelas Dwi.

Karena investigasi  untuk menentukan penyebab kematian satwa laut terdampar seperti uji laboratorium, lanjutnya, butuh biaya yang tidak murah. “Seperti kasus penyu terdampar mati akibat tarball di Kalbar atau dugong yang diduga keracunan di Bali, harus dilakukan uji lab,” katanya.

menarik dibaca : Keracunan Aspal, Puluhan Penyu Mati di Pantai Paloh

 

Ilustrasi. Dokter hewan dan mahasiswa FKH Unud melakukan nekropsi paus sperma kerdil setelah mati terdampar pada Selasa (2/3) di Pantai Rangkan, Gianyar, Bali. Foto : TCEC/Flying Vet/relawan FKH Unud/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, dukungan dana operasional juga diperlukan untuk perawatan seperti fasilitas pusat rehabilitasi dan obat-obatan bila mamalia laut terdampar dalam kondisi sakit atau masih hidup. “Seperti kasus terdamparnya anakan dugong di Raja Ampat (Papua Barat). Kita harus siapkan obat, susu dan botol khusus dan peralatan penunjang lainnya,” katanya.

Di sisi lain, Dwi mengatakan ilmu hewan akuatik terutama megafauna akuatik merupakan bidang ilmu yang tidak umum di fakultas kedokteran hewan di kampus-kampus Indonesia dan tidak temasuk hewan yang komersial. Sehingga tim Flying Vet butuh peningkatan kemampuan dan kapasitas dengan ilmu, obat-obatan dan tehnik terbaru.

“Ilmu ini di Indonesia masih terbatas. Kita kebanyakan belajar otodidak hingga belajar ke negara lain diantaranya Thailand. Kita ingin teman-teman lain mendapatkan ilmu yang sama berupa pelatihan-pelatihan yang bersifat free. Apalagi dalam penanganan kejadian paus terdampar dalam ukuran besar, kita masih memerlukan pendampingan awal dari ahli internasional, hingga akhirnya nanti kita memiliki kemampuan mandiri dan standar. Untuk Penyu dan mamalia laut yang relatif berukuran lebih kecil kita sudah mulai advance karena sudah banyak menangani,” jelasnya.

Dwi berharap Pokja RAN Mamalia Laut ini dapat bekerja secara sinergis dan kolaboratif di lapangan. “Kami berharap Pokja bekerja secara efektif berkolaborasi di lapangan, satu komando. Khawatirnya di lapangan, ada satu lebih senior, satu lebih tinggi eselon, birokratis, di lapangan kita satu komando, supaya penanganan kompak, cepat, dan tepat,” katanya.

Dwi juga meminta keputusan atau rekomendasi dari flying vet atau dokter hewan yang memahami penanganan megafauna dijadikan acuan atau dasar keputusan. “Jangan sampai ada ego sektoral dan ego birokratis, ujung-ujungnya (keberadaan tim flying vet atau dokter hewan) sebagai justifikasi pengambilan keputusan” tambahnya.

perlu dibaca : Terbentuk Asosiasi Dokter Hewan ‘Terbang’ untuk Penanganan Satwa Laut Terdampar. Apa Perlunya?

 

Ilustrasi. Warga pesisir di Pantai Pulau Datok, Kalimantan Barat mengevakuasi seekor pesut yang terdampar yang akhirnya  mati dengan tubuh penuh luka pada November 2016. Foto: Rosi (Warga Sukadana/Mongabay Indonesia

 

Pesut Mahakam

Sedangkan Danielle Kreb, Pendiri dan Peneliti dari Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI) mengatakan ada banyak hal yang terungkapkan dalam acara sosialisasi Pokja RAN Mamalia Laut itu, misalnya berbagi informasi dan data, program edukasi konversasi, isu bycatch dan mamalia laut terdampar, termasuk dokter hewan terlatih untuk mengungkapkan penyebab kematian, perlunya pelatihan dan koordinasi, sampai masalah pembiayaan.

Danielle menyinggung masalah sampah di lautan yang bisa menjadi penyebab terdampar dan matinya mamalia laut. “Dengan hispatologi kita bisa tahu penyebabnya. Saya pikir itu penting. Kondisi sampah itu indikator dari laut kita. Termasuk pesut mahakam, itu indikator kesehatan sungai di Mahakam,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Jumat (6/3/2020).

Danielle yang tergabung dalam Pokja sebagai ahli cetacean itu mengatakan Yayasan RASI mempunya program edukasi konservasi pesut di Kalimantan Barat. “Kami pernah buat kampanye edukasi pesut. Ada juga kampanye kerajinan ke masyarakat, termasuk dengan sampah dan perikanan yang lebih lestari. Dengan adanya Pokja ini, akan lebih jelas peran dari stakeholder,” lanjutnya.

Meski sudah masuk dalam RAN Cetacean, dia berharap ke depannya ada RAN yang spesifik tentang konservasi pesut Mahakam. “Dulu pernah di Kementerian Kehutanan (KLHK), tetapi belum disahkan, itu sudah tahun lalu. Mungkin lebih bagus kalau ditangani KKP, apalagi terkait dengan habitat perikanan. Kami telah diminta membuat proposalnya,” pungkasnya.

baca juga : IUCN Red List : Pesut dan Finless Porpoise Terancam Punah

***

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Ada saja ulah tidak terpuji pengunjung ini, yang menaiki paus terdampar demi kepentingan pribadi untuk foto selfie. Ada 9 ekor paus sperma terdampar di pantai Ujong Kareng, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Senin (13/11/17). Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version