Mongabay.co.id

Riki Frindos: Investasi Hijau, antara Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Harus Sejalan

Tambang batubara yang menyisakan persoalan lingkungan, terlebih lubang yang tidak direklamasi. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

“Saya mau belajar hal yang baru, melakukan something different in life gitu… […] Hopefully bisa membantu buat orang lain, society and environment,” katanya.

Setelah 20 tahunan lebih bergelut dalam bidang keuangan, khusus di pasar modal, dia banting setir ke organisasi masyarakat sipil yang konsern isu-isu lingkungan, Yayasan Keanekaragaman Indonesia (Kehati). Dialah, Riki Frindos, sejak 2018 menjadi Direktur Eksekutif Yayasan Kehati.

Riki dibesarkan di Desa Surantih, Sumatera Barat, hobi menulis dan lari maraton. Memilih ke organisasi masyarakat sipil, karena dia ingin mencoba belajar dengan sesuatu hal baru. Tidak lagi berbicara karir, tetapi urusan hidup. Dia berharap, bisa membantu orang lain.

“Menurut saya, Kehati jadi kendaraan yang cocok untuk mewujudkannya,” kata pria 47 tahun ini.

Awalnya, tak banyak yang Riki ketahui tentang isu lingkungan dan keanekaragaman hayati. Berkat mandat yang diberikan kepadanya membuat dia belajar. Dia bilang, ada irisan antara karir bidang keuangan dan sekarang, antara lain, pengalaman manajerial dan kepemimpinan yang dia miliki.

“Setelah saya pelajari masalah konservasi tidak hanya masalah kerja di lapangan, tidak hanya masalah mempengaruhi perusahaan supaya sustainable, tidak hanya mengedukasi petani juga rantai yang tidak terputus di antara semuanya,” katanya.

Ada hal yang penting bisa dilakukan, seperti peningkatan kesadaran dan mempengaruhi para investor agar peka terhadap eksploitasi sumber alam dan dampaknya terhadap bumi. Dalam skala besar, secara sistematis korporasi memerlukan pendanaan, salah satu lewat pasar modal.

Gelombang investasi hijau atau berkelanjutan dan bertanggung jawab yang mengedepankan aspek lingkungan hidup, sosial dan tata kelola yang baik atau environmental, social, governance (ESG) pun makin banyak dibicarakan. Bahkan, Yayasan Kehati telah merintis insiatif investasi berkelanjutan di pasar modal Indonesia dengan meluncurkan Indeks Sri Kehati, sebuah indeks saham berkelanjutan berbasis ESG.

Lusia Arumingtyas, dari Mongabay berkesempatan berbincang-bincang dengan Riki Frindos, terkait investasi berkelanjutan di Indonesia dan masa depannya. Berikut petikannya.

 

Bursa Efek Jakarta. Ada hal yang penting bisa dilakukan, seperti peningkatan kesadaran dan mempengaruhi para investor agar peka terhadap eksploitasi sumber alam dan dampaknya terhadap bumi. Dalam skala besar, secara sistematis korporasi memerlukan pendanaan, salah satu lewat pasar modal. Foto: Arief Kamaludiin/Katadata

 

Kapan isu investasi hijau muncul di Indonesia?

Awalnya, masyarakat sangat awam berbicara green investment. Sekarang yang banyak di Pasar Modal dengan istilah ESG (environment, social, governance) jadi investasi kita lakukan dengan mempertimbangkan faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik. Kalau ditanya kapan, mungkin saat pertama kali pemerintah mengeluarkan Green Sukuk di Indonesia pada 2018.

Green Sukuk adalah instrumen pembiayaan untuk pembangunan berkelanjutan. Apa ini bisa dikatakan pertama kali? Belum tentu juga. Mungkin sudah ada fund manajer yang melakukan secara tertutup dan tidak ada publish, namun sudah ada disana. Kehati, misal mengeluarkan indeks Sri Kehati sejak 2009, hingga rentetan-rentetan ini pun tidak dapat mendefinisikan kapan itu mulai.

Kalau melihat milestone-nya, pertama, saat Kehati bekerja sama dengan Indo Premier membuka reksa dana hijau pertama kali di Indonesia. Kemudian pemerintah mengeluarkan Green Sukuk. Jadi, bagaimana isu investasi hijau muncul tidak tahu persisnya, hanya dua milestone itu jadi langkah yang bisa kita lihat.

 

Bagaimana respon pasar Indonesia terkait investasi hijau?

Kami sudah menunjukkan kalau indeks Sri Kahati sejak rilis dari awal return (tingkat pengembalian) tidak kalah dengan kenaikan indeks lain. Kalau anda beli produk keuangan ramah lingkungan, ramah sosial, itu biasa tidak kalah dengan produk biasa. Malahan dari sejarah kita lebih bagus tetapi tentu tidak ada jaminan ya.

