Mongabay.co.id

Konflik Tanah di Hutan Pubabu. Kenapa Masyarakat Adat Menolak Klaim Pemerintah?

 

Masyarakat adat Pubabu yang selama ini menetap di Pubabu atau Besipae, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT) geram dan memblokir jalan raya Batu Putih-Bena, Minggu (9/2/2020).

Nikodemus Manao, koordinator masyarakat adat Pubabu kepada Mongabay Indonesia, Sabtu (15/2/2020) menjelaskan kejadian berawal pada pagi hari itu ketika rombongan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat tiba-tiba mendatangi wilayah tersebut.

Dalam dialog dengan warga, Gubernur meminta masyarakat mengosongkan lahan pemukimannya yang merupakan lokasi sengketa karena pemerintah akan menggunakan lahan yang dikatakan milik Pemprov NTT. Gubernur mengatakan itu tanpa menawarkan solusi permasalahan yang selama ini terjadi di hutan adat Pubabu.

Mendengar pernyataan Viktor, masyarakat marah dan melakukan aksi pemblokiran jalan serta menahan dua kendaraan dinas Balai Besar Pelatihan Peternakan Kupang Pemprov NTT.

“Hal ini yang kemudian memicu masyarakat melakukan aksi pemblokiran jalan dan bahkan sebagian masyarakat perempuan melakukan aksi buka baju sebagai bentuk protes lantaran merasa hak atas tanah adat milik mereka tidak diakui,” sebut Niko sapaan karibnya.

baca : Cerita Warga Dusun Berjuang Dapatkan Izin Kelola Lahan di Hutan Lindung Egon Ilimedo [bagian-1]

 

Warga Desa Linamnutu, kecamatan Amanuban Selatan, termasuk anak-anak berhadapan bersama aparat pemerintah di lokasi hutan Pubabu kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) provinsi NTT. Foto : Radar NTT/Mongabay Indonesia

 

Dia menjelaskan masyarakat adat Pubabu tetap menuntut Pemprov NTT mengembalikan tanah milik mereka yang sebelumnya dikontrak dengan status hak pakai oleh perusahaan peternakan sapi asal Australia.

Sesuai kontra, hak pakai berlaku sejak tahun 1987 hingga tahun 2012. Perusahaan itu sudah tidak beroperasi dan menyerahkan lahan kepada Pemkab Timor Tengah Selatan (TTS).

“Pada tahun 2010, ada pertemuan untuk memperpanjang kontrak lahan dan hak pakai oleh dinas peternakan provinsi NTT untuk pengembangan 3.780 hektare,” terangnya. Namun masyarakat adat dan pemilik lahan, menurut Niko, menolak hak pakai dan perluasan lahan peternakan.

Mereka sudah melaporkan kejadian itu kepada Pemkab TTS, Pemprov NTT, DPRD TTS, DPRD NTT maupun Gubernur NTT. Namun persoalan ini tidak pernah ditanggapi.

Lahan masyarakat adat Pubabu seluas 2.671 hektare, sementara total lahan seluas 6.000 hektare. Nico mengatakan masyarakat meminta agar semua lahan tersebut dikembalikan setelah masa pinjam pakai selesai.

Lahan itu merupakan perumahan warga dan tanah garapannya, sementara hutan untuk pengembangannya seluas 6 ribu hektare. Dan ada sebanyak 47 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di dalam hutan.

“Masyarakat sudah sadar sertifikat hak pakai ini berada di atas tanah rakyat. Lahan seluas 2.671 mereka babat,” tuturnya.

baca juga : Soal Moratorium Tambang, Gubernur NTT Ditagih Janji Utamakan Pariwisata dan Pertanian

 

Warga Desa Linamnutu, kecamatan Amanuban Selatan, termasuk anak-anak berhadapan bersama aparat pemerintah di lokasi hutan Pubabu kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) provinsi NTT. Foto : Radar NTT/Mongabay Indonesia

  

Dokumen dan Bukti Adat

Deputi WALHI NTT Yuvensius Stefanus Nonga, kepada Mongabay Indonesia, Rabu (4/3/2020) mengatakan masyarakat menuntut hak atas tanah leluhur dan untuk anak cucu mereka nanti.

Perjuangan masyarakat atas tanah mereka dan hutan adat Pubabu, kata, Yuven sapaan karibnya, adalah hal yang mutlak dilakukan sebagai tanggungjawab moril masyarakat.

“Permasalahan hutan adat Pubabu merupakan permasalahan yang sangat serius karena terkait dengan hak masyarakat atas tanah adatnya. Dan masa depan masyarakat adat di hutan adat Pubabu,” tegasnya.

Yuven mengatakan masyarakat mempunyai dokumen hak atas hutan Pubabu, dan adanya bukti-bukti adat atau batas adat sehingga Pemerintah tidak bisa secara arogan memaksa masyarakat meninggalkan hutan adatnya

“Masyarakat mempunyai hak untuk menempati wilayah adatnya secara aman, tanpa ada teror ataupun gangguan dari luar apalagi dari pemerintah sendiri,” ucapnya.

