Mongabay.co.id

Tambang Emas Ilegal di Aceh Belum Berhenti Beroperasi

Tambang emas ilegal yang bermunculan di Aceh hingga kini belum tertangani dengan baik. Foto: Boyhaqie

 

 

Tambang emas ilegal masih menjadi masalah besar untuk kelestarian hutan Aceh. Tambang ini bertebaran di Kabupaten Pidie, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Kabupaten Aceh Selatan, dan Aceh Tengah.

Anhar, warga Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat, Kamis [05/3/2020], menuturkan, banyak alat berat beroperasi di Sungai Mas yang bermuara ke Samudra Hindia itu. Umumnya, alat berat itu sewaan atau milik pribadi.

“Masyarakat tidak berani melarang, meskipun kegiatan itu menyebabkan air sungai keruh. Sejau ini, kami belum tahu apakah sungai tercemar atau tidak,” ujarnya.

Dia mengatakan, penambang tersebut bukan hanya warga Kabupaten Aceh Barat, tapi juga dari luar Aceh. “Mereka mengambil batu dengan eskavator, kemudian menyaringnya untuk mengambil butiran emas. Dampaknya, masyarakat kesulitan air bersih,” terang lelaki yang bekerja sebagai pekebun itu.

Hal senada diakui Sulaiman, warga Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya. Akibat maraknya tambang emas liar, masyarakat takut menggunakan air Sungai Krueng Sabee untuk kebutuhan harian.

Terlebih, adanya informasi yang menyatakan sungai ini tercemar merkuri sangat berpengaruh pada pendapatan masyarakat yang mencari kerang. “Pembeli khawatir berdampak pada kesehatan mereka.”

Emas di Krueng Sabee diproses dengan memisahkan bebatuan menggunakan mesin gelondongan. Batu dihancurkan hingga ukuran kecil, kemudian dimasukkan ke mesin dan dicampurkan air beserta merkuri.

“Merkuri dipakai untuk menyatukan emas setelah batu hancur, kemudian air limbahnya dibuang ke sungai,” ungkapnya.

Baca: Tambang Emas Ilegal Bertebaran di Aceh, Bagaimana Dampaknya Terhadap Lingkungan?

 

Tambang emas ilegal yang bermunculan di Aceh hingga kini belum tertangani dengan baik. Foto: Boyhaqie

 

Penangkapan

Sebelumnya, pada 4 Maret 2020, personil Ditreskrimsus Polda Aceh dan Polres Aceh Barat mendatangi dua lokasi tambang emas ilegal di Aceh Barat.

Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol Ery Apriyono, mengatakan pihaknya mengamankan tujuh unit eskavator. “Pemiliknya dan beberapa pekerja telah ditangkap, pemeriksaan terus dilakukan,” ujarnya.

Sebelumnya, 12 Februari 2020, personil Polres Nagan Raya menangkap enam orang yang diduga penseba emas ilegal di Kecamatan Seunagan Timur.

Kapolres Nagan Raya, AKBP H Giyarto menuturkan, pelaku yang ditangkap yaitu, MS warga Nagan Raya sebagai pemilik alat dan pemodal, lalu satu warga Aceh Barat. Sementara, empat pekerja lain warga Silat Hulu dan Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat.

“Mereka menyedot pasir di sungai menggunakan kapal, ada penyaring yang memisahkan pasir dengan emas. Mereka ditetapkan sebagai tersangka,” terangnya.

Baca juga: Pemerintah Aceh Diminta Lindungi Hutan dari Aktivitas Pertambangan

 

Sungai di Geumpang yang rusak akibat pertambangan emas ilegal. Foto: Dok. Walhi Aceh

 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh mengapresiasi operasi penangkapan tersebut. “Tambang emas ilegal berdampak buruk terhadap lingkungan dan faktor pengundang bencana,” ujar Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur.

Berdasarkan data dan temuan Walhi Aceh, penambangan Aceh terjadi juga di Kabupaten Nagan Raya, Aceh Selatan, Aceh Jaya, Pidie, dan Aceh Tengah. “Sebagian besar lokasi di hutan lindung, sungai, dan permukiman yang melibatkan ribuan penambang.”

Walhi Aceh mendorong Polda Aceh melakukan penertiban dan membongkar pihak-pihak yang terlibat. “Hal ini penting agar tidak terkesan aparat tebang pilih,” ujarnya.

 

Hutan alami di Aceh yang harus dijaga dari perambahan dan juga alih fungsi menjadi perkebunanan dan ancaman pertambangan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kerugian dan dampak

Pada 2016, Gerakan Anti Korupsi [GeRAK] Aceh telah melaporkan hasil pantauan tambang emas ilegal di Kabupaten Aceh Barat ke Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Lokasi pertambangan berada di Kecamatan Panton Reu, Kecamatan Sungai Mas, dan Kecamatan Woyla Timur.

“Pertambangan ini berawal dari kegiatan masyarakat yang mencari emas di sungai dengan cara “indang” atau menyaring bebatuan menggunakan tampah. Kemudian berkembang menggunakan alat penghisap bahkan eskavator, setelah masukknya pemodal,” terang Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, Selas [10/3/2020].

Askhalani menambahkan, kegiatan ini berpengaruh buruk terhadap lingkungan hidup, terganggunya siklus air, banjir bandang, dan perambahan hutan di hutan produksi maupun hutan lindung.

“Diperkirakan, dalam sebulan penambang bisa menghasilkan emas 89.262,9 gram. Jika dikalkulasikan setahun mencapai 1.071.154,5 gram atau 1,1 ton. Jika setiap gram emas dijual seharga Rp400.000, setahun kerugian negara mencapai Rp568.361.004.627. Ini hanya perkiraan di Aceh Barat,” ungkapnya.

 

Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan hutan mengagumkan di Sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan penelitian Sofia dari Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala dan Adi Heru Husodo, Bagian Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2014, kontaminasi merkuri dari pertambangan emas skala kecil di Kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya, kondisinya cukup memprihatinkan.

Mereka memeriksa rambut dari 72 orang yang berasal dari empat desa di Kecamatan Krueng Sabee.

“Hasilnya, 90,28 persen sudah melewati toleransi standar aman merkuri pada manusia. World Health Organization [WHO] menolerir kadar merkuri pada tubuh manusia maksimal 10 miligram,” jelas laporan itu.

Di desa yang banyak pengolahan emas skala kecil, kadar merkurinya mencapai 48,3 miligram dari setiap rambut. Sementara, desa-desa lain kadarnya berbeda, mulai 42,05 miligram, 35,12 miligram, dan 11,23 miligram.

Mereka juga memeriksa sampel kadar merkuri di ikan, lokan, dan udang di Sungai Krueng Sabee. Hasilnya, ikan seluang [Puntius latristriga] mengandung 172, 299 miligram, lokan [160,032 miligram] dan udang [116,975 miligram].

“Batas aman konsumsi yang ditetapkan WHO sebesar 0,5 miligram. Jadi, ikan, lokan dan udang di Krueng Sabee sudah sangat tidak aman untuk dikonsumsi,” jelas Sofia dan Adi dalam penelitiannya.

 

 

Exit mobile version