Nah, orang yang sedang in the learning process ini momentumnya sedang tinggi. Ini yang harus dimanfaatkan oleh semua pihak. Kita sebagai LSM (lembaga swadaya masyarakat-red) juga terus mendorong perusahaan-perusahaan keuangan harus mengambil kesempatan itu, saat orang mulai muncul momentum kesadaraannya.

Selain itu, para pengambil kebijakan, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun harus membantu dalam memfasilitasi itu. Dengan memfasilitasi investor untuk berinvestasi ramah lingkungan, memfasilitasi para emiten juga melaporkan yang berkaitan dengan usaha ramah lingkungan.

Tujuannya, agar perusahaan-perusahaan di Indonesia juga memberikan informasi terbuka dan transparan terhadap aspek lingkungan dan sosial mereka. Dengan menyampaikan informasi apa saja yang mereka lakukan, dampak dari bisnis secara sosial dan lingkungan serta informasi regular.

 

Berbicara ekonomi, aspek lingkungan dan sosial seringkali dianggap bertolak belakang. Bagaimana mengarusutamakan isu ini di pasar modal Indonesia?

Dalam dua atau tiga tahun terakhir, secara global, investasi berkelanjutan, dari sisi bisnis, itu bisnis yang tumbuh paling cepat. Ada gelombang dari berbagai arah yang mendorong aspek lingkungan dan sosial menjadi sesuatu yang mainstream dalam proses investasi.

Jika, kita memilih perusahaan yang bagus dari sisi lingkungan dan sosial, bukan berbicara untung gede gak ya. Lebih pada keuntungan perusahaan itu mampu mengintegarasikan aspek-aspek penting, terkait lingungan dan sosial ke bisnis mereka.

Menurut Principle Responsible for Investment (PRI), saat ini lebih 1.900 pengelola dan pemilik aset keuangan yang mengontrol dana US$89 triliun, telah berkomitmen mengadopsi prinsip-prinsip keberlanjutan dan ESG dalam pengelolaan portoflolio mereka.

Survei terakhir US SIF (Sustainable Investment Forum) tahun 2019, lebih dari seperempat dana kelolaan investasi di Amerika Serikat mengacu pada prinsip-prinsip keberlanjutan.

Misal, di beberapa perbankan dan pendanaan keuangan menarik diri terhadap pembangunan-pembangunan yang tak mempertimbangkan ESG. Di Indonesia, BNP Paribas, sebentar lagi akan melakukan hal sama, tidak mendanai perusahaan batubara.

Saat ini, lembaga keuangan yang peduli lingkungan dan sosial di mata investor bukan lagi sesuatu yang baik, namun sebuah syarat penting dalam pembangunan.

Dari sisi regulator, ada aturan-aturan dari OJK terkait peta jalan keuangan berkelanjutan, dibandingkan dengan negara lain kita belum jauh tertinggal. Aturannya sudah cukup visionary meski belum terlalu banyak di pasar.

Dari sisi pemain investasi, memang perlu ada usaha bersama atau collective effort dari seluruh pemangku kepentingan. Kalau tidak mengikuti itu, kamu akan tersisihkan.

 

Tambang batubara yang menyisakan persoalan lingkungan, terlebih lubang yang tidak direklamasi. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Sektor-sektor apa saja di Indonesia yang verpotensi jadi pemain utama investasi hijau ini?

Berbicara investasi hijau ini tidak hanya di bidang kehutanan, kelautan, pertanian dan lain-lain, tetapi perbankan dan lain-lain.

Misal, perusahaan energi, adalah energi ramah lingkungan, yang low carbon emission, transportasi, perusahaan dengan bahan bakar ramah inkungan. Infrastruktur itu lebih pada bagaimana membangun water treatment, terjadi penggusuran sesuai prosedur.

Segala macam di semua sektor ekonomi yang memiliki peran untuk berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan. Setidaknya, kita memiliki peran tidak ikut serta dalam memberikan dampak negatif.

Lalu apakah bisnis perusahaan batubara itu dianggap hijau?

Kalau divisi green bond, mungkin saja bisa. Kalau di kita, berapapun mereka mampu melakukan CSR (tanggung jawab sosial-red) berbasis lingkungan yang sampe triliunan, bisnis itu menurut kami tidak hijau. Tapi bisa saja, pembangkit listrik bisa dianggap hijau kalau tidak menggunakan batubara.

Hampir semua sektor bisa berkontribusi tergantung sektor-sektor tertentu. Jadi kalau memberikan dampak negatif, meski sebaik apapun manajemen dan sebesar apapun CSR, itu kami anggap tidak hijau. Bagi kita itu bisnisnya sudah merusak.