Untuk itu, lanjutnya, WALHI NTT memandang perlu adanya ruang dan kesempatan bagi masyarakat untuk berdialog langsung dengan Gubernur NTT dan pemerintah daerah sebagai cara satu-satunya menyelesaikan masalah.

“Kehadiran Pemerintah, harusnya memberikan rasa nyaman bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali,” tegasnya.

Yuven menjelaskan Dinas Peternakan Pemprov NTT mengembangkan lahan peternakan berdasarkan kesepakatan dengan masyarakat yang tertuang dalam sertifikat hak pakai selama 25 tahun sejak 1987 hingga 2012.

menarik dibaca : Di Daerah Rawan Konflik Tanah, Polisi Ini Sukses Ajak Masyarakat Bercocok Tanam Sayuran

 

Hutan Pubabu yang menjadi lahan sengketa antara Pemprov NTT dan masyarakat adat Pubabu di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT. Foto : Nikodemus Manao/Mongabay Indonesia

 

Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No.40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah, dalam pasal 41 dijelaskan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan hak pakai adalah tanah Negara; tanah hak pengelolaan; tanah hak milik.

“Dalam konteks masalah di hutan Pubabu, tanah tersebut adalah tanah masyarakat Pubabu karena awal pemberian sertifikat hak pakai didasari pada kesepakatan dengan masyarakat sebagai pemegang hak milik,” jelas Yuven.

Selanjutnya dalam pasal 49 ayat (1) menegaskan hak pakai atas tanah hak milik diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan tidak dapat diperpanjang.

Sementara pasal 2 menyebutkan atas kesepakatan antar pemegang hak pakai dengan pemegang hak milik, hak pakai atas tanah hak milik dapat diperbaharui dengan pemberian hak pakai baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan.

“Artinya bahwa perlu ada kesepakatan dengan masyarakat sebagai pemegang hak milik apabila sertifikat hak pakai akan diperpanjang lagi,” ungkapnya.

Berdasar hal itu, kata Yuven, masyarakat yang mendiami hutan Pubabu mempertanyakan dasar Gubernur NTT mengusir masyarakat dari tanah adatnya sendiri.

Yuven menjelaskan Pasal 50 PP No.40/1996 secara tegas mengatur kewajiban pemegang hak pakai yang tertuang dalam poin (d): menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak pakai kepada Negara, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sesudah hak pakai tersebut dihapus.

“Jelas sudah bahwa tanah adat di Pubabu secara hukum wajib dikembalikan kepada masyarakat adat,” tegasnya.

baca juga : Menanti Desa Adat, Mengapa Lambat?

 

Hutan Pubabu yang menjadi lahan sengketa antara Pemprov NTT dan masyarakat adat Pubabu di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT. Foto : Nikodemus Manao/Mongabay Indonesia

 

 

Duduk Bersama Membahasnya

Sedangkan Aleta Baun aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) kepada Mongabay Indonesia, Senin (24/2/2020) mengatakan dirinya melihat kedua belah pihak bisa saja benar atau salah.

Aleta mengatakan bila tanah tersebut memang benar milik masyarakat adat Pubabu, maka pemerintah harus memberikan kepada masyarakat. Bila itu milik pemerintah, masyarakat juga harus merelakan tanah tersebut.

“Permasalahan tanah ini terlalu lama sekali dan saya dulu pernah membantu masyarakat di situ. Pemerintah dan masyarakat menggantung kasus ini,” tuturnya.

Tokoh adat, lanjutnya, harus menjelaskan kepemilikan lahannya. Pemerintah juga dimintanya agar harus melihat kembali lagi perjanjiannya.

Bila memang masa berlaku perjanjian tanah sudah selesai, Aleta menyarankan pemerintah dan masyarakat harus duduk bersama menyelesaikan masalah, apakah melanjutkan kontrak sewaw atau menjadi hak milik.

Memang ada data di masyarakat soal tanah itu, kata dia, tetapi bila itu hutan adat maka masyarakat dilarang membuat rumah di dalam hutan adat. Aleta meminta agar status hutan tetap menjadi hutan adat.

“Saya tidak setuju kalau ada rumah-rumah dalam hutan adat. Kalau rumah darurat tidak masalah. Tapi yang dibongkar pemerintah itu rumah apa? Saya memilih tidak terlibat dalam permasalahan lama ini. Saya jadi malas untuk mengurusnya,” tegasnya.

Sedangkan Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) Provinsi NTT Fredy Kapitan yang ditanyai Mongabay Indonesia Jumat (14/2/2020) enggan menjelaskan permasalahan itu dan menyarankan menghubungi Kepala Badan Pendapatan dan Aset Pemerintah NTT Sony Libing.

Sony yang telah beberapa hari dihubungi dan dikirimi pesan, tidak merespon. Mongabay Indonesia kemudian  menghubungi seorang staf Badan Pendapatan dan Aset Pemerintah NTT, yang mengatakan tidak berwenang memberikan keterangan.

 

Jagung yang ditanam masyarakat di dalam hutan adat yang jadi sengketa antara masyarakat adat Pubabu Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Pemprov NTT. Foto : Nikodemus Manao/Mongabay Indonesia.

 

Exit mobile version