 

Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan peta jalan keuangan berkelanjutan. Bagaimana Anda melihat pasar Indonesia merespon ini?

Sejujurnya saya tidak me-review komprehensif dan tidak in the position, takut salah merespon. Secara umum, saya melihat market masih belum terlalu terlihat. Namun, kalau melihat perbankan sudah ada beberapa yang mengadopsi policy terkait keuangan berkelanjutan.

Misal, dari sisi asuransi, pasar modal, pasar saham, namun masih terbatas. Meski dalam dua tahun terakhir memang sudah cukup kencang berbicara masalah green investment di pasar saham, misal, saya melihat antusias lumayan beberapa tahun terakhir.

 

Mengapa para pebisnis dan pengelola dana investasi perlu bergerak dalam investasi berkelanjutan berbasis environmental, social and corporate governance?

Memang seharusnya seperti itu. Kalau tidak, perusahaan tidak akan survive. Sudah banyak studi berbicara kalau bisnis investasi mereka tidak peduli terhadap lingkungan, sosial, mereka tidak akan doing well.

Mereka (yang abai ESG) sebenarnya sedang mengambil risiko. Misal, perusahaan manufaktur yang membuang limbah tekstil ke Citarum. Itu mungkin jangka pendek iya mudah, kalau jangka panjang itu sangat berisiko. Bagaimana dampak ke masyarakat? Jika mereka tidak melakukan ESG, dampak itu akan balik lagi ke mereka sendiri.

Pada akhirnya, jika perusahaan di Indonesia tidak mengadopsi prinsip-prinsip itu, lama-lama orang tidak akan memberikan pendanaan lagi. Ini akan menjadi nilai dan norma dalam investasi bisnis yang ramah lingkungan dan ramah sosial.

 

Pemandangan hutan rimba komunitas adat yang berubah menjadi kebun sawit. Konflik sosial pun terjadi. Foto: Dokumen Laman Kinipan

 

Apa saja usaha Yayasan Kehati untuk mempromosikan investasi berkelanjutan? Bagaimana hasilnya?

Usaha yang telah kita lakukan salah satu menerbitkan indeks Sri-Kehati. Melalui itu, kami bisa menginformasikan kepada masyarakat hingga mengetahui terkait performa usaha dan keuangan para pengusaha hijau. Tinggal melihat indeks Kehati, begitu juga bisa dilakukan oleh perusahaan fund manager dalam membuat produk investasi, tinggal mengacu pada benchmark indeks kita.

Selain itu, kita juga melakukan beberapa aktivitas yang sifatnya pada peningkatan penyadartahuan.

Setiap tahun, kita kerja sama dengan Majalah SWA mengadakan acara Sri-Kehati Appreciation, penghargaan Indonesia Green Company Award (IGCA) sudah tujuh tahun berturut-turut. Tujuannya, mengangkat profil Sri-Kehati ke publik lebih luas. Kita juga interaksi terus menerus dengan emiten yang akan kita review.

Tahun 2019, Kehati menyeleksi 25 perusahaan publik terbaik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan kriteria seperti omzet lebih Rp1 triliun, bekinerja baik, bergerak di bidang ramah lingkungan dan sosial. Juga, berkomitmen menjaga lingkungan, dan menerapkan prinsip good corporate governance (GCG) dalam menjalankan operasional perusahaannya.

Bersama dengan fund manager kita jemput bola dalam membangun kerjasama, dengan para pemangku kepentingan, perusahaan, OJK dan Bursa Efek untuk terus mempromosikan indeks Sri Kehati ini. Kita juga terus membangun impact investment.

 

Kalau mengenai indeks Sri Kehati, bagaimana perkembangannya?

Indeks ini mulai 2009, isinya saham-saham lebih ramah lingkungan, ramah sosial dan tata kelola baik. Indeks itu menjadi sumber informasi bagi masyarakat, pelaku pasar dan jadi acuan bagi para investor. Apa saja sih saham yang ramah lingkungan, sosial dan memiliki tata kelola yang baik, dan bagaimana kinerjanya? Itu tercermin dari indeks itu.

Adapun, aset reksa dana di pasar modal yang dikelola mengacu pada indeks Sri Kehati, pada 2017 hanya Rp200 miliar, saat ini sudah Rp2 triliun. Ini bukan aset Kehati ya, tapi fund manager.

Mungkin kita berbicara lebih investasi berkelanjutan, bahasa populernya green investment. Kita pun lakukan pendekatan ke berbagai pihak untuk mempromosikan investasi berkelanjutan di pasar modal Indonesia, pendekatan ke universitas, Bursa Efek Indonesia, OJK dan pelaku pasar juga fund manager.

Selain di pasar modal, untuk mendorong investasi non pasar modal, kita juga mendorong impact investment. Ini berbeda dengan indeks Sri-Kehati. Impact investment ini lebih ke daerah investasi langsung yang skala lebih kecil dengan future capital.

 

Bagaimana menggaet milenial yang peka investasi?

Ya, saya setuju untuk lebih menggaet generasi muda, milenial dan generasi Z. Menurut saya, mereka lebih banyak menelisik lingkungan, biasanya mereka tumbuh dewasa dengan kesadaran lingkungan yang lebih tinggi dibandingkan generasi saya yang lebih tua.

Ini sangat penting, mereka akan sangat powerfull jika Kehati bisa menggaet mereka. Tidak hanya menjadi investor juga mendukung dalam menyuarakan.

Terus terang memang sebelum masuk ke Kehati, saya tidak tahu banyak indeks Sri Kehati itu. Kita perlu lebih sistematis, menyentuh generasi muda dan masyarakat luas lain untuk aware investasi hijau. Masih banyak PR (pekerjaan rumah-red) harus kita lakukan memang.

 

 

Tiga perusahaan terbuka dinobatkan sebagai peraih penghargaan Sustainable and Responsible Investment (Sri)-Kehati Award 2018. Ketiga perusahaan tersebut adalah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk.

 

Sebentar lagi, Yayasan Kehati akan mengadakan Kehati Award 2020 dan usaha berbasis investasi hijau masuk kategori. Bisnis hijau seperti apa?

Ya. Dari kategori itu memang usaha atau bisnis berkelanjutan. Tapi kita akan lebih spesifik di Kehati Award ini kita targetkan pada perusahaan-perusahaan menengah atau start-up. Kita lebih membidik pada perusahaan start-up yang memiliki solusi inovatif, berkontribusi terhadap lingkungan, sosial, dan keragaman hayati.

Kita tidak membidik pada perusahaan-perusahaan besar karena kita ada Indonesia Green Company Award (IGCA). Untuk perusahaan-perusahaan besar kalau mereka melakukan sesuatu untuk lingkungan segala macam itu biasa tidak istimewa, memiliki CSR dan lain-lain.

Kami mau mendorong anak-anak muda, bagaimana concern terhadap lingkungan, ide dam inovasinya. Banyak start-up memiliki potensi itu, memberikan solusi dan inovasi yang mendorong Indonesia lebih berkelanjutan. Kami mau mencari itu.

 

Apa saja syarat yang harus dipenuhi para pengusaha berbasis investasi hijau untuk dapat mendaftar dalam Kehati Award 2020?

Perseorangan atau Kelompok (organisasi), baik badan usaha kecil dan menengah (UKM) yang memiliki izin usaha kecil dan menengah atau start-up yang menghasilkan atau melakukan kegiatan bernilai luar biasa bagi pelestarian keragaman hayati.

Antara lain, memenuhi kriteria, pertama, usaha merupakan terobosan atau inovasi luar biasa yang langsung atau tidak langsung berdampak pada upaya pelestarian dan pemanfaatan keragaman hayati Indonesia.

Kedua, usaha atau karya bisa berupa upaya penelitian dan pengembangan, kampanye dan advokasi serta kegiatan langsung dalam melindungi dan melestarikan keragaman hayati. Ketiga, memberi ruang bagi peran serta masyarakat melalui pembagian peran dalam unsur-unsur kegiatan dengan prinsip kesetaraan dan kemitraan.

Keempat, secara kelembagaan tak mempunyai konflik dengan masyarakat sekitar dan ataupun dengan pihak-pihak lain. Kelima, setidaknya selama dua tahun terus menerus konsisten dan dapat menunjukkan prototype produk /jasa dari usaha yang dilakukan. Mereka bisa mendaftarkan langsung ataupun dinominasikan oleh orang lain.

 

Bagaimana peran Kehati Award 2020 dalam merangkul masyarakat untuk turut serta dalam investasi hijau?

Pada dasarnya lewat Kehati Award, ingin menggali dan mencari apresiasi serta mengangkat orang-orang atau organisasi yang peduli lingkungan, terutama keragaman hayati.

Harapannya, ini bisa berdampak cukup besar dalam mengangkat misi atau agenda konservasi keragaman hayati, termasuk berkaitan dengan investasi berkelanjutan.

Kita juga merangkul Bursa Efek Indonesia dalam ajang ini sebagai dewan juri. Kita mau menyampaikan pesan kepada masyarakat luas bahwa keragaman hayati dan lingkungan ini bukan hanya urusan para aktivis lingkungan tetapi urusan kita semua, termasuk urusan bisnis.

 

Foto utama: Riki Frindos, Direktur Eksekutif Yayasan Kehati. Foto: Yayasan Kehati

 

Exit mobile version